Bab 7

1987 Words
"Yaudah kalian bisa langsung masuk." ujar Bapak tua itu. Tanpa basa-basi, Bapak tua itu menyerahkan sebuah kunci berukuran sedikit besar, beda sekali dengan kunci pada umumnya, sulit untuk dijabarkan bahkan diujung kunci itu berbentuk gergaji bila terkena jari pasti langsung berdarah. Aarav, Diah, Ben dan Geya menatap aneh kearah kunci itu. Ben tak banyak berpikir, ia langsung menyambar kunci itu dari tangan bapak tua dengan sangat hati-hati agar tak mengenai tangannya. Ben pun mulai membuka pagar itu dan akhirnya terbuka. "Pintunya udah nggak terkunci," Setelah Bapak tua itu pun pergi begitu saja tanpa sepatah kata lagi. "Kalau gitu saya pergi dulu," lanjut Bapak tua itu. Mereka mengangguk dan langsung masuk sedangkan Diah tetap berdiri sambil memperhatikan Bapak tua itu. Tapi di ujung belokkan ia melihat Bapak tua itu seperti menghilang dimakan angin. Cepat-cepat Diah mengucek kedua matanya, memastikan apakah ia salah lihat? atau memang benar adanya. Diah merinding. "Oi ayo." Geya panggil Diah. Diah langsung menoleh kearah panggilan Geya. Diah ikut berlari ke arah mereka yang sudah di depan pintu besar itu. Langkah Diah sedikit tergesa-gesa. Kenapa sekarang menjadi sangat menakutkan? "Kenapa lama?" tanya Aarav pada Diah. "Nggak ada." Diah membalas sekadarnya. Tak mungkin ia membicarakan keanehan yang ia alami beberapa kali ini. Mereka dipastikan tidak akan percaya dengan ucapannya. Mungkin tadi Diah berkedip lama jadi terasa seperti Bapak itu menghilang. Entahlah, tapi apa Bapak itu setan? Tapi apa bisa? "Ayo masuk," Ben menarik tangan Diah. Diah mengangguk sekilas, dan mengikuti langkah Ben untuk masuk. Geya dan Aarav menyusul masuk. "Wah bagus banget." Geya berdecak kagum dengan model rumah ini. Meskipun rumah ini perpaduan warna kuno namun rumah ini tetap terlihat megah dan menarik. Mereka keasikan kagum dengan porposi rumah tua itu, rumah yang jarang sekali memakai desain kuno. Sepertinya desain seperti ini sudah sangat langka. "Fotoin gue Ge," Diah memberikan ponselnya pada Geya. Diah langsung memposisikan dirinya pada pancangan foto abstrak klasik yang membuat mata candu untuk melihatnya. Diah membuat pose sebaik mungkin kearah kamare yang tengah di pegang oleh Geya. "Abis itu gue ya." Geya berujar dan langsung mendapatkan anggukan singkat oleh Diah disana. Diah berpose sesukanya dengan sesekali memegang barang mewah di rumah ini. Ketika Diah memegang salah satu barang dalam rumah ini, Diah tak merasakan debu yang lengket dicarinya bahkan sangat bersih sepertinya penjaga rumah ini sangat rajin membersihkan rumah tua ini. Aarav dan Ben hanya memperhatinkan interaksi mereka. Kemudian Aarav berbalik kebelakang dan melihat pintu utama itu masih terbuka. Aarav berjalan hendak menutup pintu, teguran dari Ben langsung terdengar. "Eh jangan ditutup." titah Ben tegas, membuat Aarav langsung menghentikan niatnya yang ingin menutup pintu. "Kenapa?" Aarav bertanya dengan bingung. "Karena kita kan juga mau balik," jelas Ben. Jujur, Ben yang memang mengajak mereka namun dibalik itu Ben sejak tadi sudah merasakan keanehan dengan rumah angker penuh mistis ini, ketika Ben sudah memasuki kawasan rumah tua ini lebih dekat, Ben malah merinding dan tubuhnya menjadi tak aman seperti ada yang memperhatikan mereka tetapi Ben tak tahu apa itu. Ingin langsung melarikan diri tapi sepertinya tanggung karena sudah berada di dalam rumah tua ini. Meskipun begitu, Ben hanya melihat-lihat saja setelah puas Ben akan mengajak sahabatnya untuk segera pergi dari sini. "Intinya jangan ditutup," ujar Ben lebih tegas, tak ingin dibantah. Aarav mengangguk sekilas kemudian berjalan kearah sofa yang dibalut oleh kain putih. Aarav duduk diatas itu, tak berdebu makanya Aarav dengan leluasa duduk disana. Ben menatap Diah dan Geya yang masih asik foto-foto disana. "Kalian sekarang liat-liat terus, abis itu langsung balik," ucapnya pada cewek-cewek. Geya menghentikan cepretan kamera ke wajah Diah, ia menatap Ben sendu dengan bahu yang sudah merosot lesu. "Kok cepat banget?" tukas Geya sedikit tak terima. Ben langsung menjawab. "Iya disini kita nggak ada buat apa-apa. Lebih baik kita ke Bali, di sana kita bakalan ke laut dan berenang," terangnya. "Iya juga ya." Geya sontak melompat girang ketika mendengar 'Bali, laut dan berenang' yang paling Geya tunggu-tanggu setelah sekian lama. Ada menarik yang tertangkap di mata Aarav. Cowok yang tengah asik mendengar musik ditelinganya perlahan bangun dari sofa dan menuju ketempat salah satu nakas berukuran lebar, tergeletak banyak barang-barang antik namun terkesan mewah. Aarav memang suka dengan barang-barang yang terkesan lama bahkan Aarav di rumah mengoleksi barang-barang seperti ini. Aarav dengan kagum mengamati barang-barang itu secara leluasa hingga Aarav mengambil salah satu buku yang cukup tebal dan sangat berat untuk dipegang. Sebenarnya Aarav tidak suka membaca tapi melihat buku yang terlalu besar dan kuno membuat Aarav penasaran apa isi dalam buku setebal ini, baru pertama kalinya Aarav melihat buku tebal sekali seperti ini. Siapa sih yang ingin membaca buku tebal begini? Aarav rasa tidak ada. Di halaman pertama tidak ada isi kosong sampai kedua kosong, kosong terus hingga di halaman ke sepuluh ada terdapat tulisan aneh. Abjad bahasa yang dimiliki buku ini sebenarnya sulit untuk dibaca namun Aarav yang pernah belajar bahasa Mandarin, Aarav bisa dengan lancar membaca kalimat aneh itu. "Ini yang kita mau. Maunya kita di dalam, di dalam, di dalam. Keinginan kita maunya di dalam dan di dalam." Aarav mengernyitkan dahinya, tak mengerti. "Apaan sih aneh banget," Aarav langsung menaruh kembali ketempat semula buku itu setelah menutup buku itu. "Kenapa Rav?" Geya bertanya. Tak sengaja Geya mendengar dengusan Aarav. "Ini." Aarav menampakkan buku itu dan lagi membuka buku itu di halaman yang baru saja di baca oleh Aarav. Geya langsung mendekat menghampiri Aarav, ia juga memperhatikan buku itu dan mengejanya dengan pelan-pelan. Geya juga pernah belajar bahasa Mandarin makanya Geya bisa membacanya. "Iya Aneh banget." Geya berkomentar sama hal dengan Aarav tadi. Diah dan Ben yang melihat Geya dan Aarav disana, menjadi penasaran ikut menghampiri. Diah dan Ben melihat buku itu, mereka juga ikut membaca. "Udah nggak usah dipikiran, taruh balik." titah Ben pada Aarav. Aarav pun mengangguk membenarkan, ia langsung meletakkan kembali buku itu di tempat semula. Tepat di detik yang sama ... BLAMMM!! Suara pintu utama itu tertutup sangat kencang, berhembus dengan angin. Cukup membuat mereka berempat terkejut setengah mati. Jantung mereka menompa dengan tak normal, mata mereka membelelak kearah pintu bahkan Geya sampai jatuh terduduk saking syok apa yang terjadi disana. "Kok bisa tertutup kencang gitu?" Otak Diah sudah tak bisa berpikir dengan tenang, ia bertanya dengan ketiga sahabatnya namun tak ada menjawab pertanyaannya. Diah panik dan pias. "Angin." Ben jawab dengan tenang meskipun hatinya juga merasakan gundah tak enak. Tanpa basa-basi, Ben langsung berlari cepat kearah pintu itu. Sekuat tenaga Ben mengeluarkan seluruh kekuatannya untuk membuka pintu yang sudah tertutup cukup rapat itu. Beberapa kali Ben mencoba namun tak ada hasil, nihil sekali. "s**l pintu terkunci dari luar kayaknya," Ben menggerutu kesal. Ia masih berusaha membuka pintu itu, berkali-kali. Aarav juga ikut mengumpat dalam hati mendengar ucapan Ben itu. "Serius lu?" tanya Aarah memastikan, bahwa itu salah. Ia tak ingin terjebak di rumah tua inu. Aarav langsung berlari cepat kearah Ben juga, diikuti dengan Diah dan Geya dengan panik. Perasaan mereka campur lebih ke ketakutan yang luar biasa. "b*****t, nggak bisa." umpat Aarab setelah ikut berusaha membuka pintu itu. Pintu itu tertutup cukup kuat meski sudah beberapa kali untuk di buka. "Ih nggak bisa," ujar Diah dan Geya kompak. Cewek-cewek juga membantu Aarav dan Ben namun hasilnya tetap nihil. Aarav langsung menarik kerah kemeja Ben, menghadap paksa kearah Aarav. "b*****t, rumah apa yang lo ajak kita Ben!" Aarav menahan tinjuannya di udara, tangan Aarav terkepal kuat. Otot wajahnya merah padam karena gejolak emosi. Ben berusaha melepaskan tangan Aarav dileharnya, semakin lama yang membuatnya tercekik. "Apaan sih lo, lepasin gue!" Dengan sekali hentakkan Ben berusaha melepaskan cengkraman tangan Aarav yang semakin menyiksa di lehernya. Muak dengan kekacauan yang terjadi, Diah langsung mengeluarkan teriakan dengan tatapan penuh peringatan dari Diah. "Udah jangan ribut!" sentak Diah kuat-kuat. Tepat di detik yang sama, tiba tiba jam yang indah dan besar itu terjatuh sendiri. Cukup besar suara itu, mereka secara serentak terkejut dan langsung melihat apa yang terjadi. Pecahan kaca dari jam itu berserakan di lantai. "Kok bisa jatuh sendiri?" Geya berteriak histeris. Wajahnya makin pias, dan ketakutan. Tubuhnya bergetar hebat. Dan langsung diikuti oleh teriakan Diah namun tak sebesar Geya ketika mereka membaca tulisan di balik jam tadi yang terjatuh. Tertulis dengan kalimat 'Selamat datang' memakai tinta merah yang meleleh jatuh kebawah lantai, tetesan itu sangat jelas bahwa itu dari darah yang baru saja di kuras. Aarav yang terbalut emosi langsung menghajar Ben dari samping, Aarav semakin muak dengan apa yang terjadi. Aarav langsung menghajar Ben habis-habisan. Aarav menindih Ben yang sudah terjatuh di lantai karena pukulannya tadi, bertubi-tubi Aarav melayangkan pukulan di rahang Ben. "Gara-gara lo ni anjing," umpat Aarav dengan murka. "Ini salah lo yang baca tuh buku," Dengan sekuat tenaga Ben menendang tubuh Aarav alhasil Aarav terlempar beberapa senti dari tubuh Ben. Ben yang merasa kesempatan, langsung berbalik memukul Aarav seperti pukulan yang sama. Ben memukul Aarav kuat-kuat sampai ujung bibir Aarav tersobek dan mengeluarkan darah segar, menetes mengotori lantai. "Lo ngajak kami ke sini buat apa gila!" Tentu saja Aarav tak tinggal diam, Aarav membuat hal serupa di tulang pipi Ben meski Aarav masih kalah karena tak berhasil mengambil alih pukulan. Ben masih menindih Aarav dan mereka masing memberi pukulan tanpa ada kata ampun, bisa saja mereka mati di tempat karena pukulan yang makin tak bisa dihindarkan. Gaya dan Diah langsung bergegas memisahkan mereka. Tidak lucu jika mereka berdua mati, setelah itu Diah dan Geya harus tinggal bersama mayat yang akan membusuk. Amit-amit mereka membayangkan itu, Geya dan Diah tak akan membiarkan itu terjadi. Geya menarik Aarav dan Diah menarik Ben hingga tubuh cowok itu saling terpisah. Napas Ben dan Aarav memburu tak beraturan, dadanya naik turun. Kilatan mereka saling menghunus dengan tajam, emosi masih terbenam di jiwa mereka. "Tenang ada jendela," Diah langsung bersuara ketika melihat ada beberapa jendela kaca disana. Mereka berempat pun langsung berlari kesana. Aarav langsung mengambil sebuah kursi dan melempar kursi ke kaca dengan gerakan cukup kuat. Gagal! kaca itu masih utuh bahkan tak ada lecet sedikitpun. Ben juga ikut membantu diiringi juga dengan Diah dan Geya yang juga melemparkan barang berat kearah kaca itu. Gagal! Gagal! Gagal! Padahal sudah banyak barang yang mereka gunakan tapi hasilnya terus nihil. Mereka melakukan itu seperti percuma dan hanya menguras energi tubuh sendiri. Tak lama kemudian, beberapa barang di dinding ikut saling jatuh seperti jam mewah, foto-foto abstrak dan rantai besar dari lampu ruang tamu tiap kali mereka melakukan kegiatan menghancurkan kaca itu. Aarav, Diah, Ben dan Geya tak memperdulikan itu dan masih berusaha apapun untuk memecahkan kaca s****n yng yang cukup kuat itu. "Udah cukup. Percuma kaca itu nggak bakalan pecah," teriak Diah dengan lemah kepada sahabatnya. Tenaga Diah terkuras habis, Diah jatuh berjongkok di lantai, ia meremas rambutnya frustasi. Capek dan ketakutan bercampur menjadi satu. Diah bingung, apa yang harus mereka lakukan? Tidak lama setelah itu, kaca yang tadinya berwarna transparan tiba-tiba menjadi hitam sehingga mereka tidak bisa lagi melihat ke luar. "Apa lagi ini." Geya menjambak rambutnya frustasi. Diah langsung mendongak melihat apa yang terjadi, detik itu Diah menendang apapun di depannya sampai sakit, frustasi dan tak bisa berbuat apapun lagi. Sampai akhirnya mereka pun hanya bisa terduduk di sofa dengan lesu. Gurat wajah mereka sama-sama frustasi, gundah dan pias. Menjambak rambut masing-masing, memikirkan apapun yang bisa membuat mereka keluar dari sini. Nyatanya itu tidak ada. "Ini semua salah Ben," tuding Geya menunjuk Ben dengan amarah. "Sumpah nyesel." Geya meraup wajahnya, sebal. "Lo jahat Ben." lanjut Diah serak. Diah menangis. Ia tak bisa menahan matanya untuk tidak menumpahkan air matanya. Sesak menghadapi yang terjadi. Diah menyeka kasar air mata itu, ia menatap Ben dengan tajam. "b******k!" umpat Diah untuk Ben. "Si anjing emang harus dihukum mati." Tak lupa Aarav juga menghunuskan tatapan tak kalah tajam untuk Ben, tatapan permusuhan itu terlihat nyata di sorot elang milik Aarav. Rasanya ia ingin meninju wajah Ben lagi, tapi rasanya seperti percuma. Aarav juga merasakan jijik untuk menempati tangannya di wajah Ben untuk sekarang ini. Sedangkan Ben hanya bisa terdiam, menerima semua u*****n sahabatnya seraya menutup mata menggunakan kedua tangannya. Ben juga ikut frustasi, ia tak menyangka akan separah ini kejadiannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD