5. Jangan bakar harta karunku!

1002 Words
Ia mengambil dompet dan mengeluarkan uang enam ratus ribu dari lalu diserahkan padaku. "Kenapa gak bayar sendiri ke minimarket?" "Halah, aku capek. Kamu aja yang bayarin, yang penting ada struknya." Dasar pelit! "Tadi sore Pak RT juga kesini, meminta uang kebersihan 100 ribu." "Bayarin kamu dulu lah katanya kamu jualan." "Dih, kamu yang bilang sendiri kan kalau jualanku itu cuma recehan. Kok malah minta ke aku. Gak malu apa, Mas?" "Iya, iya, pusing aku dengar kecerewetanmu! Nih uangnya." Sabar, sabar. Sampai kapan penghinaan ini terjadi, aku harus bisa melaluinya. *** Drama pagi-pagi pun masih sama seperti kemarin, entah kenapa Mas Haikal cerewet sekali. Kok ada lelaki yang bermulut lemas seperti dirinya. Ya, mungkin sikapnya menurun dari ibunya. "Mas, bisa gak sih pagi-pagi gak usah ngomel! Kasihan anak-anak, pagi-pagi dah dikasih sarapan omelan. Kamu gak mau kan anak-anak jadi takut sama kamu?" "Hah, tahu apa kau tentang anak-anak. Dia masih kecil gak tahu menahu masalah orang dewasa!" "Biarpun kecil, tapi mereka juga punya perasaan, Mas!" "Sudah, mana sarapannya! Aku mau berangkat kerja!" "Ada di meja makan." "Kok gak ada lauknya? Cuma sayur bening doang?" "Jangan menghina rezeki yang ada di depan mata. Sudah bagus aku masakin, sayur itu juga dapat metik dari belakang. Jadi gratis. Kalau mas gak terima, silahkan belanja dulu ke tukang sayur. Disana lengkap mau apa aja ada, bisa tinggal pilih, nanti aku masakin." "Duh kamu ini! Ayam yang kemarin sudah habis?" "Bukannya semalam kamu yang habisin, Mas? Kenapa tanya aku?" "Habisnya kemarin enak, ada sambelnya juga, makanku jadi lahap." "Ya mau makan enak perlu modal dong. Masa makan enak maunya gratis." *** [Bu, ini sample bros yang kemarin sudah jadi. Menurut ibu gimana? Suka gak kalau modelnya kayak begini?] [Wah itu bagus banget, Mbak. Oke nanti sore saya ke rumah ya] [Iya Bu] Aku tersenyum membaca balasan Bu Wandi, rupanya dia menyukai model bros yang kubuatkan. Model yang sederhana namun elegan, kanzashi flower. Sore hari, ba'da ashar, sesuai janjinya, Bu Wandi datang, ia pun membawa sebuah kresek hitam besar berisi kain perca. Bu Wandi tersenyum saat aku menyambutnya di depan teras. "Ayo masuk dulu, Bu. Duduk dulu." "Iya, Mbak. Terima kasih ya. Ini ibu bawakan kain perca dari sisa konveksinya keponakan ibu. Siapa tahu di tangan Mbak Mila bisa disulap jadi karya yang cantik." "Wah, alhamdulilah. Terima kasih banyak ya, Bu. Ini pasti berguna bagi saya." "Iya. Jadi berapa harga brosnya?" "Nah, ini silahkan dilihat dulu aslinya, Bu." "Iya, ini cantik banget. Hasil tanganmu bagus. Berapa kayak gini?" "Biasanya kayak gini saya jual 15 ribu, Bu. Tapi berhubung kainnya dari ibu jadi 10 ribu aja." "Eh, jangan. Ibu menghargai hasil karyamu. Ini luar biasa, butuh ketelatenan yang tinggi. Karya handmade itu perlu diapresiasi. Kalau harganya 15 ribu, ibu akan bayar segitu." "Alhamdulillah." "Berarti totalnya satu juta lima ratus ya?" "Eh i-iya Bu." "Kapan kira-kira hasilnya selesai?" "Beri saya waktu satu minggu ya, Bu." "Oke. Kabari lewat WA ya. Ini pembayarannya satu juta dulu. Sisanya yang lima ratus ribu ibu bayar nanti ya setelah barangnya jadi," ucap Bu Wandi kemudian memberikan sebuah amplop coklat berisi uang. "Siap, Bu. Terima kasih banyak. Sudah percaya sama saya." "Sama-sama. Ibu permisi ya. Assalamualaikum." "Waalaikum salam." Mataku berbinar. Alhamdulillah, terima kasih atas rezekimu ini, Ya Allah. Aku merasa terharu, dengan uang ini aku bisa membelikan anakku makanan yang enak dan juga jajan. Biar nanti aku bekerja keras saat malam hari tiba. Begadang untuk menghasilkan sebuah karya. Aku mengajak Daffa dan Daffi keluar. "Sayang, kita makan diluar yuk," ajakku. "Memangnya bunda punya uang? Kan ayah gak ngasih uang ke Bunda?" Aku tersenyum getir mendengar ucapan si kembarku. "Ada sayang. Bunda dapat rezeki, ada yang pesan hasil kreasi bunda. Makanya hari ini bunda akan traktir kalian sepuasnya." "Wah alhamdulilah. Bundaku hebat. Terima kasih, Bun." Kami bertiga berjalan bergandengan tangan. Daffa-Daffi, bernyanyi dengan riang, lagu anak-anak. Seolah tak ada beban. "Bun, aku mau es krim," usul Daffa "Aku juga, Bun." Daffi ikut menyahut. "Boleh, silahkan mau jajan apa aja boleh." "Asyiiik, uang bunda banyak ya?" Aku tersenyum. Bisa melihat keceriaan mereka saja, bahagianya tiada terkira. Aku yang biasanya cuma bersedih saat mereka minta uang buat jajan, tapi aku tak bisa memberinya karena kuhabiskan untuk kebutuhan keluarga bersama. Sesak sekali rasanya. Akhirnya, untuk hari ini kami merasa puas makan bersama di warung makan, memilih menu sesuai keinginan anakku. Lalu membeli beberapa jajanan untuk mereka ngemil di rumah. "Nanti jangan bilang apa-apa ya sama ayah, mengenai hari ini." "Baik, Bun." Aku terkejut, melihat mobil Mas Haikal sudah terparkir di halaman. Tidak biasanya dia pulang cepat. Paling cepat juga menjelang maghrib. "Assalamualaikum." Tak ada jawaban darinya. Justru kedatangan kami disambut dengan tatapan nyalang olehnya. "Ayah sudah pulang?" tanya Daffa menghampiri lelaki itu. Mas Haikal bergeming, tanpa ekspresi walaupun Daffa-Daffi menyalami tangannya. Akupun berlalu begitu saja, menidurkan Alina di kamar si kembarku. "Sayang, jagain adik dulu ya." "Bunda pasti mau dimarahi sama ayah lagi." "Enggak. Udah kalian disini saja ya, kunci pintunya." Aku menutup pintu kamar putraku dengan pelan, ketika berbalik Mas Haikal sudah berada di hadapanku dan menarik lenganku, kasar. "Dari mana saja kamu jam segini baru pulang? Ninggalin rumah gitu aja gak ada makanan gak ada apa! Terus sampah apa ini? Kenapa ada di ruang tamu?!" Deg! Aku lupa belum membawa masuk kain perca pemberian Bu Wandi. Tiba-tiba dia mengambil kresek itu lalu membawanya ke teras belakan, mengambil korek api dan bersiap membakarnya. "Kamu ini gimana sih! Sampah kok dikumpulin! Biar aku bakar saja. Apa gunanya kain kecil-kecil seperti ini!" "Cukup Mas, hentikan. Bagimu ini adalah sampah, tapi tidak bagiku. Ini harta karun yang berharga!" "Hiliiih kamu itu udah gak waras ya, Mil!Harta karun itu emas, perhiasan, bukan cuilan kain kecil-kecil seperti ini!" Mas Haikal sudah menyalakan korek itu dan bersiap membakar kain perca itu. Aku langsung mengambil kresek yang teronggok diatas tanah. "Jangan kau bakar harta karunku! Setidaknya kalau kamu tidak bisa memberikan kebahagiaan, jangan pernah menambah luka!" . . . *Keterangan : Kanzashi adalah seni lipat kain dari jepang. Biasanya untuk membuat hiasan rambut atau aksesoris. Kalian bisa lihat gambarnya sekaligus tutorialnya di Google maupun YouTube ya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD