"Lain kali kalau bicara sama atasan yang sopan."
"Maaf, Pak."
Bian tidak menghiraukan, dia mengambil dua berkas yang baru saja Keyra berikan. Beberapa saat pria itu fokus membaca sebelum akhirnya membubuhkan tandatangan. Saat akan pamit tiba-tiba Bian menahan. Alhasil langkah Keyra terhenti, tubuhnya kembali diam di tempat.
"Bukannya udah selesai? Kenapa dia ngga disuruh ke luar?"
Lewat ekor mata Bian melirik wanita di sampingnya. "Yang berhak mengusir itu saya, kenapa kamu yang ribet? Yang seharusnya ke luar itu kamu, Devinka. Saya masih ada pekerjaan plus ada obrolan dengan dia. Maka dari itu silahkan kamu pergi."
"Kok kamu gitu sih?" protes Devinka. Jelas saja dia tidak terima karena diusir. Padahal dirinya baru saja datang, belum ada satu jam. "Aku ke sini atas perintah Mama kamu loh," lanjutnya.
Berada diantara keributan kecil itu Keyra menutup mulutnya rapat-rapat. Dia juga mengutuk Bian yang tidak mengizinkan dirinya pergi. Padahal di ruang kerjanya masih ada beberapa pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan.
"Jangan pernah bawa orangtua saya lagi, Devinka. Lagipula urusan kita sudah selesai. Pergilah, saya masih sibuk. Dan kamu, kemari, mendekat," titah Bian menatap Keyra. Selain perintah Bian juga memberi kode.
Kesal, Devinka mengambil tas putih miliknya lalu pergi ke luar. Kini di dalam ruangan tersisa Keyra bersama Bian. Kepergian Devinka membuat Keyra panik. Sepertinya dia lebih aman kalau ada wanita tadi daripada harus berduaan seperti ini.
"Kemari, Keyra."
Keyra tersentak. Buru-buru dia berjalan, mendekat ke arah Bian. Kini posisi keduanya sudah bersebelahan, Bian memutar kursi agar bisa melihat wajah Keyra. Walaupun tidak terlalu dekat dia bisa melihat kalau wanita di sampingnya takut.
"Bagaimana first day bekerja di sini?" tanya Bian basa-basi. "Apa Helen mengajarimu dengan baik? Masih ada yang tidak dimengerti?" lanjutnya.
"B–baik, Pak, semua baik. Helen juga mengajarkan saya dengan baik," jawab Keyra gugup.
Kening Bian mengerut, tatapan masih tertuju kepada Keyra. "Kenapa wajahmu seperti itu? Takut bertemu dengan saya? Kenapa harus takut kalau sebelumnya kita pernah berjumpa? Rasanya tidak mungkin kamu lupa. Ah, iya, ada satu lagi pertanyaan saya. Apa kamu bersungguh-sungguh kerja di sini? Atau hanya sambilan?"
Tunggu.
Apa maksudnya?
Lebih dari itu, pembahasan model apa ini?
Walaupun nyalinya hampir menciut Keyra memberanikan diri menatap balik Bian. Pandangan keduanya beradu lalu Keyra menjawab, "maksud anda bagaimana, Pak? Saya di sini niat bekerja, bukan yang lain. Bisa anda lupakan masalah kemarin? Sudah saya bilang jangan diingat atau dibahas karna momentnya sudah selesai."
"Gaji di sini perbulan, beda dengan pekerjaanmu sebelumnya yang dalam sehari bisa menghasilkan ratusan juta. Bukan wanita seperti kamu cuma berfikir soal uang? Jadi bekerja di sini hanya untuk part time?" Sebelah alis Bian terangkat menatap Keyra.
Ini namanya sudah kelewatan.
"Kenapa diam? Apa ... kamu masih aktif melayani para pria di club?"
"Saya diam bukan berarti anda bisa seenaknya bicara. Jangan bawa-bawa pekerjaan saya yang lain, saya mohon. Tujuan saya di sini untuk bekerja. Kalau memang Bapak terpaksa menerima saya, saya bisa mengundurkan diri detik ini juga."
Bian berdiri, mensejajarkan dirinya dengan Keyla. Bian yang tiba-tiba berdiri membuat Keyra refleks mundur. Semakin Keyra mundur, Bian terus maju sampai langkah wanita itu terhenti karena menabrak dinding. Bian terkekeh, satu tangannya tarangkat menyentuh dinding. Sedangkan satu tangan lainnya menarik dagu Keyra agar menatapnya.
"Segitu butuh uangnya sampai kamu bekerja keras seperti ini? Sekalipun kamu mengajukan resign, akan saya tolak. Kalau butuh uang, jangan sungkan mencari saya. Karna saya akan dengan senang hati memberi asalkan ada timbal baliknya. Jangan terlalu banyak berganti laki-laki." Jari jempol Bian mengusap dagu Keyra.
Wanita itu terpaku, tubuhnya sangat kaku sampai tidak bisa digerakkan. Nyalinya sudah benar-benar menciut sekarang. Keyra mulai menyesali keputusannya menerima pekerjaan di sini. Rasanya lebih baik dia lelah mencari pekerjaan daripada harus satu kerjaan dengan orang seperti Bian.
Saat wajah Bian miring, Keyra memalingkan wajahnya ke arah lain. Dalam hati dia ingin berteriak, tetapi mulutnya terkunci. Lagi-lagi Bian terkekeh karena Keyra menghindar. Rasa penasaran Bian semakin tinggi, dia ingin sekali menaklukan Keyra. Karena memang baru Keyra yang jual mahal sedangkan wanita di luar sana dengan sukarela menyerahkan tubuhnya.
"Jangan munafik," bisik Bian.
Plak!
Suara tamparan terdengar nyaring di dalam ruangan. Keyra berusaha mendorong kuat tubuh Bian agar menjauh. Tapi sialnya pria itu malah mengunci pergerakan Keyra. Bahkan tubuh keduanya sudah menempel.
"Tolong, saya di sini hanya mau kerja, bukan yang lain. Jangan samakan saya sewaktu di club dan di sini. Anda tidak tahu apa yang sedang saya hadapi sampai harus mengambil jalan itu. Menyingkirlah, saya harus kem–"
Cup!
Satu kecupan Bian sematkan di bibir Keyra. Wanita itu diam, hatinya bergemuruh saat ini. Kedua mata yang memanas, tetapi sebisa mungkin Keyra tidak akan mengeluarkan air mata.
"Bibirmu manis." Setelah mengatakan itu Bian menarik dirinya, memberi jarak agar Keyra bisa bernapas lega. "Silahkan kembali bekerja," sambungnya dengan santai.
Tidak memperdulikan kondisi Keyra pria itu kembali duduk, memfokuskan dirinya pada laptop.
***
Sekitar pukul delapan malam Keyra baru bersiap untuk pulang. Pekerjaannya memang masih ada yang terpending, tetapi dia memutuskan untuk dikerjakan besok. Setelah memasukan ponsel wanita itu ke luar dari dalam ruangan menuju lift. Walaupun sudah malam, masih ada beberapa karyawan yang lembur. Keyra baru taju ternyata seperti ini dunia perkantoran. Karena dulu, dia hanya aktif sebagai mahasiswa.
"Selamat malam, Mbak. Baru mau pulang ya?" tegur satpam saat Keyra sudah ada di loby utama.
"Iya, Pak, agak lembur, hehe."
Satpam itu mengangguk, mempersilahkan Keyra untuk ke luar. Meninggalkan area kantor, Keyra berjalan kaki menyusuri jalan. Entah kenapa di dalam hatinya seperti masih ada yang mengganjal. Keyra juga jadi teringat kelakuan Bian tadi. Apakah dirinya sanggup bekerja lama? Sedangkan saat ini dia membutuhkan banyak pemasukan. Ah, andai kehidupannya jaya seperti dulu, andai ayahnya ada, mungkin ceritanya tidak akan seperti ini.
Keasikan melamun Keyra sampai tidak sadar kalau tetesan air hujan mulai turun. Langkah Keyra terhenti, kepalanya mendongak ke atas. Benar, sepertinya hujan akan turun. Tetapi Keyra tidak menghiraukan, dia kembali melanjutkan jalannya. Saat melewati halte Keyra mulai meneduh karena hujan tiba-tiba deras.
Keyra menghela napas. Sepertinya hari ini memang hari sial baginya. Sudah tadi pagi terlambat, dapat perlakuan tidak enak dari Bian, sekarang mau pulang pun harus terjebak. Keyra mengusap kasar wajahnya. Di halte Keyra tidak sendirian, ada beberapa wanita dan pria yang juga sedang meneduh. Syukurlah dirinya tidak sendirian.
Rasa pusing karena kebanyakan berfikir Keyra memilih menutup wajahnya rapat-rapat menggunakan tangan. Di rumah Airin pasti sedang menunggu, bahkan ingin mendengar cerita hari ini. Yang Keyra bingungi, apa yang akan dia ceritakan pada ibunya?
"Sialan!" umpat Keyra pelan.
***