10. Pesta Jeremy

2267 Words
Steve melingkarkan lengan pada pinggang Elena, membuat gadis itu berjengkit kaget. Segera dia ingin menghindar, hanya saja Steve langsung memberinya tatapan tajam. Nyali Elena menciut, kemudian memilih diam dan mengikuti langkahan Steve masuk ke dalam. "Ini tempat apa? Kok berisik banget?" Elena menutup telinganya, mengernyit bingung apalagi melihat banyak orang di dalam sana dengan keadaan ruang temaram. Hanya ada lampu disco. Musik keras itu berasal dari salah satu dj terkenal, beberapa orang menggerakkan badan mereka menikmati musiknya. "Ini namanya club, tempat orang bersenang-senang. Lo nggak pernah ke tempat seperti ini sebelumnya?" Elena menggeleng cepat, dia terlihat mendekatkan diri pada Steve, menghindari beberapa orang yang melangkah berpapasan dengannya. "Pantas saja. Jangan udik ya, pokoknya jangan bikin gue malu. Bersikap sewajarnya aja, ikuti yang orang banyak lakukan. Tidak perlu takut, di sini tidak ada monster yang akan menerkam tubuh lo." Elena mengangguk mengerti, kembali mengikuti langkahan Steve menuju lantai atas tempat di mana acara Jeremy berlangsung. Gilaa sekali, Steve pikir Jeremy akan mengosongkan club khusus untuk acaranya, ternyata tidak sama sekali. Baru memasuki lantai dua, Steve sudah disambut oleh Vanesa yang sedang bersama tiga temannya--termasuk Naomi juga. "Hai, Steve. Widih, pacar baru lo?" Vanesa menaikkan sebelah alis, menatap Elena dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. Selera Steve tidak pernah gagal, batin Vanesa. Dia datang bersama Vero--lelaki yang sedang dekat dengan Vanesa. Mereka sudah menunjukkan ketertarikan satu sama lain, meski nampaknya hubungan itu tidak ada kemajuan sejauh ini. Steve menaikkan bahu singkat. "Kenalin, ini Elena." Steve memberikan kode agar Elena menyalami Vanesa, Carolina, Bianca, dan Naomi. Mereka saling berkenalan dengan baik, lalu mempersilakan Steve bergabung pada meja yang sama. "Jeremy ke mana? Tumben gue nggak liat batang hidungnya di sini." Naomi terkekeh. "Lagi menerima telepon dari nyokapnya, jadi masuk dulu ke dalam kamar yang kedap suara. Bisa marah kalau nyokapnya tahu Jeremy mengadakan acara di club." "Elena kuliah di mana?" Carolina bertanya, kesian melihat Elena nampak canggung dan tidak tahu harus melakukan apa. Dia terlihat seperti anak polos yang dipaksa memasuki dunia malam. "Belum terbiasa ke sini ya?" Suara bising dari musik tentu saja membuat keadaan tidak begitu nyaman bagi yang belum terbiasa. Dulu saat Carolina pertama kali mengunjungi club juga tidak berah, baru datang sudah berpikir ingin pulang. Elena tersenyum manis, mengangguk mengiyakannya. "Aku tidak kuliah. Hem ... iya telingaku rasanya mau tuli, berisik banget ya?" katanya dengan sangat polos. Steve memerhatikan Elena yang mencoba menyahut pertanyaan Carolina. Carolina terkekeh. "Wajarlah, aku juga dulu begitu. Malah jadi sakit kepala, rasanya kebisingan ini menusuk sampai ke ruang kepalaku." "Kamu tidak kuliah? Apa sudah lulus atau bagaimana?" Vanesa menyahut cepat, mulai penasaran dengan Elena. Tidak mungkin rasanya Steve memiliki pacar secepat kilat begini, padahal baru minggu lalu mereka menghabiskan waktu bersama di pantai bukan? Steve menatap Vanesa, menghela napasnya. "Elena lebih memiliki menekuni pekerjaannya. Dia masih begitu muda." "Berapa usia kamu, Elena?" Naomi tersenyum, mereka berempat lumayan terbuka dengan orang baru. Sebenarnya gampang bergaul, hanya saja untuk menjadikan orang lain sebagai teman dekat emang agak susah. Harus yang benar-benar dapat dipercaya dulu. Mereka paling anti dengan orang bermuka dua, alias munafik dan menusuk temannya sendiri dari belakang. "Aku baru delapan belas tahun." Semuanya menganga, termasuk Vero yang sejak tadi memilih diam namun tetap memeluk pinggang Vanesa posesif. Lelaki itu tahu kedekatan Vanesa dan Steve, tapi tidak dengan hubungan intim mereka di belakang layar. Vero mengira Vanesa dan Steve memang bersahabat baik, orangtua mereka juga kelihatan memiliki hubungan yang baik. "Benarkah, muda sekali ya. Tapi masuk akal sih, wajah kamu juga kelihatannya emang masih muda banget. Jangan mau dibodohi sama Steve ya, dia penjahat wanita." Bianca melirik Steve, lalu tidak merasa berdosa telah mencibir secara terang-terangan. Dalam mereka berempat, biasanya hanya Bianca yang sering beradu mulut dengan Steve. Keduanya seperti kucing dan tikus, kalau bertemu pasti ada saja yang dijadikan bahan berantem. Elena terkekeh, kemudian melihat wajah Steve yang nampak santai. Dia sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Bianca, sudah terlalu biasa. "Sudah, sudah ... tidak perlu bertanya banyak, kalian buat Elena nggak nyaman saja. Dia emang baru pertama kali ke sini, jadi sedikit kaget denger musik yang lumayan keras hingga memekakkan telinga." Jeremy datang, kemudian langsung saja MC dadakan itu mengumumkan pada tamu undangan untuk memasuki acara selanjutnya, yaitu pemotongan kue dan acara rahasia. Sebenarnya tidak ada pemotongan kue, ini hanya akal-akalan Jeremy saja. Yang paling penting ialah acara rahasia itu. "Ayo, Sayang, temani aku ke depan sana." Mengulurkan tangannya pada Naomi, membuat wanita itu tersenyum malu-malu dnegan hati berbunga-bunga. "Ck, di Jeremy kayak bocah aja pakai acara potong kue. Kayak nggak ada acara lain saja, menggelikan!" komen Steve kejam. Mulutnya memang tidak memiliki rem, sudah blong. "Cepetan potong kuenya, acara bocah begini memuakkan." Jeremy tahu Steve akan tidak senang, tapi dia melakukan ini untuk seseorang yang tengah berada di sampingnya. "Sebenarnya tidak ada acara potong kue." Semua tamu undangan mengernyit bingung, kemudian sebagian lagi nampak berdecak kesal. Tidak lucu jika di acaranya sendiri Jeremy berulah tidak jelas begini, semua orang sudah malas dengan lawakannya yang sama sekali tidak lucu. "Tapi, izinkan gue meminta waktu kalian sebentar." Jeremy berlutut di hadapan Naomi, kemudian mengeluarkan ring berisi cincin untuk wanitanya. "Mungkin aku emang bukan pria yang baik dan romantis, tapi aku serius sama kamu. Naomi, mau berjuang bersama dalam kisah cinta kita?" tanya Jeremy pada kekasihnya, membuat beberapa wanita yang ada di sana menganga dan menjerit. Ini kali pertama Jeremy tampil begitu berani, di hadapan banyak orang. Steve saja sampai kaget, ini beneran sahabatnya bukan? Tidak kembaran mimi peri 'kan? Naomi berkaca-kaca, menutup mulutnya begitu kaget. Dia mengangguk menerima, kemudian Jeremy menyematkan cincin itu ke jari manis Naomi. "Terima kasih banyak, Sayang." Mengecup pelipis Naomi, keduanya berpelukan hangat. Ada banyak sekali orang yang ikut berpelukan merasakan kebahagiaan itu, tetapi tidak dengan Steve. Dia malah memasukkan sebelah tangannya ke saku celana, sementara tangan satu lagi memegangi gelas berisi alkohol. Menurut Steve ini terlalu berlebihan, dia tidak akan melakukan hal itu. MC kemudian berseru untuk berdansa, semua orang mencari pasangannya masing-masing. Steve menatap Elena. "Bisa berdansa?" Elena menggeleng, sudah Steve duga. "Apa sih yang lo bisa? Bikin anak bisa tidak?" Lalu Steve mendapat pukulan di dadanyaa, Elena refleks melakukannya. "Berani ya lo pukul gue?" Elena menggeleng cepat, langsung mengusap-usap sebagai tanda bersalahnya. "Maaf, aku nggak sengaja. Habisnya kamu m***m sekali, tidak baik berbicara begitu. Jangan diulangi lagi." Steve menaruh gelasnya ke atas meja, mengulurkan tangan tangan Elena--membuat gadis itu mengernyit bingung. "Ayo berdansa, jangan malu-maluin gue. Lo liat semua orang sedang berdansa dengan pasangnnya kan?" Mau tidak mau, Elena terpaksa menerima uluran tangan Steve. Lelaki itu merengkuh pinggangnya erat, kemudian menyuruh Elena berputar seperti yang lainnya, lalu kembali lagi pada Steve. Elena sempat ingin jatuh, hanya saja Steve cepat menahan tubuhnya. "Nggak usah gugup, santai aja. Ikutin gerakan gue!" Wajah mereka saling berdekatan, membuat Steve merasakan embusan napas gadis itu. Dia terlihat gugup, napasnya dihela tidak beraturan mengikuti gerakan Steve yang padahal cukup pelan dan gampang. "Steve, aku nggak bisa. Sepatunya tinggi, aku takut jatuh ke bawah. Bukannya romantis malah jadi tangis. Aku malu kalau sampai jatuh di hadapan orang banyak." "Makanya dibiasakan. Lo serba nggak bisa sih, heran gue!" Elena memajukan bibirnya, kembali mengikuti gerakan Steve. Baru bergerak sebentar, dia sudah salah gerakan hingga membuatnya akan jatuh kembali. Untung saja Elena sempat memeluk leher Steve, dadanyaa sudah bertaluan lebih cepat dari sebelumnya. "Aku tidak bisa lagi, kaki aku nanti sakit." Steve mendesah, kemudian menghentikan gerakannya duluan daripada yang lain. "Takut terkilir kakinya, Steve." "Iya, iya. Lain kali dipelajari, biar lo serba bisa. Masa berdansa doang tidak mahir, badan lo terlalu keras kayak tiang." Elena memukul lengan Steve, memalingkan wajahnya. "Kesal lo? Gue bilang kenyataan, biar lo bisa belajar dari kesalahan." "Memangnya kamu akan mengajakku ke acara begini lagi?" "Mungkin, lumayanlah ... muka lo tertolong kata gue kan?" Elena mendesah. "Susah, aku nggak mungkin bisa berdansa. Nanti lain kali kalau ke pesta, aku memakai sandal saja, lebih enak gerak kalau mau ke mana-mana." "Ngaco!" Steve mendorong kening Elena, membuat gadis itu menghentikan kunyahannya yang baru saja mencomot kue. "Lo sebenarnya mau ke pesta atau ngamen pakai sandal jepit? Jangan aneh-aneh, pusing kepala gue." Elena membiarkan Steve mengomelinya. Gadis itu lebih memiliki mengambil beberapa kue dan minuman, dia lapar sekali. "Huek!" Elena ingin memuntahkan kembali minumannya, namun sudah terlanjur tertelan. "Air putih apa nih? Kok rasanya aneh!" "Itu vodka." "Vodka itu apa? Ku pikir ini air putih, soalnya sama." Elena mengembalikan gelasnya, tidak jadi meminum vodka hingga tandas. Dia kembali mengambil minuman yang mirip dengan teh. Meminumnya dengan cepat, Elena haus sekali. "Astaga! Minuman apalagi ini." Wajahnya mengerut masam, bergidik tidak enak. Bukannya merasa kasihan, Steve malah tertawa kecil. "Itu wiski." "Riski?" Elena sedikit kaget, lalu Steve memperjelas sedikit ucapannya. "Aku tidak tahu wiski, namanya sama anehnya dengan rasa minuman itu." Menaikkan bahu. "Steve, apa tidak ada air putih saja? Kerongkonganku rasanya aneh." Steve meminta air es pada salah seorang yang mengurus minuman, lalu memberikannya pada Elena. Wanita itu menghela napas lega, kembali menyuap makanannya dengan nyaman. "Elena, ayo gabung ke sini." Carolina memanggil Elena, dia mengangguk lalu kembali bergabung dalam meja yang sama. "Ayo ambil minuman kalian, kita bersulang." Elena ingin menggeleng, tapi Steve menyuruhnya mengambil. Mau tidak mau, Elena kembali mengambil wiski yang tersedia di sana. Setelah bersulang, Carolina menyuruh Elena meminum hingga tandas. "Astaga, aku tidak suka rasanya, Steve!" Kembali bergidik, membuat bulu kuduknya terangkat ke atas. "Kamu tidak menyukainya, Elena?" "Tidak." Elena menjawab jujur, menggeleng tegas. Tidak peduli Steve akan marah, Elena akan muntah jika sekali lagi meminumnya. Steve terkekeh. "Tidak perlu terlalu serius wajahnya, santai saja." Elena berdecak, kesabarannya begitu diuji oleh Steve malam ini. "Kamu jangan ketawain aku." "Suka-suka gue, berani lo ngatur gue?" Akhirnya lagi-lagi Elena memilih diam dan tidak menanggapi lagi. "Cobain ini, enak." Memberikan segelas kecil. "Rasanya manis, gue nggak bohong." Elena menegaknya, lalu merasakan rasa manis dari minuman itu. "Iya juga. Apa ini namanya, Steve?" Mengambil satu gelas lagi, lalu menegaknya senang. "Kayak teh, tapi bukan." "Itu Tequila." "Kenapa namanya aneh-aneh?" "Mana gue tahu, tanyain sama yang bikin." Elena mengangguk, mengacungkan jempol. "Jaangan terlalu banyak, ntar lo mabuk!" Steve mencegah Elena yang akan meminum tequila lagi, gadis itu seperti senang mencicipi rasa manisnya. Benar-benar gilaa, dia terlalu polos! **** "Astaga, Elena!" Steve menepikan mobilnya di pinggiran jalan, segera membantu Elena keluar untuk memuntahkan isi perutnya. Gadis itu beneran berakhir mabuk, bagaimana Steve mengantarkannya pulang? Bisa membuat keributan pada orang-orang daerah sana. Elena menggeleng, tidak jadi mengeluarkan isi perutnya. "Aku mengantuk sekali, bawa aku pulang." Dia bergumam tidak terlalu jelas, kemudian berdecak kesal. "Ngeselinnya. Sudah gue bilang jangan minum banyak, ngeyel sih!" Lalu menurunkan sedikit jok yang Elena duduki, membiarkan wanita itu berbaring di sana dengan nyaman. "Hei, berani sekali Anda menaikkan kaki di depan yang punya mobil!" Mendesah kesal tapi percuma mengomelinya. Elena menaikkan kedua kalinya ke dashboard, kemudian helaan napasnya terdengar beraturan. Gadis itu nampaknya sudaha tertidur pulas, wajahnya terlihat seperti bayi--polos, layaknya orang tidak memiliki beban hidup. Tidak mungkin Steve mengantarkan Elena pulang ke kontrakan, terpaksa Steve membawanya menuju apartemen. Sudah lama tidak berkunjung ke sana, mungkin sekitar satu bulan yang lalu saat Steve dan Jeremy mabuk-mabukan. Mereka menghabiskan semalaman penuh untuk melakukan kesenangan. Mulai dari main ps, main catur, dan menegak alkohol pastinya. Apartemen Steve seperti kapal pecah, besok paginya dengan kurang ajar Jeremy malah pulang duluan tanpa bantu beberes. Katanya lelaki itu sudah ditunggu kedua orangtuanya di rumah, tidak bisa menunda waktu lagi. Sesampainya di area parkir, Steve lumayan susah menggendong Elena. Gadis itu beberapa kali menolak digendong, mendorong Steve sampai kepalanya terbentur. "Elena, lo mau tidur di mobil sampai besok pagi? Gue mau istirahat juga!" geramnya kelewat dongkol. "Udah ih, acaranya kan udah selesai. Aku tidak bisa berdansa, nanti kakiku terkilir." Memukul lengan Steve yang akan menggendong tubuhnya, menolak kasar. "Tidak, aku pukul ya kamu!" Steve menyentil kening Elena, membuat gadis itu mengaduh sakit. Dia menatap Steve, wajah keduanya susah berada dalam jarak yang begitu dekat. "Mau apa kamu? Aku teriak nih!" Sekali lagi, Steve menyentil bibir Elena sampai gadis itu diam. "Cepat turun, jalan sendiri kalau nggak mau gue gendong." Steve menarik Elena agar bangun, kemudian bantu melepaskan sepatunya lebih dulu--mengganti dengan sandal Elena sebelumnya. "Ayo." "Nggak bisa jalan, kaki aku lemas." Menggeleng dengan bibir cemberut. "Ih, wajah kamu ada dua," katanya dengan mengernyit bingung. Lalu kembali menggelengkan kepala, berusaha memfokuskan tatapannya. "Aku pusing!" desahnya kemudian. Steve menggendong Elena, gadis itu nampak anteng menyandarkan kepala pada dadanyaa. "Steve, kita ke mana?" tanyanya saat di dalam lift. "Banyak omong. Diam dan tidur saja sebelum gue lompar lo dari lantai atas." "Jangan!" desisnya kembali memukul dadaa Steve. "Mau aku pukul lagi, huh?" "Lo jadi pemberani kalau lagi mabuk ya, pas sudah nggak mabuk, kayak siput yang siap masuk ke dalam rumahnya pas gue bentak!" "Aku berani." Lalu tertawa tidak jelas. "Aku jalan sendiri aja, sudah kuat." Lalu meminta diturunkan dari gendongan Steve, mereka melangkah menuju unit Steve yang jaraknya tidak jauh lagi. "Tempat apa ini? Kok kayak rumah sakit." Dia melompat-lompat kecil dalam langkahnya, sesekali ingin jatuh kalau saja Steve tidak menahan tubuhnya. Steve menyuruh diam dan tetap berjalan dengan benar. "Aku mau tidur. Kepalaku pusing." Steve membuka unitnya, memasukkan Elena ke dalam sana. "Astaga, Elena!" Ternyata gadis itu sudah berbaring di lantai, menghela napas beraturan. "Ini yang terakhir kalinya lo mabuk dan nyusahin gue!" Ingin Steve cekik, untung saja dia masih berbaik hati. Dia kembali menggendong Elena, membawa ke kamar tamu yang ada di lantai bawah. Steve membaringkan Elena di sana, menarik selimut untuk menutupi tubuh gadis itu. Tidak ada sahutan apa pun lagi dari Elena, dia benar-benar terlelap nyenyak. "Nyusahin aja!" Steve mengusap kening, sakit kepala melihat kelakuan gadis polos yang satu ini. Lain kali, tidak lagi dia memberikan Elena alkohol. Begitu menyusahkan, menambah beban hidup Steve saja! ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD