12. Badai Belum Berlalu

1407 Words
Ingin rasanya Rea akhiri semua tanda tanya tentang hati. Bagaimana perasaannya? Apa dia mencintai Danis? Dia tidak tahu. Yang ia tahu sejak malam itu, sejak pecakapan mereka yang terakhir kalinya Danis tidak pernah lagi meminta padanya untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Jangankan menginginkan itu, menyapa saja tidak pernah lagi. Bahkan terhitung satu bulan sudah Danis kembali dengan sikap dingin dan tak acuhnya pada Rea. Sedikitpun tak ada niatan untuk menatap mata istrinya itu. Rea meringis mendapati Danis semakin tak acuh padanya. Terlebih lagi ada rasa kehilangan yang begitu besar dalam diri Rea. Pertanyaan lain pun mulai bermunculan. Apakah Danis benar-benar tidak menginginkannya lagi? Jika dugaannya ini benar maka bisa saja Danis menceraikannya dan ia bisa kembali pada Fahri. Terlebih lelaki itu sudah tahu keadaan Rea saat ini dan Fahri masih menerima keadaan itu bila suatu masa Rea ingin kembali padanya. Ah Fahri terlalu baik untuk apa yang telah Rea lakukan padanya. Seminggu yang lalu Fahri menelpon Rea dan ia menanyakan semua informasi yang telah didapatnya dari ibu Rea. “Hallo Yea,” sapa Fahri saat itu. “Iya Fahri,” jawab Rea. Jelas ada rasa khawatir dari nada bicaranya. Takut Fahri kecewa padanya dan juga takut Danis semakin dingin padanya saat mengetahui dirinya dihubungi Fahri. “Yea ada yang mau aku bicarakan sama kamu,” deg. Suara Fahri sangat serius. Rea yakin sesuatu telah terjadi disini. Dengan suara yang semakin gugup Rea membalas ucapan Fahri. “Iya, ada a..apa Fahri?” Rea dapat mendengar Fahri sedang menghembuskan napasnya dengan berat. “Yea, benar kamu sudah menikah?” tanya Fahri. Ada rasa takut dari pertanyaan itu. Ah Fahri sudah mengetahui semuanya. Ada rasa lega bercampur takut di hati Rea. Iya, dia juga takut kehilangan sosok Fahri yang selalu mampu melihatnya meski ia tak terlihat. Apa yang harus Rea jawab. Bagaimana ia menjelaskan semua ini pada Fahrinya? Harus dimulai darimana? Apakah Fahri masih mau melihatnya setelah kejujuran ini. Rea pasrah karena pada akhirnya semua harus terungkap. Yang penting saat ini dirinya harus jujur jika tidak ingin semakin kehilanga sosok Fahri dalam hidupnya. “Iya. Aku bisa jelaskan Fahri,” jawab Rea sambil menangis karena tak sanggup membendung semua ini sendiri. “Ibu mau aku nikah sama Danis karena keluarga Danis sudah menolong kami sejak ayah meninggal, dan aku nggak bisa menolak meskipun aku sudah mati-matian mencoba. Maaf, maafin aku,” jelas Rea sambil terisak. Dia menangis lagi. Dia semakin menangis saat mendengar suara tangisan di ujung sana. Ya Fahri juga menangisi nasib percintaan mereka. Lelah menyelimuti hati lelaki itu saat mengetahui kalau informasi yang didengarnya adalah benar. Lama mereka diam meratapi kisah mereka yang tak sampai dan harus berpisah saat semuanya sudah begitu terencana oleh mereka berdua. “Yea kamu bahagia?” tanya Fahri pada akhirnya. Rea tidak menjawab dan semakin menangis mendengar pertanyaan itu. Dia menggeleng meskipun dia tahu Fahri tidak akan melihatnya. Dia ingin menjawab sempat bahagia namun betapa bodohnya dia jika itu terucap. “Rea aku mencintaimu, sangat mencintaimu,” ada jeda sesaat sebelum Fahri melanjutkan. “Aku akan selalu menerima kamu kembali kalau kamu nggak bahagia sama suamimu sayang.” Ucap Fahri mantap meskipun air mata itu masih mengaliri pipinya. “Seandainya aku bisa,” kata Rea. Tapi Rea tidak bisa karena jujur saat ini dirinya merasa benar bersama Danis. Lalu segenap perandaian dengan lancangnya menghampiri Rea. Andai Danis kembali memberikan kehangatan untuknya bukan malah menjauh seperti ini. “Kalau itu yang kamu pilih maka mulai hari ini kita bukan lagi siapa-siapa, Yea. Kisah kita sudah selesai sayang.” Putus Fahri yang membuat Rea menangis lebih keras lagi. “Maafin Yea,” pintanya. “Kamu nggak salah. Nggak ada yang salah di sini tapi kita yang nggak berjodoh, Yea. Mulai hari ini, meskipun kita sudah resmi putus tapi kamu harus tahu kalau aku selalu nunggu kamu kapanpun Yeaku mau kembali. Kapanpun kamu butuh, aku selalu ada, Yea. Itu janjiku.” Fahri berucap. Dia tidak berharap apapun pada wanita yang dicintainya. Dia hanya ingin melihat Rea bahagia. Tidak ada yang bisa Rea lakukan selain menerima semua yang telah terjadi. Hidupnya sudah jauh berbeda. Ia sudah menikah, yang artinya ia telah terikat. “Terima kasih Fahri,” balas Rea disela-sela tangisnya. Rea kembali pada realita bahwa saat ini dia dan Fahri sudah resmi putus. Dia telah kehilangan lelaki yang selama ini selalu bersamanya melewati suka dan duka bersama. Tapi Rea tidak bisa kembali pada Fahri meskipun Danis semakin tidak memperdulikannya. Rea sudah bertekad untuk membuat Danis melihatnya lagi. Ia akan mulai mendekati Danis bagaimanapun caranya. Sudah cukup baginya kehilangan Fahri. Tidak ada yang boleh pergi lagi dari hidupnya apa lagi itu Danis. Rea tidak bisa membiarkan Danis melupakan apa yang telah ia perbuat dalam hidup Rea. “Danis harus bertanggung jawab!” ucap Rea. Dengan langkah pelan, Rea menemui ibu mertuanya yang sedang menonton tv. “Ma, Danis masih belum pulang?” tanya Rea pada Karla. “Belum sayang. Sini, duduk di sini,” ajak perempuan itu pada menantunya. Karla sudah mencium bau-bau yang tidak sedap antara Danis dan Rea sejak sebulan ini. “Kalian bertengkar??” tanya Karla. Rea bimbang untuk menjawab iya atau tidak. Raranya bukan sesuatu yang benar mengikut campurkan permasalahan rumah tangga mereka kepada ibu mertuanya. Tapi tanpa Rea bercerita pun, Karla sebenarnya sudah tahu jikalau mereka bertengkar. “Iya ma,” jawab Rea sambil menggigit bibir bawahnya. “Apa kamu mencintai Danis?” tanya Karla. “Aku nggak tahu ma tapi aku takut kehilangan dia karena aku sudah kehilangan Fahri,” jawabnya. Ia tahu betul itu bukan sebuah alasan. Mungkin dia lebih dulu mencintai Danis sebelum mencintai Fahri oleh karena itu ketika mereka dipertemukan kembali cinta itu juga ikut bersemi kembali. “Mama minta maaf tapi apa kamu masih menjalin hubungan dengan Fahri?” Rea menggeleng. “Nggak ma. Kami memang baru berakhir dengan kata putus satu minggu yang lalu, tapi Rea sudah mengakhirinya sejak pertama kali Rea jadi istri Danis. Waktu itu Rea cuma nggak tahu gimana harus menjelaskan semuanya sama Fahri.” Jelasnya. Tanpa sadar ternyata pernikahannya dengan Danis sudah memasuki bulan kedua. Mengingat itu membuat hati Rea kembali rapuh karena kemesraannya bersama Danis hanya terhitung hari. Setelah itu Danis seolah tidak menganggapnya ada di rumah ini. Rea menghembuskan napasnya dengan lirih. “Tapi sekarang Danis malah tak acuh sama aku ma,” Rea tiba-tiba menagis. Dia juga tidak mengerti kenapa seminggu ini dirinya mudah sekali menangis. Karla meringis. “Sini sayang,” Karla berusaha menenangkan dengan cara memeluk Rea. “Jangan-jangan Danis nggak mau lihat aku lagi, ma?” tanya Rea seperti anak kecil. “Ssstttt. Nggak sayang itu nggak benar. Nanti biar mama yang bicara sama dia. Kamu tenang aja ya.” Bujuk Karla dan Rea mengangguk. Karla berjanji akan menegur Danis kalau anaknya itu pulang ke rumah. Tetapi Karla sanksi akhir-akhir ini Danis jarang sekali pulang ke rumah. Karla tahu Danis melakukan itu untuk menghindari Rea. Rea menghapus sisa air matanya. “Terimakasih mama,” ucapnya sambil menguatkan hatinya sendiri. Rea ingin kembali ke kamar tapi ia teringat hatinya akan kembali sakit tiap kali melihat ke sisi yang kosong di tempat tidur mereka. Tidak ada lagi Danis yang akan menyambutnya dengan tersenyum atau menggodanya seperti saat mereka melakukan itu dulu. “Rea kamu sakit? badan kamu pucat nak,” tiba-tiba Karla panik melihat menantunya yang berwajah pucat. “Nggak apa-apa ma mungkin karena Rea masuk angin aja.” Jawabnya sekenanya, karena memang dua hari ini dirinya tidak pernah absen dari muntah-muntah di pagi hari. Karla menatap wajah pucat Rea dengan seksama. “Kamu yakin?” tanya Karla lagi untuk memastikan apakah Rea benar-benar baik-baik saja. Rea mengangguk, “Iya ma aku nggak apa-apa.” Meskipun sebenarnya kepala Rea bagai dihantam sesuatu yang keras. Sakit sekali. Dengan sangat terpaksa, Rea kembali ke kamar. Ia melangkah dengan pelan karena kepalannya terasa amat berat. “Rea kamu beneran nggak apa-apa sayang?” lagi-lagi Karla menanyakan hal yang sama. Rea berhenti melangkah dan berbalik untuk menatap ibu mertuanya itu. “”Nggak apa-apa, Mama. Rea istirahat dulu ya di kamar.” Jawab Rea sambil tersenyum. Ia kembali melanjutkan langkah ketika melihat Karla menganggukan kepalanya dengan terpaksa. Belum lima menit Rea berada di salam kamar tapi matanya sudah memanas. Benar dugaannya, hatinya pasti sedih saat melihat tempat tidur Danis yang telah lama kosong. Rea benar-benar ingin memaki Danis kalau laki-laki itu pulang nanti. Semua ini kesalahan Danis. Rea tidak suka dengan sikap cengengnya ini. Rea merebahkan dirinya. Ia memeluk guling dan mencoba melupakan semua perasaan aneh yang akhir-akhir ini membuatnya uring-uringan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD