“Yea mandi bareng ya,” pinta Danis. Rea yang mendengar itu mendelik tidak suka.
“Di mimpimu.” Ketusnya.
“Kenapa sih kan aku suami kamu Yea?” Danis masih merayu. Kini ia tahu mana Rea yang benar-benar marah dan yang bukan benar-benar marah.
“Danis apaan sih. Aku buru-buru kasihan mama udah nunggu dibawah.” Rea beralasan.
Ia langsung berlari ke dalam kamar mandi. Menguncinya. Kemudian ia senyum-senyum sendiri namun itu tidaklah lama saat ia sadar apa yang sudah terjadi. Penghianat. Dirinya telah berkhianat pada Fahri. Atau mungkin sudah sejak lama dia berkhianat. Sejak dirinya memutuskan setuju menikah dengan Danis dan pagi ini adalah puncak penghianatannya. Air mata tak dapat terbendung lagi bagi Rea. Begitu banyak alasan air mata itu keluar. Fahri, Danis, dan dirinya. Nasibnya begitu aneh dan menyebalkan. Bagaimana bisa dia melakukan itu dengan Danis sementara hatinya masih untuk Fahri atau mungkin hatinya sudah termiliki oleh Danis. Namun tidak bisa dipungkiri ia bahagia tadi pagi, sangat bahagia. Entahlah. Tidak tahu. Rea kini hanya terisak pilu mendapati dirinya yang begitu mudah dirayu.
Danis sudah mengenakan kameja coklatnya dan celana lepis untuk berangkat ke kampus tapi ia bingung melihat istrinya belum keluar kamar mandi juga.
“Rea..kamu ngapain di dalam? Ayo sarapan.” Teriak Danis namun tak ada jawaban. Saat ia akan mengetuk pintu kamar mandi, Rea muncul dengan mata sembab dan hidung memerah. Danis tahu betul Rea sehabis menangis.
“Yea?” tegur Danis namun tidak ada respon dari Rea. Merasa tidak dipedulikan Danis emosi. Ia cekal tangan kanan Rea dengan erat. Mata hitamnya sudah mulai dingin karena tidak terima diacuhkan oleh Rea. Danis tidak tahu saja kalau hati istrinya sedang gundah gulana sekarang.
“Kamu kenapa sih Rea? Kalau ada masalah ngomong. Aku ini suami kamu, gak pantas kamu gak jawab pertanyaan aku!” bentakan Danis sukses membuat air mata Rea jatuh. Dengan benci dia jawab perkataan Danis penuh emosi. “Suami??? Suami yang tidak mencintai istrinya gitu??” teriak Rea. Danis terperangah melihat kilatan emosi di mata Rea. Padahal baru beberapa saat lalu ia lihat mata itu begitu lunak padanya. Mata itu meminta dibelai, disayang olehnya. Namun kini mata itu seolah mengisyaratkan kebencian yang begitu dalam padanya. Dilepasnya tangan Rea dari cekalannya, diambilnya kunci mobil diatas nakas dekat tempat tidur mereka dan pergi begitu saja meninggalkan istrinya. Rea mematung setelah mendapati dirinya ditinggalkan oleh Danis. Rea merasa ia sangat tidak berharga di mata Danis, Rea bertanya-tanya tidak pentingkah dirinya hingga Danis pergi begitu saja.
Tapi mungkin benar Danis tidak mencintainya. Ah seharunya Rea tidak perlu bertanya lagi. Sejak kapan Danis mencintainya dan mengapa dirinya begitu terpukul saat ini mengetahui suaminya tidak mencintainya. Padahal sejak dulu memang tidak ada cinta diantara mereka tapi kenapa perasaannya begitu kacau sekarang dan kenapa dengan bodohnya ia menyerahkan mahkota berharganya.
***
Setelah membersihkan sisa air matanya, Rea turun menemui ibu mertuanya. Matanya mencari-cari sosok Karla di rumah besar ini. Ia pun mengedarkan pandangan mencari-cari sosok suami yang tidak mencintainya itu. Dengan malas dia melangkah menyadari Danis sudah tidak ada di rumah ini. Dia sudah pergi, barangkali ke kampusnya. Rea tahu itu tapi kenapa ia masih tetap mencarinya. Apa sekarang ia berharap ada keajaiban Danis kembali ke rumah dan merengkuhnya dalam pelukan hangat milik Danis. Rea tersenyum meremehkan terhadap dirinya sendiri. Sadar karena telah masuk dalam pesona Danis dan melupakan sosok lain yang bernama Fahri. Ah entahlah.
“Hei sayang kamu ngapain berdiri disitu? ayo sini kamu belum makan, kan?” tanya Karla pada menantunya.
“Belum ma,” jawab Rea sambil menggelengkan kepala.
“Apa tadi Danis makan dulu sebelum pergi ma?” tanya Rea ragu karena masih malu bangun kesiangan hari ini.
“Dia bilang udah telat sayang,” Jawab Karla sambil tersenyum. Dibelainya rambut menantunya itu dengan sayang.
Kini mereka sudah berada dimeja makan. Rea yang memang kehilangan selera makan sejak menangis tadi ditambah juga dengan perginya Danis tanpa makan membuatnya mengambil nasi sangat sedikit, tentu saja itu mengambil perhatian Karla.
“Lho kok makannya sedikit?? Tambah lagi sayang.” Tegur Karla yang ditanggapi gelengan oleh Rea.
Karla yang melihat gelagat tidak nyaman dari Rea mengerti situasi. Danis dan Rea sepertinya bertengar. Sebelum berangkatpun, Karla melihat Danis berwajah muram. Bahkan Karla mengurungkan niat menggodanya setelah melihat betapa masamnya wajah Danis. Dirinya tidak ingin ikut campur urusan anak menantunya meski selama ini ia sudah banyak ikut campur. Oleh karena itu hanya anggukan dan senyuman yang dapat diberikan Karla meski hatinya tak tahan ingin bertanya tentang kejadian tadi pagi yang membuat mereka bangun kesiangan.
Kini Karla dan Rea duduk di ruang tamu, tv dengan layar 28 inc itu dibiarkan menyala. Waktu sudah menunjukan pukul dua siang namun Danis belum juga menunjukan batang hidungnya. Ada rasa khawatir dalam diri Rea mengingat pertengkaran mereka pagi tadi. Dengan ragu ia mengambil handphonenya di atas meja.
“Kenapa Rea? Kalau kamu khawatir sama suamimu lebih baik kamu telpon aja sayang.” Nasihat Karla pada menantunya yang sedari tadi ia perhatikan terus menatap ponsel itu.
“Iya ma ehh nggak ma,” jawaban Rea yang ragu membuat Karla tertawa.
“Hallo?” Sapa Karla saat suara Danis terdengar dari ujung sana.
“Iya ma ada apa?” tanya Danis yang entah ada dimana.
“Kamu dimana? istrimu khawatir,” jawab Karla diikuti cengirannya melihat reaksi Rea yang menurutnya sangat berlebihan tapi lucu.
“Ini istrimu mau bicara.” Setelah itu Karla menyodorkan handphonenya pada Rea. Mau tak mau ia menggapai benda tersebut dan menempelkanya pada telinganya.
“Hallo,” sapa Rea ragu-ragu.
“Iya?” jawab Danis singkat membuat Rea yakin Danis masih marah padanya.
“Kamu dimana? Kenapa gak pulang!”
“Maksudku kenapa nggak makan siang di rumah?” ralat Rea yang ketahuan merindukan suaminya. Karla yang melihat itu jadi senyum-senyum sendiri.
“Aku masih di kampus. Baru mau pulang,” jawab Danis masih dengan nada dingin. Rea tanpa sadar menghela napasnya. Ternyata perang mereka belum usai. Tapi tanpa Rea tahu Danis tersenyum diujung sana mendengar helaan napas istrinya karena jawaban Danis sedari tadi singkat, padat dan jelas walaupun itu ia sengajakan karena ingin melihat reaksi Rea. Sekarang pun sebenarnya Danis sudah berada dalam mobil lexus kesayangannya. Dia pun tidak ingin berlama-lama berada diluar kalau bukan karena kuliahnya belum selesai.
“Buka pintu sayang!” perintah Danis. Rea yang mendengar perintah itu terkejut. Tapi dengan senyum yang tak bisa disembunyikannya lagi ia berlari kearah pintu tanpa peduli dengan Karla yang terus memanggilnya dan disinilah dia sekarang. Di depan pintu yang jelas-jelas berdiri lelaki yang baru saja ia dengar suaranya melalui telpon. Tanpa basa-basi Danis langsung menarik Rea ke dalam pelukannya. Begitu ditarik Rea pun melingkarkan kedua tangannya dibalik punggung Danis.
Cupp
Satu kecupan mendarat tanpa malu dibibir Rea saat wajah mereka berdua berhadapan tanpa jarak sedikit pun.
“Ada mama, Danis!” teriak Karla yang kini telah berdiri, ia pura-pura marah padahal hatinya melebihi orang yang sedang jatuh cinta melihat kelakuan anak menantunya itu.
Danis dan Rea yang mendengar itu hanya tertawa. Dengan sigap Danis mengangkat tubuh istrinya ke dalam gendongannya. Tujuannya sekarang tak lain dan tak bukan adalah kamar. Tak mereka ingat lagi pertengkaran tadi, karena kini lumatan-lumatanlah yang menjadi perwakilan untuk menjelaskan apapun yang terjadi dan yang mereka rasakan. Entah itu karena cinta atau hanya nafsu belaka tapi kedua insan ini bahagia melakukannya. Terlepas dari itu tak ada yang salah karena mereka sudah memiliki ikatan yang sakral, ikatan yang suci yaitu pernikahan.
Setelah tubuh rampingnya berakhir diatas ranjang, Rea merasa sangat lelah hingga ia memutuskan untuk tidur dalam pelukan suaminya. Entah sudah berapa kali mereka melakukannya sejak Danis pulang tadi. Tapi Danis sendiri tidak bisa memejamkan matanya. Dirinya punya kegiatan lain untuk menikmati setiap alunan napas istrinya.
“Kau cantik,” puji Danis pada wanita yang berada dalam pelukannya. Entah dulu rasa benci seperti apa yang membuatnya memutuskan untuk menikahi gadis ini. Semua berawal sejak pertama kali Danis mendengar bahwa Alpa, kakak kandungnya itu yang setuju untuk dijodohkan dengan Rea. Danis benci melihat Alpa bahagia setelah apa yang dilakukannya dulu. Hingga akhirnya keputusan yang tidak pernah dipikirnya dua kali merubah segalanya. Ia meminta pada kedua orang tuanya untuk menikahkannya saja dengan Rea.
Danis bahkan mengancam kedua orangtuanya ketika mereka tidak setuju karena dari awal orang tuaya memang ingin menjodohkan Alpa dan Rea. Danis tersenyum setan ketika ancamannya berhasil. Tentu saja saat itu hanya main-main yang kemudian akan berakhir bila ia bosan namun lagi-lagi tanpa alasan dirinya mulai merasa nyaman setiap kali melihat Rea. Danis juga tidak tahu tentang perasaannya sekarang ataupun sejak dulu seperti apa tapi yang ia tahu hanya perasaan tak rela bila mamanya selalu menjodoh-jodohkan Rea pada Alpa meskipun saat itu Danis sudah memiliki Felicia. Satu perkara lagi yang membuatnya sangat tidak rela adalah ketika dulu Rea menyukai Alpa.
“Apa yang aku rasakan dulu hingga sekarang Rea??” tanya Danis lebih ditujukan pada dirinya sendiri. Pun, ia masih menikmati wajah tenang Rea dalam dekapannya. Rea mengeliat merasa terganggu saat jari-jari Danis menyelusuri lekuk bibirnya.
“Aku nggak ngerti tapi aku bahagia sekarang kamu ada di sini.” Danis berucap. Dielusnya rambut istrinya kemudian tangannya mulai menarik selimut untuk menyelimuti tubuh Rea. Dikecupnya kening Rea sebelum ia meninggalkan kamar untuk menuju meja makan karena cacing diperutnya mulai berdemo ria akibat sedari tadi pagi belum terisi apapun sejak pertengkaran mereka berdua.
.
.
Tbc.