**9 itu songo**

1417 Words
Leon dalam perjalanan pulang kuliah, kepalanya terasa pusing karena ia kurang tidur. Sebagai anak yang ikut kelas akselerasi ia harus belajar lebih banyak, juga mengikuti banyak bimbel senin sampai jumat. Dari pagi sampai pukul sepuluh malam, sekolah, kelas tambahan juga bimbingan belajar yang ia ikuti. Kadang ia juga harus belajar di hari sabtu. Sebenarnya ia telah terbiasa hanya saja sesekali ia merasa lelah sekali. Leon memacu mobil miliknya lalu mampir ke sebuah toko brownies. Tanpa ia ketahui jika itu adalah tempat di mana Reres bekerja. Setelah memarkir mobil, ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam. "Selamat da—" Sapaan Reres terhenti mendapati Leon yangkini ada di hadapannya. Leon sungguh tak kalah terkejutnya. Ia selama ini memang tak tau di mana Reres bekerja. Setiap kali ia bertanya Reres memilih tak menjawab. Gadis itu takut jika Leon mengunjunginya saat Bisma datang. Sungguh ia tak mau membuat Leon terluka. Karena ia telah menganggap Leon layaknya adik sendiri. Sementara itu Leon tak kalah terkejutnya melihat Reres yang kini terlihat di balik etalase kue, mengenakan seragam cantik berwarna ungu dengan epron berwarna hitam. Gadis itu menatapnya dengan terkejut. "Lo kerja di sini?' tanya leon dijawab anggukan langsung oleh gadis pujaannya itu. "Lo kok bisa ada di sini?" tanya Reres kemudian berjalan mendekat ia melihat wajah Leon yang memerah. "Kecapekan belajar ya lo?' tanya gadis berambut panjang itu kemudian memegang kening Leon yang demam. "Hmm, sedikit. Kecapean main game juga. hehehe," Leon malah terkekeh melihat Reres yang jelas sekali khawatir. Reres mendesis kesal. "Duduk sana istirahat dulu. Lo mau es krim? Biar gue bikinian di sini ada vanilla brownies sama Chocolat brownies. lo mau Choco kan?" leon mengangguk, kemudian ia berjalan duduk setelah Reres berjalan meninggalkannya ke dapur untuk membuatkannya Es krim. Sejak kecil Leon suka sekali makan es krim coklat. Terutama jika ia sakit. Kebiasaan aneh memang hanya saja menang jika sakit salah satu ritual kesembuhan Leon adalah dengan makan es krim. Reres menyiapkan es krim, sesekali menatap ke arah meja pelanggan di sana Leon duduk seraya merebahkan kepalanya di atas meja. setelah selesai ia menghampiri si pucat. Leon punya kulit putih yang begitu mirip dengan sang ayah. Gadis itu lalu duduk di samping Leon yang kini tersenyum menatapnya. "Sesekali istirahat," kata Reres khawatir. "Hmm, gue istirahat kalau hari sabtu minggu. Lo kan tau gue pengen banget jadi dokter, ya gue mau bener-bener jadi dokter yang bisa di banggain." "Mami sama Pak Yogi pasti bangga banget sama lo Leon. Lo tuh udah berjuang banget dari dulu," kata Reres seraya menatap Leon dengan senyum. "Kalau lo?" Reres menatap Leon bingung dengan pertanyaan yang diajukan oleh Leon barusan. "Gue?" Si pemilik mata layaknya bulan sabit itu mengangguk. "Maksud gue lo bangga enggak sama gue?" tanyanya dengan nada suara yang lembut. Selalu seperti itu jika Leon berbicara pada Reres. Seolah hatinya menjadi seperti krim yang buat ucapan yang keluar dari bibirnya begitu lembut dan manis. Senyum gadis itu seketika merekah mendengar pertanyaan dari laki-laki di hadapannya yang sudah ia anggap layaknya adik sendiri itu. "Tentu, jelas banget gue bangga. Bangga banget sama Leon," puji reres lalu mengacak rambut Leon yang kini asik menikmati es krim di hadapannya. Reres tak tau efek yang diakibatkan dari apa yang ia lakukan. Tentu saja itu buat perasaan Leon berdebar tak karuan. Leon tau sejak lama Reres menolaknya. Hanya saja hatinya dengan kurang ajar memilih bertahan padahal banyak sekali mahasiswi di kampus yang begitu mengidolakan Leon yang dikenal dingin dan sulit didekati. *** Luna duduk di sebuah restoran cepat saji yang paling jago masalah ayam. Hari ini ia berjanji temu dengan Juna. Juna berjanji akan mengajak sang adik untuk makan nasi padang. Sejak menunggu ia hanya memesan kopi jelly untuk meredakan haus dan jenuh karena menunggu. Tak lama mobil yang ia kenal terlihat memasuki halaman parkir. Luna segera berdiri dan berjalan ke luar agar ia bisa segera naik mobil sang kakak. Mobil itu berhenti tepat di depan Luna yang dengan segera masuk. Melihat Juna yang terlihat mengenakan kemeja hitam dengan sengaja membuka satu kancing paling atas. "Wih, keren amat Mas?" Juna menaikkan alisnya bergantian menatap sang asik sambil melajukan mobilnya. "Keren lah, gue gitu, enggak beda jauhlah sama oppa oppa korea itu." Luna kini memilih menatap ke arah jalan dari kaca mobil dengan mengubah raut wajahnya menjadi terlihat kesal. Juna berdecak mendapati reaksi yang diberikan adik perempuannya. Ia membecik dan memilih fokus pada kemudinya. Luna melirik kemudian terkekeh sendiri melihat kelakuan sang kakak yang sejak dulu selalu membencik jika kesal. Bagi Luna saat sang kakak membecik itu lucu dan membuat gemas. Apalagi Juna punya bibir bawah yang berisi buat jadi semakin tebal jika Juna melakukan itu. "Kenapa kamu ketawa?" "Mas Juna dari dulu paling lucu kalau kaya giti. Kata Mami kaya rujak cingur. Hahahaha," kekeh Luna. "Aish, masa bibir seksi gini disamain sama bibir sapi sih?" protes Juna kemudian ikut tertawa juga mengingat apa yang sering Reina katakan dulu. Perjalanan keduanya tak sampai sepuluh menit, lokasinya dekat dengan tempat luna tadi menunggu. Menurut Juna nasi padang di sini paling enak, lokasinya juga dekat dengan apartemen milik si pemilik bibir seksi itu. Juna memutuskan membeli apartemen ia juga memikirkan kehidupan masa depannya. Maka ia memutuskan untuk mengambil cicilan apartemen. Juna tak terlalu suka bersosialisasi atau berbasa-basi jadi, menurutnya membeli apartemen adalah hal yang paling tepat karena ia tak perlu banyak bersosialisasi dan juga mendapatkan privasi yang utuh. Keduanya segera turun dari mobil dan berjalan masuk, Luna memilih tempat duduk yang paling dekat dengan kipas angin, sementara Juna memilih lauk apa untuk disajikan di meja makan mereka. Setelah memilih ia menghampiri sang adik dan duduk berhadapan. "Udah pesenin aku—" "Jeruk panas enggak pakai gula?" tanya Juna. Luna menjentikkan jarinya, sambil mengangguk. "Top deh Mas Juna memang paling bisa diandalkan," puji Luna kemudian mengacungkan dua ibu jarinya. "Mas pesan kikil tunjang juga kan?" Juna mengangguk, "Pokoknya yang Luna biasa makan, Mas udap pesan." Luna membuat mimik terharu seolah ingin menangis. "Tehura banget, Mas Juna memang kaka yang the best. Oiya, Kemarin Mas jadi ke tempat Jani?" "Jadi, cuma gitu biasa lah." Luna menatap iba sungguh ia merasa jika Jani tak bisa menghargai sang kakak. Kakak mana yang mau repot-repot memberikan uang setiap bulan pada sang adik selain Juna? Padahal ia jelas tau kalau Disha mampu memberikan uang yang cukup. Juga sang ayah yang kini usaha WO-nya semakin maju dan bahkan telah membuka beberapa cabang di Indonesia. Sejak menikah dengan Disha usaha Jimmy semakin berkembang Disha dengan baik membantu sang suami mengembangkan sayap perusahaannya ke berbagai wilayah di INdonesia. Dan kini Mika Wedding organizer telah memiliki cabang di Bali, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan beberapa tempat lagi. Namun, itu buat hubungan Jimmy dan Juna semakin tak baik. Juna tak suka dengan Disha yang terus saja menjelek-jelekkan sang mami. Buat ia akhirnya memutuskan untuk keluar dari rumah dan hidup sendirian juga bekerja di perusahaan sang papi menjadi keputusan yang akhirnya buat Jimmy semakin kesal. Alih-alih membantu sang ayah, Juna lebih memilih untuk membantu orang tua angkatnya. "Mas Juna udah ngelakuin yang terbaik. Aku bangga banget sama Mas Juna. Lihat aku .. Aku kakaknya yang tiada guna. Punya adek lebih pinter, lebih kaya karena dia dapat endorse di IG." Luna hela napas lalu menunjukkan wajah sedihnya yang dibuat-buat. Tentu saja itu buat Juna terkekeh, "Mas juga bingung kenapa kamu enggak berguna gitu." Luna menatap Juna dengan kesal lalu memukul bahu Juna dengan keras. Buat juna segera memegangi bahunya. "Sakit ih," rengek Juna. "Biarin, lagian ngeledekin aku." "Lah, kamu yang ngomong. Mas kan cuma menimpali." Luna mendesis kesal. "Kak Biyan enggak diajak Mas?" Juna terdiam sesaat, kemudian menggeleng. "Sibuk dia," jawabnya. Jelas Juna berbohong, Biyan tak akan mau jika diajak makan bersama Luna. Lagi pula ... Juna ingin menikmati masa-masa ini. Masa dimana ia bisa menghabiskan waktu bersama sang adik, juga gadis yang buat ia jatuh cinta sejak lama sekali. Namun, jelas ia sama sekali tak akan mencoba untuk curi hati Luna. Ia takut hubungan akan rusak ketika kemudian berakhir tak baik. Juna bertahan dan mencoba mengalihkan rasanya. Hanya saja, ternyata selama ini semua masih saja sama. Hati dan pikirannya masih saja dan selalu untuk luna. Jika dipikirkan Biyan lebih baik dalam segalanya fisik, kemampuan dan juna sengaja memilih Biyan karena selain mereka sudah saling mengenal ia pikir perempuan yang jauh lebih segalanya dari gadis yang ia cintai bisa buat hatinya berpaling. Nyatanya, hati dan cintanya masih sama. Semua masih tentang Luna .... *** . . . . . Assalamualaikum Adakah yang membaca cerita ini? Mudah2han aku bisa ngetik 2 hari sekali ya Kaka bunda. Gantian sama Suami di Belakang Layar.. Happy reading.. sehat selalu semuanyaaa...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD