9. Ajakan Steve

2645 Words
Di bawah langit malam yang cerah oleh jutaan bintang di langit, Steve sedang mengamati seseorang dari kejauhan. Dia sengaja menghentikan mobil hitam mewah miliknya di pinggiran jalan, terdiam di dalam mobil dengan beberapa pikiran mulai menguasai diri. Matanya berkedip pelan, sorot matanya tidak teralihkan dari satu pemandangan di ujung jalan sana. Dari jarak yang lumayan jauh, Steve dapat mengenali siapa gadis yang tengah di kelilingi anak kecil itu. Senyumnya nampak lebar dan tulus, bergantian memberikan kebahagiaan pada anak jalanan yang sedang mengamen malam-malam. Saat gadis itu beranjak dari tempatnya--kembali melangkah meninggalkan daerah persimpangan tersebut, Steve segera melajukan mobilnya mengikuti. Perlahan, hingga laju langkah dia dan mobil Steve beriringan. Merasa ada yang mengikutinya, Elena berhenti melangkah. Berdiri cemas dan kebingungan. Kenapa mobil itu mengikutinya, apa itu penculik? Elena seketika berpikiran negatif, lalu berusaha berlari menghindari mobil Steve. "Lah si bocah!" Steve terkesiap melihat Elena berlari, segera dia percepat laju mobilnya hingga menghalangi jalan Elena. Dia menurunkan kaca mobil, memarahi gadis itu. "Songong banget lo ya!" kesal lelaki itu mendengkus. Elena yang sudah ketakutan langsung mengusap dadaanya lega. Hampir saja dia kembali di serempet oleh Steve, lelaki itu benar-benar mengkhawatirkan. Ada-ada saja kelakuannya membuat Elena cemas. "Aku pikir penculik. Kamu ngapain ngikutin aku?" tanya Elena cemas. Dia sama sekali tidak marah, yang penting Elena tahu siapa pengemudi mobil tersebut. "Ngapain kamu bagi-bagi balon sama anak-anak itu? Sudah kelebihan duit, eh?" Yap ... yang Elena bagikan pada anak-anak di jalanan tadi adalah balon gas karakter. Mungkin ada sekitar lima orang anak. Mata Elena menyipit. "Kamu ngikutin aku sejak tadi?" Geleng-geleng kepala. Elena hanya tidak tega melihat anak itu, teringat pada dirinya yang juga banting tulang mencari rezeki. Saat satu anak kecil mendekati penjual balon gas karakter, seketika Paman penjualnya mengusir. Dia ingin beli, hanya saja tidak punya uang. Bukannya Elena sudah kelebihan duit, hanya saja dia merasa kasihan. Karena di sana ada lima anak, tidak mungkin Elena membelikan hanya untuk satu orang. Steve mencebikkan bibir. "Gue nggak ngikutin lo, jangan kepedean. Gue cuman nggak sengaja lewat sana. Jangan banyak omong, suka-suka gue. Mata juga mata gue, sesenangnya gue mau liat apa." "Ya sudah." Elena mengangguk, kembali melangkah meninggalkan Steve. Tapi baru beberapa langkah berjalan, Steve kembali memanggilnya. "Apa lagi? Aku mau pulang, ini sudah malam." "Ikut gue, ada yang mau gue omongin." Menarik tangan Elena, membawa gadis itu ke dalam mobil. "Sambil nyari makan." Steve melajukan mobilnya, lalu berhenti di penjual kaki lima. Tadi Eleva keluar untuk sekadar jalan-jalan sambil menikmati angin malam. Dia berakhir di taman kota, melihat ada banyak sekali orang di sana melakukan permainan dan keseruan bersama. Dia sendirian di kontrakan, jadi bosan. Shofia lagi ke rumah orangtuanya, katanya akan pulang nanti malam--entah jam berapa. Satu minggu menjalani shift malam, ternyata lebih melelahkan menurut Elena, dia lebih suka shift siang. Tapi meski lelah, tetap menyenangkan. Kebetulan malam ini Elena belum makan, tadi berniat sesampainya di rumah mau merebus mie instan ditambah telur. Tapi lagi-lagi Tuhan memberikan rezeki secara cuma-cuma. Dia memberi anak-anak balon, lalu Steve datang untuk mentraktirnya makan bersama. Rezeki yang Elena keluarkan langsung diganti oleh Tuhan. Elena dan Steve makan lalapan, mereka sudah memesan menu masing-masing. "Nama lo siapa?" Elena menatap Steve, tersenyum tipis. "Elena." Steve mengangguk, akan mengingatnya. "Panggil gue Steve. Kita belum kenalan 'kan sejak kemarin?" "Iya. Ngapain ajak aku makan? Ngomong-ngomong, terima kasih banyak. Kamu kadang terlihat menakutkan, tapi baik aslinya." Steve nampak tidak senang mendapat pujian, bergidik ngeri. Dia tidak terbiasa mendapat pujian, jadi terdengar aneh di telinga. "Mau ngomong apa?" "Ikut gue yuk besok malam." Elena melebarkan matanya, menggeleng cepat. Mereka belum mengenal dengan baik, tentu saja Elena menolak. Dia takut dibawa Steve ke tempat sembarangan, lalu ditinggalkan pulang begitu sana. Elena belum hapal jalan, sudah dipastikan tidak bisa kembali ke kontrakan. "A-aku ada kerjaan. Maaf ya." Agar Steve tidak tersinggung, Elena berusaha memberikan kalimat yang baik dan sopan. "Lo mau duit nggak? Nanti gue bayar dengan harga yang lebih tinggi dari kemarin. Lo mau berapa ... dua juta?" Elena menganga, kaget. Apa begitu mudah bagi Steve menghamburkan uang? Sekaya apa sebenarnya keluarga lelaki itu. "Cuman sebentar, nanti gue pulangin lagi." "K-ke mana?" Elena butuh uang untuk tabungannya. Jika pekerjaan sampingan begitu menghasilkan seperti ini, Elena sedikit tertarik. Apa menemani makan lagi? "Ke acara ulang tahun teman gue. Gue malu datang sendirian. Nanti diledekin temen-temen. Karena wajah lo lumayan, ya ... nggak terlalu malu-maluinlah kalau dibawa ke orang banyak." Wajah Elena memang mendukung, sebeb itu Steve tertarik mengajaknya ke party Jeremy. Steve tidak bisa mengajak Vanesa, wanita itu bersama lelaki yang dia sukai. Miris bukan nasib Steve? Elena memikirkannya sebentar. "Pulang jam berapa?" "Nggak nentu. Gue nggak bakal nyulik elo, nggak usah kepedean. Lo kalau gue culik, nggak nguntungin juga. Paling cuman bisa dijadikan asisten rumah tangga." Kemudian pesanan mereka datang, Steve menyuruh Elena makan. Kebetulan Steve sudah lapar sekali, sejak tadi sore belum sempat mengisi perut. Karena Steve senang makan yang pedas, dia meminta tambahan sambel. "Aku nggak punya baju bagus." Elena jujur, dia tidak memiliki baju bagus apalagi modelan gaun pesta. Bahkan jika di rumah makan tidak menggunakan baju seragam, Elena bingung akan mengenakan apa selama bekerja. Bajunya sedikit, itu pun tidak ada yang kekinian. Cuman kaos biasa, leging, dan celana longgar selutut. "Sudah gue duga. Ya sudah, nanti gue ajak lo belanja dan ke salon. Lo nggak boleh tampil biasa begini kalau ke pasta, malu-maluin." Elena menatap Steve beberapa saat. "Kamu janji bakal bayar aku dua juta kan?" tanyanya kembali memastikan. Sebenarnya bagi Steve itu terlalu sedikit, tapi untuk ukuran Elena sudah banyak sekali. "Iya. Kurang? Lo mau berapa?" "Enggak, cukup kok." Elena tersenyum tipis, mengangguk kecil. Steve tersenyum penuh kemenangan. ADUL, ada duit urusan lancar. Bereslah semuanya! "Pulang kerja gue jemput, jangan lelet. Kita perlu banyak waktu untuk belanja dan merias wajah lo." "T-tapi jangan pulang terlalu malam, besoknya aku masih ada kerja di rumah makan. Nanti kurang tidur jadi mengantuk." Steve mengangguk. "Gampang diatur. Lagian lo sudah dapat duit dari gue, minta libur sehari nggak bisa kah?" "Jangan." Elena langsung menggeleng cepat. "Aku masih baru kerja di sana, nggak bagus kelihatannya kalau sudah mengambil libur. Nggak pa-pa, aku bisa mengatur waktu dengan baik." Steve hanya bisa mengiyakannya saja, tidak terlalu penting mengurusi urusan Elena. Dia hanya membutuhkan gadis itu untuk menemaninya, setelah selesai ... Steve akan mengembalikan Elena ke pekerjaan dia yang sebenarnya. Lagian Steve mengajak Elena tidak gratis, dia membayar segalanya. **** Sepulangnya dari rumah makan, Shofia kebingungan melihat Elena yang nampaknya tengah cepat-cepat seperti dikejar waktu. Tidak biasanya Elena seperti ini, wajahnya beberapa kali mengerut saat merapikan loker penyimpanan tas dan peralatan lainnya. Mungkin karena dia terburu-buru, ada beberapa barang yang sampai berjatuhan ke lantai. Hari ini mereka pulang sedikit terlambat, sebab tadi ada pengumuman sedikit dari Mas Arya mengenai bonus kerja mereka yang belakangan ini pulang terlambat akibat pengunjungg sangat banyak setiap harinya. Semua pekerja senang, namun wajah Elena nampak ada bebas--seolah tidak sabar Mas Arya menyudahi pembicaraannya, mempersilakan mereka cepat pulang ke rumah masing-masing. "Elena, kamu kenapa? Kok aneh sih?" Shofia mengikuti langkahan lebar Elena yang masih kelihatan buru-buru. "Tidak seperti biasanya kamu begini, ada apa?" Elena menoleh pada Shofia, mengusap keringatnya. "A-ah ... anu, Kak, a-aku sudah ada janji dengan Steve, aku harus cepat bersih-bersih sebelum dia datang." Kemudian bertanya jarum jam sudah menunjuk ke angka berapa pada Shofia yang memiliki jam tangan. "Jam lima." Baru Elena ingin bertanya siapa Steve, gadis itu sudah duluan mendesah kian cemas. "Astaga!" Elena berlarian kecil sambil memeluk tasnya, membuka pintu kontrakan dengan cepat sampai kuncinya terjatuh ke lantai. "Aku duluan masuk ya, Kak, nanti aku ceritain kalau dah pulang." Melambaikan tangannya, kemudian menutup dan mengunci pintunya selama Elena membersihkan diri. Entah mandinya sudah bersih atau tidak, hanya saja Elena melakukan semuanya dengan serba terburu-buru, apalagi dia tidak mempunyai ponsel untuk dihubungi. Steve akan menunggu di depan gang jam setengah enam, jika Elena terlambat dia bisa mengomel lagi. Elena hanya menghindari itu, tidak ingin kupingnya panas dengan kalimat kasar Steve. Elena hanya menggunakan kaos longgar dan leging hitam. Membawa tas dan sedikit uangnya untuk cadangan kalau terjadi sesuatu. Pokoknya Elena harus pintar-pintar sendiri, dia tidak bisa menebak isi hati Steve. Patokan pulang Elena hanyalah rumah makan, mungkin semua orang di segala penjuru kota Jakarta mengetahui tempat makan yang sangat besar satu itu. "Kak Shofia, aku berangkat ya. Aku titip kunci kontrakan, nanti kalau malam tolong hidupkan lampu ya. Terima kasih banyak." Kemarin Shofia yang meminta tolong pada Elena, kali ini kebalikannya. Mereka sudah seperti saudara, Shofia mengangguk. Tidak lupa menyuruh Elena hati-hati, meski tidak tahu gadis itu akan berangkat ke mana. Wajah Elena semakin cepat ketika melihat mobil Steve sudah terparkir rapi di seberang jalan sana. Entah dia telat berapa menit, Elena lupa bertanya pada Shofia ini jam berapa. Dan bodohnya, dia lupa melihat jam yang tertempel di dinding kontrakannya. "Maaf telat ya." Elena menundukkan kepala, sudah masuk ke dalam mobil Steve. Steve melihat jarum jam pada pergelangan tangannya. "Terlambat sepuluh menit, untuk gue lagi baik hati sekarang. Jadi gue maafkan." Melajukan mobilnya menuju pusat perbelanjaan, mencarikan Elena gaun setelah itu membawanya ke salon langganan Vanesa dan teman-temannya. Pesta Jeremy berlangsung jam sembilan malam, mereka hanya memiliki waktu 3 jam setengah untuk bersiap. Elena tersenyum, mengangguk sedikit lega. Keringat yang membasahi pelipisnya akan segera mengering, mobil Steve adem sekali. "Kita mau ke pasar 'kah?" Steve lumayan terkejut, tapi mencoba memaklumi. Elena ini beneran orang kampung atau bagaimana? Kalau dari penampilannya memang udik, hanya saja Steve sedikit kurang yakin. Entahlah, dia bingung sendiri. "Lo bercanda? Jangan buat gue emosi ya, sebaiknya lo diam dan nurut aja." Akhirnya Elena mengangguk mengiyakan. Sepanjang perjalanan menuju pusat perbelanjaan dia diam tanpa membuka suara. Bahkan saking lelahnya bekerja, Elena sempat akan ketiduran jika Steve tidak memanggil namanya. "Ayo turun, sudah sampai." Elena segera mengikuti langkahan Steve, mereka naik ke lantai tiga untuk mengunjungi salah satu toko gaun ternama. Sebenarnya ada cabang lain selain di sini, hanya saja tempatnya lumayan jauh untuk dikunjungi. Steve tidak memiliki banyak waktu. "Apa lo nggak ada sandal lain? Untung wajah lo mendukung, jadi kali ini lo termaafkan." Memutar bola matanya malas. Elena hanya mengenakan sandal jepit tipis, pakaiannya sangat sederhana. "Yang penting pakai alas kaki, aku nggak ada sandal lagi selain ini. Sepatu saja cuman punya satu, sepatu pantofel buat kerja." Menaikkan bahu, cuek. Yang penting kaki Elena tidak kotor, alas kaki apa pun yang dia kenakan tidak menjadi masalah besar. Elena tidak akan diusir dari pusat perbelanjaan itu. Saat memasuki store khusus gaun pesta, mata Elena langsung berbinar terang, bibirnya seketika menyunggingkan senyuman. Ini adalah tempat yang sangat indah, gaun terpajang dengan rapi dan nampak memukau dikenakan para manekin. Pramuniaga membungkukkan sedikit badannya, mengucapkan sapaan hangat untuk Steve. Mereka sudah saling mengenal, Nyonya Baylor dan Vanesa adalah pelanggann setia toko ini. Mereka senang berbelanja saat ada sebuah acara, jadi Steve begitu hapal ke mana arah langkah mereka ketika mengunjungi pusat perbelanjaan. "Tolong siapkan gaun yang saya inginkan tadi untuk dia." Steve sudah menghubungi pihak toko, memberitahukan bagaimana model gaun yang dia inginkan untuk Elena saat menghadiri pesta Jeremy malam ini. Steve menyuruh Elena mengikuti pramuniaga untuk mencoba beberapa gaun yang sudah dipersiapkan. Lelaki itu duduk di kursi tunggunya, sesekali melihat ke arah jam tangannya. Tidak lama setelah masuk ke kamar ganti, Elena keluar menggunakan gaun mint panjang yang memiliki belahan sampai ke paha. Gaun mint itu tanpa lengan, sementara bagian belakangnya dibiarkan terbuka memperlihatkan punggung halus dan mulus milik Elena. "Bagaimana, Tuan Steve?" tanya pramuniaga itu sambil tersenyum. Elena berputar pelan menunjukkan keseluruhan model gaun tersebut. Gadis itu nampak tidak nyaman, sebab gaunnya begitu terbuka. "Delapan dari sepuluh, coba gaun yang lain dulu saya mau lihat." Elena kembali dibantu pramuniaga untuk mencoba gaun selanjutnya, kali ini lebih mudah menggunakannya. Beberapa menit kemudian Elena keluar lagi dengan penampilan yang lebih seksi dari sebelumnya. Gaun hitam itu memiliki panjang dibawah lutut, hanya saja memiliki belahan lagi hingga setengah paha. Pemilihan lengan spaghetti, bagian punggungnya juga terbuka namun ada tambahan beberapa tali yang nampak pas di tubuhnya. "Apa gaun ini ada warna mint?" Pramuniaga mengecek beberapa stok yang masih tersedia di toko mereka, kemudian menggeleng. "Yang tersedia saat ini hanya putih tulang, hitam, dan warna anggur, Tuan Steve." "Putih tulang saja, soalnya saya sudah memakai jas hitam." Menurut Steve tidak terlalu bagus jika mereka mengenakan pakaian senada malam ini, sama-sama gelap. Lagi pula tema pesta Jeremy hitam, putih, dan mint. Elena mengerucutkan bibirnya. "Apa tidak boleh mengenakan pakaian yang lebih tertutup, Steve?" Dia sedikit keberatan, dia belum pernah seterbuka itu dalam berpakaian. "Lo mau pakai syar'i? Jangan bercanda, gue nggak suka dibantah!" Melihat tatapan Steve menyipit tajam, Elena akhirnya mengangguk paham tanpa banyak bantahan. Setelah dari toko gaun tersebut, mereka langsung mengunjungi toko sepatu mencarikan heels untuk Elena. Untung saja para pekerja di toko itu begitu bersahabat, Elena juga tidak banyak pilih seperti wanita di luar sana. Dia terkesan menyukai yang sederhana, seleranya lumayan bagus juga kalau dilihat-lihat. Pada toko sepatu, mereka tidak terlalu memakan banyak waktu. Ini sudah jam tujuh, waktu keduanya begitu terbatas. Sesampainya di salon, Steve meminta kepada orang di sana untuk segera mengurus Elena, memberitahu jika waktu yang mereka miliki hanya sedikit. Pertama-tama Elena dirias dulu wajahnya, lalu mengurus bagian rambut. Steve meminta surai Elena di gerai saja, agar tidak terlalu mencolok pada bagian leher dan daerah bahunya. "Untuk riasan wajahnya jangan terlalu bold, yang biasa saja biar tidak kelihatan lebih tua dari usianya." Penata riasnya mengangguk mengerti, dia akan memoles wajah Elena agar terlihat lebih fresh. Sementara Elena dihandle oleh penata rias, Steve juga bersiap dengan pakaian dan model rambutnya. Persiapannya tidak terlalu lama seperti wanita, Steve hanya meminta dirapikan tatanan rambutnya. Usai dirinya rapi, Steve memunggu di ruangan khusus, dia memainkan ponsel agar tidak cepat bosan. Sesekali dia melirik jarum jam, sudah satu jam setengah berlalu, masih saja Elena belum menampakkan batang hidungnya. Waktu mereka sisa tiga puluh menit lagi. Belum sempat Steve menghubungi Jeremy, suara seseorang memanggilnya canggung. Steve mematikan layar ponsel, memusatkan pandangan ke arah sumber suara. Betapa terkejutnya dia, sekarang Elena sudah berdiri tidak jauh dari posisinya. Gaun yang Steve pilih tadi sudah melekat sempurna, rapi dengan tatanan rambut dan riasan wajahnya yang sederhana. Tidak munafik, Steve sedikit terkejut melihat perubahan gadis itu. Entahlah, dia tidak terlihat seperti orang udik kalau didandani begini. Benar bukan apa yang Steve katakan, wajah Elena tertolong sekali. "Steve, kenapa melamun. Ini sudah bagus?" Sepatu heels itu membuat kaki Elena menjadi jenjang. Postur tubuhnya begitu ideal, apalagi ditambah kulit putih dan bersih. Elena cantik sekali, itu adalah fakta yang bahkan tidak bisa Steve tolak. Wajah gadis itu sangat menenangkan, tidak bosenin kalau dipandang. Steve terkesiap, kemudian berdiri dari sofa. "Lumayan. Ayo berangkat sekarang, gue sudah terlambat ini." Elena mengikuti langkahan Steve yang terkesan buru-buru sekali. "Steve, pelan-pelan. Aku pakai sepatu tinggi begini, agak sudah jalannya kalau cepat-cepat. Aku takut jatuh." Menggapai lengan Steve, menyuruh lelaki itu menunggu dirinya. "Gue kelupaan satu hal, ayo ikut ke sebelah sana." Menarik Elena, melangkah lebar menuju toko tas. Tidak mungkin Steve membiarkan Elena memakai tas buluknya ke acara Jeremy, sangat tidak cocok dengan penampilannya yang sudah begitu berkelas. "Tolong pilihkan tas yang cocok untuk dia. Jangan seperti ibu-ibu, yang sederhana saja." Pelayan toko itu mengangguk, kemudian memilihkan beberapa tas yang kiranya pas dengan gaun Elena. "Steve udah, yang kecil ini saja ya. Kelihatannya lebih simple dan tidak berlebihan." Steve mengangguk, kembali mengeluarkan uang untuk membayar tas yang Elena pilih. Hari ini Steve mengeluarkan uang cukup banyak untuk menyulap penampilan Elena, awas saja jika gadis itu membuatnya malu di acara pesta nanti. "Apa aku bagus mengenakan gaun ini Steve? Apa tidak terlalu seksi? Aku takut ada orang jahat." Steve menoleh pada Elena sebentar, kemudian kembali fokus melajukan mobilnya. "Siapa yang mau jahatin lo? Kita mau ke pesta teman gue, bukan jual diri." Elena akhirnya mengangguk saja. Meski tidak nyaman, Elena berusaha tetap tersenyum. Elena lagi butuh duit untuk membeli ponsel, kasur, beberapa baju harian, dan lemari kecil. Selagi Steve tidak menyuruhnya macam-macam, Elena akan menuruti. Uang yang Steve tawarkan begitu menggoda, nominalnya tidak main-main. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD