6. Menyerah

1003 Words
"Jangan kau bakar harta karunku! Setidaknya kalau kamu tidak bisa memberikan kebahagiaan, jangan pernah menambah luka!" "Apa-apaan sih kamu, Mil! Lebay banget! Cuma sampah gitu doang.' "Jangan kau rusak kesenanganku! Kau boleh menganggap ini sampah. Tapi tidak bagiku!" "Udah deh Mil, gak usah berlebihan!" "Kamu yang membuatku seperti ini, Mas! Apa kamu tidak sadar telah menyakiti hatiku?" "Mil, Mil, kayak diapain aja kamu!" Kutinggalkan dia begitu saja. Masuk ke kamar putraku dan menguncinya dari dalam. Kupeluk si kembarku hingga mereka kebingungan. Biarkan bunda memeluk kalian sebentar saja, Nak. Bunda butuh kekuatan. Dan kalianlah kekuatan terbesar Bunda. "Bunda nangis? Dimarahi ayah lagi ya?" ujar Daffi dengan polosnya. Kubelai lembut kepalanya, lalu menciumi mereka berkali-kali. "Sayang, nanti kalau bunda punya uang banyak, dan cukup untuk ongkos pulang, kita pulang ya ke rumah kakek. Kalian mau kan?" "Mau Bun. Yang penting bunda jangan nangis ya, aku mau pergi kemanapun asal bersama bunda." "Aku juga Bun." "Terima kasih ya sayang." Gimana caranya menyadarkan Mas Haikal agar dia bisa bersikap lemah lembut seperti dulu lagi? Dulu, Mas Haikal adalah lelaki yang lemah lembut. Sayang kepada istrinya. Namun, kurasakan sejak kelahiran putra kembarku, ia mulai berubah. Apalagi dari pihak ibu mertua menuntut harus selalu tampil sempurna. Orang berumah tangga itu harus punya rumah sendiri, gak numpang terus kayak benalu. Jengah karena tuntutan ibu, akhirnya Mas Haikal ambil kredit perumahan. Aku sudah bertanya apakah dia sanggup membayar cicilannya? Mas Haikal mantap menjawabnya. Sejak saat itu dia jadi uring-uringan kalau duit gaji habis terus. Tak cukup sampai disitu, ibu mertua juga mengompori Mas Haikal untuk kredit mobil. Aku masih ingat, ucapan ibu yang membanding-bandingkan anaknya sendiri dengan anak juragan Banu. "Tuh lihat si Riko, dia udah punya rumah sendiri, punya mobil juga, kamu kapan, Kal?" Mas Haikal terdiam. "Kamu kerja dah lama, tapi belum nempel apa-apa. Malu dong jadi cibiran tetangga." "Bu, kan waktu aku masih bujang, semua uang gaji kukasih ibu." "Iya, tapi itu kan dulu. Sekarang kamu yang pegang uang itu sendiri. Harusnya bisa dong atur keuangan." "Iya, iya Bu, nanti aku kredit mobil." Ya, seperti itulah awalnya. Hingga gaji Mas Haikal habis buat cicilan rumah dan mobil. Dia memberiku nafkah hanya sedikit saja. Bertahun-tahun aku tak pernah protes karena dia selalu bilang uang gajinya habis buat bayar cicilan. Eh ternyata selama ini aku dibohongi. Sakit sekali. Dia memanfaatkan kebodohanku. Tok ... Tok ... Tok ... "Mila, buka pintunya. Aku minta maaf," teriak suara dari luar. Daffa dan Daffi mereka saling berpandangan. Hatiku benar-benar teriris perih. Kenapa laki-laki yang dulu sangat kucintai berubah jadi monster dan menyerangku. "Mil, buka pintunya. Aku perlu bicara." Aku terdiam. Biarkan saja, hatiku sudah terlanjur patah. Dia keterlaluan sekali. Kamu mungkin pernah terluka, hingga membuat hatimu mati rasa. Luka yang dia tinggalkan begitu membekas di hatimu, hingga membuatnya semakin menganga, semakin terasa sesak di d**a. Itulah yang kurasakan kini. Untung saja, tadi anak-anak sudah mandi sebelum kuajak keluar rumah. Suara adzan maghrib berkumandang. Aku mengajak anak-anak untuk sholat lebih dahulu lalu mengaji. "Mil, Mil, buka pintunya!" Mas Haikal masih berusaha membujukku. "Kamu tahu kan surga istri itu terletak pada ridha suami?" Aku tersenyum getir, lalu menyapu titik-titik bisa yang menetes di pipi. Halah, basi, Mas. Kalau kamu sudah merasa kalah dan salah pasti sok-sokan menceramahiku. Apakah suami dengan perangai buruk seperti itu harus terus kuhormati? Dia saja tak pernah menyayangiku lagi maupun anak-anak. "Mil, Mil ...!" Kubuka pintu perlahan, melihat Mas Haikal ada di hadapanku. Dia memandangku dengan tatapan memelas, mencekal pergelangan tanganku. "Aku minta maaf," ujar Mas Haikal. Aku terdiam sejenak tanpa menyahut. "Tadi aku khilaf, aku minta maaf." Kukibaskan cekalan tangannya, berlalu membuatkannya teh manis. Sabar, Mil. Sabar. Kata ibu, selagi dia masih suami kita, kita harus melayaninya dengan baik. Duh ibu, rasanya aku sudah tidak kuat bila terus bertahan seperti ini. Rasanya ingin menyerah saja. Ibuku memanglah wanita penyabar. Mas Haikal mengikutiku. "Mas minta maaf, mas sudah salah sama kamu. Di kantor lagi banyak masalah, jadi mas--" "Ini tehnya, silahkan diminum. Kalau makanan aku gak masak kecuali nasi. Silahkan beli diluar saja." Aku kembali masuk ke dalam kamar si kecil. Mereka tengah asyik bermain sendiri. Dan sekarang waktuku berkreasi. Berulang kali Mas Haikal mengetuk pintu, namun tak kujawab panggilannya. "Kenapa kamu jadi seperti ini, Mil? Mas minta maaf. Ayo kita makan bersama, mas sudah membelikan makanan buat kalian, anak-anak juga belum makan kan?" ujarnya dari balik pintu. Emang enak aku cuekin, Mas. *** Pagi ini, mataku terlihat begitu sembab karena menangis kemarin, sungguh membuat emosiku tak terkendali. Seperti biasa aktivitas yang kulakukan sebagai ibu rumahtangga. Mencuci sambil memasak. Kulihat makanan yang dibeli Mas Haikal semalam masih utuh teronggok diatas meja. Ada ayam bakar beserta lalapannya. Kuhangatkan makanan itu hingga aromanya tercium begitu harum. "Akhirnya istriku kembali seperti biasa lagi," ucap Mas Haikal tiba-tiba sembari memelukku dari belakang. Aku sampai kaget dibuatnya. Aku mengurai pelukannya, menoleh sebentar dan dengan pede nya lelaki itu tersenyum. "Oaaa.. ooaaa.. oaaa..." Tangisan Alina menghenyakkanku. Dia menangis, mungkin karena butuh ASI. Segera berlalu masuk dan menggendong bayi mungil itu. Cukup lama berada di gendonganku dan Mas Haikal sama sekali tak berinisiatif untuk membantuku menggendongnya walaupun aku tengah kerepotan. "Mas, coba kamu gendong Alina sebentar. Aku mau bangunin Daffa sama Daffi," pintaku. Sengaja ingin mendengar tanggapannya. "Gak lah, aku sudah siang, mau berangkat!" "Tapi Mas, kamu kan gak pernah gendong Alina semenjak dia lahir." "Itu urusanmu, kamu kan ibunya! Jangan repoti aku pula dengan hal beginian! Tugasku hanya mencari nafkah! Aku berangkat." Sekali lagi, mulut itu menyakiti hatiku. Setiap hari Alina hanya mendapatkan kasih sayang dariku padahal anak-anak pun butuh perhatiannya, tapi dia selalu sibuk dengan dunianya sendiri. Setiap aku protes dia selalu mengeluh, memutar balikkan fakta. Padahal aku hanya ingin dia memberikan sedikit saja waktunya untuk menemani si kecil. Dia tak berubah dan sampai kapanpun tak pernah berubah. Baiklah Mas, ucapanmu itu membuatku makin mantap untuk tak akan bergantung lagi padamu. Aku akan hidup sendiri bersama anak-anak. Tunggu saja waktunya sampai aku bisa mengumpulkan uang agar bisa lepas dari ikatan ini. Kalau seperti ini, rasanya aku ingin pulang saja ke rumah orang tuaku. Pak, Bu, aku rindu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD