Ben menjambak rambutnya frustasi, ia mengeram marah dan menunjuk Aarav. "Nggak ada waktu buat gini, lo Rav nggak usah sok benar. Kalau aja lo nggak baca tu buku ini semua juga nggak bakalan terjadi!" Ben menuding Aarav.
"Tapi lo yang ajak b*****t!" sentak Aarav marah, sekaligus mengacungkan jari tengahnya kearah Ben.
"Gue kan juga nggak tau, emang lo yakin gara-gara buku itu?" Aarav bertanya dengan kesal.
Ben memutar bola matanya jengah. "Iya iya lah!" Ben mengeluarkan dengusan kasar.
"Nggak usah sok tau!" tukas Aarav tak terima. Wajahnya sudah merah padam kembali, Aarav hendak berdiri, menghampiri Ben untuk memukul wajah songong cowok itu yang membuat Aarav muak melihatnya.
Sontak saja hal itu dilihat oleh cewek-cewek, Diah langsung berterik menghentikan pertikaian. "CUKUP!" Diah menjerit kuat-kuat, napasnya tersengal. Kedua sorot matanya menatap nyalang kearah Ben dan Aarav. Diah marah besar, capek mendengar keributan karena percuma mereka ribut, apa bisa semua ini kembali ke awal? Tentu saja, tidak!
Aarav yang terlanjur kesal dan juga menatap wajah Ben memilih menuju tempat buku itu tergeletak. Dan cukup terkejut saat Aarav tak menemukan apapun disana, kosong. Marah melihat itu, Aarav meninju meja sampai tangannya memerah. "s**l, nggak ada buku itu!" Tanpa sadar suara Aarav besar, alhasil ketiga sahabatnya yang lain bisa mendengar ucapan Aarav.
"Sial." umpat Geya langsung setelahnya. Geya semakin mencengkram kuat-kuat rambutnya, frustasi memikirkan kejadian ini. Sumpah, Geya capek. Kenapa ia harus terjebak disini? s**l, s**l dan s**l.
Dengan pasrah, Aarav kembali duduk diatas sofa tadi. Aarav menyandarkan punggung tubuhnya kearah sofa, wajah menengadah keatas dengan mata yang saling terpejam lelah.
"Sekarang gimana?" Geya bertanya khawatir. Sungguh, Geya semakin takut berada disini dengan jangka waktu yang lama, ia takut keluar dari rumah tua ini hanya tinggal nama, Geya tak mau ia tidak ingin seperti ini. Saking gusarnya, Geya mengigit-gigit kukunya kuat-kuat hingga membuat kulit kukunya tersobek dan sedikit mengeluarkan darah. Raut wajah Geya seperti orang depresi berat.
"Ya kita harus cari cara untuk keluar dari rumah ini." Ben memberi solusi namun Ben tak tahu apakah itu berhasil atau tidak. Ben hanya berdoa, berharap mereka semua bisa keluar secepatnya dari rumah tua ini dengan keadaan selamat.
"Benci banget gue sama lo." Sorot mata Diah menuju Ben, Diah menatap Ben sangat tajam seolah bisa menghunus jantung Ben ketika melihat itu.
Ben sedikit terkejut dengan ungkapan Diah, soalnya Diah tidak pernah marah seperti ini. Ben jadi merasa bersalah dengan sahabatnya, sebabnya mereka berada disini. Awalnya hanya ingin coba-coba tapi justru terjebak tanpa ada jalan keluar.
"Intinya kita semua harus selamat." tukas Geya. Apapun yang terjadi, Geya akan melakukan apapun agar bisa selamat dari rumah tua ini. Geya bertekad menanamkan jiwa pemberani tanpa lengah. Geya harus bisa, mereka harus bisa untuk bebas kembali.
"Harus." seru Diah dengan semangat dan pantang menyerah.
"Tapi orang pasti akan nyariin kita kan?" Aarav bertanya kepada sahabatnya, berharap ucapannya benar dan mereka bisa keluar dari sini, dengan keluarga terdekat mencari pasti ia dan sahabatnya akan dapat pertolongan dari orang luar.
"Iya juga nggak mungkin kan mereka nggak nyariin karena kita nggak kasih kabar." Ben sedikit berwajah cerah, bagaimana tidak perkataan Aarav bisa dibenarkan. Dan Ben juga berpikir sama hal dengan Aarav.
"Ya palingan kita di cariin pas tujuh hari kemudian, kan mereka taunya kita pergi cuman tujuh hari." Diah berkomentar dengan bahu merosot lesu. Ia merasa tidak berpegang dengan ucapan Aarav dan Ben. Karena sebelumnya juga mereka sudah bilang akan pergi selama seminggu, itu artinya mereka baru akan dicari setelah seminggu itu terlewati, dan tetap saja mereka harus terkurung dulu di rumah angker s****n ini.
"Masa kita harus di sini selama itu." Geya berkata kesal. Perlahan, gerak mata Geya mulai menelaah keadaan rumah awal masuk membuat Geya senang bukan main namun sekarang membuat Geya sangat takut, dia takut nyawanya akan menghilang gara-gara rumah s****n ini. Jujur, Geya semakin takut melihat lampu mati hidup dipojokkan kiri paling ujung ditambah dibagian lain yang dilengkapi lampu yang berkedip-kedip sendiri.
"Di situ ada jendela." Geya menunjuk jendela besar itu yang berada di atas dinding. Mata Geya memang terkenal jeli kalau lagi di keadaan menyeramkan seperti ini. Jendela itu kecil, dari jendela itu juga mereka bisa mendapatkan cahaya walaupun hanya secuil.
"Percuma, palingan nggak bisa di pecahin." Ben menghela napas panjang, merasa seperti tak ada harapan lagi.
Geya memutar bola matanya malas ketika mendengar penuturan Ben yang memuakkan seperti tak ingin lagi berusaha. "Bukan gitu pandai, mungkin ada orang di luar kan bisa minta tolong." Geya mendesis kecil.
Gen hanya mengangguk kecil. "Yaudah biar gue aja yang naik ke sana." Ben berdiri, memutar tubuhnya kearah jendela itu. Detik itu juga Ben membelalakkan matanya ketika melihat ketinggian jendela itu yang tak semapai dengan tingginya, cukup tinggi tak tak bisa Ben raih. "Tapi gimana, tinggi banget gila," keluh Ben meringis pelan. Ben mengusap rambutnya kasar dengan sebelah tangan.
"Nggak mau tau lo harus naik." Aarav mendengus kasar mendengar Ben yang bisa-bisanya mengeluh disaat genting seperti ini. Aarav berjalan mendekati Ben, mendorong cowok itu hingga membuat langkah Ben maju tiga langkah, sang empu melirik Aarav dengan sinis, Aarav tak kalah sinis menatap Ben. Mereka bersitatap dengan kemusuhan di mata masing-masing.
"Ya tapi gimana?" Ben menendang sofa sampingnya dengan sebal. Aarav, Geya dan Diah seolah bekerja sama menyudutkannya. Menjadikan Ben begitu kesal minta ampun.
Aarav melirik sekitar, ia sendiri bingung juga tidak ada alat untuk naik ke jendela yang memang sangat tinggi itu. Aarav menarik napas panjang, rumah ini seperti tak mengizinkan mereka keluar dari sini.
Clek.
Ben terkejut diikuti Aarav dan Geya yang menoleh kearah Diah. Aarav dan Geya terkejut normal beda dengan Ben terkejut seperti dikejar makhluk halus.
"Lo ngangetin." Ben melirik kesal ke arah Diah yang ternyata gadis itu yang menghidupkan lampu, Diah memang baru saja menekan saklar lampu disampingnya. Syukur, lampu itu berguna dan cahaya juga tak terlalu remang lagi namun sedikit redup tapi mereka masih bisa melihat dengan jelas keadaan sekitar. Di luar sana, bumi sudah berganti dengan malam.
"Di atas sana ada apa ya?" gumam Diah melirik lantai atas. Diah hanya penasaran ketika melihat balkon kuno namun mewah itu. Di atas memiliki lampu yang cukup terang beda sekali dengan yang di bawah. Diah sedikit merasa aneh sebenarnya, namun Diah tak terlalu memikirkan itu.
"Lo tadi dapat buku di mana?" Diah bertanya pada Aarav. Aarav pun berbalik menghadap Diah.
"Di sana." jawab Aarav seraya menunjuk ke arah meja bundar yang memanjang itu. Diah langsung mengikuti jari telunjuk Aarav, Diah berjalan pelan kesana dan Diah tak menemukan apapun. Diah hanya ingin buku itu ada, agar bisa membalikkan keadaan seperti semula ataupun buku lain yang membantu mereka tapi nyatanya itu hanyalah angan-angan, Diah tak melihat apapun itu diatas meja itu. Kosong, tak jejak sedikit pun.
"Gila, ini rumah berhantu pasti." Ketika kata itu keluar dari mulutnya, Geya langsung merinding ngeri. Saking bulu kuduknya naik, Geya mengusap bahunya dengan kedua tangan, memeluk tubuhnya gelisah.
"Emang." Diah berujar santai.
"Maksud lo?" Geya memicingkan matanya kearah Diah, penuh kecurigaan.
"Ya gue tau." Diah menjawab sekadarnya.
Sekujur tubuh Geya bergelojak emosi, ia menatap berapi-api kearah Diah, melemparkan tatapan kemarahan nyata kepada Diah sekaligus merasa kecewa dengan tindakan Diah. "Lo tau tapi nggak bilang sama kita?!"
Diah menatap Geya sendu, ia sama sekali tak bermaksud menyembunyikan hal ini hanya saja belum waktu yang tepat untuk menjelaskanya kala itu. Diah menyesal, "Gue tau, emang di sini banyak setanya. Lo tau kan kalau gue itu bisa ngerasa, tapi nggak ngeliat dan tadi gue ngeliat bapak itu aneh dan gue di Bus juga ngeliat Ibu-Ibu aneh. Gue nggak terbiasa dengan hal penampakan itu, jadi gue nggak yakin ada yang aneh di sini." jelas Diah.
Geya langsung jatuh terduduk di atas sofa, ia menunduk dengan kedua tangan menangkup wajahnya. Mata Geya didesak, hingga air mata frustasi itu tumpah begitu saja. Geya menangis tersedu-sedu, bahunya terguncang sedikit hebat.
Aarav menghembuskan napas panjang ketika melihat Geya yang malah menangis. "Percuma nangis!"
Ben pun ikut terduduk sambil mengusap rambutnya kasar, sekaligus meraup wajahnya berkali-kali. Pikirannya kosong, tak ada ide yang bisa mengeluarkan mereka dari sini.
"Sekarang harus keliling buat cari tau apa yan bisa kita lakuin agar bisa keluar dari sini." Aarav memberi saran. Meskipun kecil kemungkinannya, tapi berusaha dulu tak ada salahkan?
Geya, Diah dan Ben langsung mengangguk menyetujui. Berharap dihati masing-masing setelah berpencar mereka bisa menemukan sesuatu yang bisa membuatnya keluar.
"Oke, ayo." Ben bersuara. Mereka langsung memilih jalan masing-masing secara terpisah. Sekeliling itu mereka hanya melihat barang-barang kuno tapi mewah, namun tak ada hal menarik lainnya. Sudah satu jam mereka berpencar, tetapi mereka tidak menemukan apa-apa. Rasanya seperti percuma saja. Hingga mereka kembali berkumpul di tempat semula.
"Gue nggak nemuin apa-apa." Geya menjelaskan, Geya menumpukannya tangannya di lutut saking lelahnya berputar-putar tak jelas tadi karena mereka juga tak menemukan apapun.
Diah mendongak, melirik keatas lantai dua. ”Di atas belum." Diah menunjuk lantai atas, diikuti oleh Geya, Aarav dan Ben. Mereka berempat menatap tangga itu, tangga yang berbentuk ular yang setengah melingkar, tinggi sekali dengan model setiap tanjakan itu sepertinya hanya sebatas bawah tumit saja. Cukup berbahaya sekali apabila melangkah tak melihat tangga, bisa saja jatuh dengan ketinggian tangga puluhan meter. Bergedik ngeri, mereka menatap tangga itu.
"Gila lo." Geya menoyor lengan Diah, ia merinding setengah mati melihat tangga itu. Geya sangat tak setuju apabila harus menaiki tangga itu, melihatnya saja sudah ketakutan apalagi berpijak disana.
"Yaudah gue aja." Dengan berani Diah memberi keputusan, sontak membuat ketiga sahabat melotot kaget kearah Diah yang sudah perlahan melewati ketiga sahabatnya itu.
"Serius?" Aarav mengejar Diah, ia memegang lengan Diah untuk mencegah gadis itu yang berniat ingin menaiki tangga yang cukup mengerikan bahkan kaki Diah hendak menanjakkan kakinya disana, sangat membuat Aarav tak habis pikir dengan keberanian Diah yang tak main-main.
Diah menoleh kearah Aarav, dia mengangguk lalu tersenyum tipis. "Iya!" jawab Diah dengan enteng, seolah nyawa adalah permainan.
Diah langsung ke atas, berhati-hati ketika kakinya berpijak di tangga itu apabila Diah salah melangkah, kaki Diah akan tersobek begitu saja, Aarav, Geya dan Ben hanya bisa menatap kepergian gadis itu seorang diri keatas, mereka menatap Diah dengan perasaan campur aduk.
Tepat diatas, Diah melihat banyak sekali barang-barang yang tertutup kain putih. Diah membuka kain itu satu persatu, dan percuma tidak ada petunjuk di barang yang tertutup kain itu. Di lantai atas ini, Diah melihat banyak sekali ruangan, ada satu dapur, aneh tidak biasanya ada dapur di lantai dua. Mungkin, ini model rumah mewah makanya ada dapur di sana.
Tak di sangka, tanpa dirasa oleh Diah sendiri jikalau saja Diah tak melihat bahwa kukunya sudah sedikit terbuka dan mengeluarkan darah. Diah panik, sangat panik hampir saja ia menjerit histeris ketika gadis itu sudah menginjak kakinya di area dapur lantai dua ini. Diah langsung berlari keluar, dengan berhati-hati Diah menuruti tiap anak gundukan tangga itu hingga di ujung tangga Diah hampir saja terjatuh karena menginjak kakinya sendiri. Untung saja, Aarav siap siaga, Aarav sedikit berlari cepat ke atas beberapa gundukan tangga itu dan menangkap tubuh Diah menahan tubuh Diah agar tak terjatuh
Diah menatap Aarav dengan mata memerah, berkaca-kaca parah. Gadis itu menyembunyikan jarinya yang terluka di balik bajunya. "Ayo kita keluar dari sini!" sentak Diah begitu keras, Aarav terkejut diikuti Ben dan Geya yang melihat mereka di atas. Aarav dan Diah bergegas turun dari tangga itu, menuju lantai bawah, dengan sedikit tergesa-gesa.
Diah berlari cepat, berusaha lagi membuka pintu utama itu dengan sekuat tenaga, percuma pintu itu tak bisa terbuka. Sepengaruh apa mantra itu hingga bisa membuat hal ini terjadi? Apa arti mantra itu? semua pertanyaan di kepalanya membuat Diah pusing, otaknya nyaris ingin pecah. Aarav, Ben dan Geya menatap tak mengerti dengan Diah yang tiba-tiba seperti ini
"Kenapa?" Geya bertanya lembut, berjalan kearah Diah. Merangkul tubuh sahabatnya, bisa Geya rasakan tubuh Diah bergetar hebat tak terkontrol.
Air mata Diah sudah mengapung derah di pelupuk, Diah menangis tersedu-sedu menatap Geya. Ia takut sekali, Diah langsung memeluk tubuh Geya. "Ada mahkluk halus yang jahat," ujar Diah serak, kemudian Diah menguraikan pelukan dan memperlihatkan kukunya. Dengan bibir bergetar, Diah menjelaskannya susah payah. "Liat kuku gue berdarah, gue takut Geya." Diah menunjukkan kukunya ternyata tidak ada seperti perkataan Diah, membuat Geya makin bingung.