Rasa Bersalah

2028 Words
Suara bel terdengar saat Jennie sedang asyik menonton tayangan serial favoritnya. Dia menebak yang datang Lisa dan yang lainnya, karena Lisa sebelumnya mengatakan akan datang ke apartemennya bersama Sherly da Suzy saat jam kantor usai. "Hai Je, gimana kondisi lo?" Suara Sherly segera terdengar saat Jennie membuka pintu. "Lo demam ga sih?" Sherly menempelkan telapak tangannya pada Jennie saat dia masuk ke apartemen. "Nggak panas kok." "Beneran sakit nggak sih lo?" tanya Suzy dengan gaya bossy seperti biasa. "Jangan-jangan lo nggak masuk cuma caper aja ya sama Pak Chandra? Hari ini, lo nggak masuk, dia heboh banget kayak lo bininya aja." Suzy nampak kesal. "Sakit nggak selalu demam juga Suz." Sherly belain Jennie. "Eh tapi beneran sih, tadi tuh Pak Chandra udah kaya kingkong ngamuk. Dikit-dikit marah." Lisa menambahkan. "Ya...mungkin darah tingginya lagi kumat kali, bukan karena gue nggak masuk. Lha emang siapa gue? Kenapa gue nggak masuk bikin Pak Chandra keki, ye kan?" "Iya sih...tapi ya menurut gue, Pak Chandra naksir lo deh Je," ucap Lisa. "Pak Chandra naksir Jennie? Ngarang banget lo!" Suzy berkomentar. "Eh, iya lo Suz, menurut gue sih gitu, kalau diliat-liat Pak Chandra suka natap Jennie lama gitu. Terus, kemarin pas kita di X2, tuh, gue ke toilet ketemu ama Pak Chandra dan dia nanya, apa gue ke X2 ama Jennie? Nah tuh ngapain dia nanyain Jennie?" "Kemarin di X2, lo ketemu Pak Chandra?" tanya Jennie kaget. "Iya...gue bilang kalau lo barusan aja pulang, terus Pak Chandra langsung ngeloyor gitu aja. Kayaknya dia mabuk juga sih. Tuh kan...mabuk aja yang diinget lo, Je. Udahlah ya, kalau gue jadi lo, mending gas aja udah." "Siapa tahu, Pak Chandra nyariin Jennie karena gosip yang beredar?" ucap Suzy. "Gimanapun, gosip itu kan gosip yang membuat divisi marketing keliatan b****k. Gila aja kan ya gosip kalau anak AO tidur di kantor sama OB. Pak Chandra juga pasti malu banget lah kalau kayak gini. AO kan representasi perusahaan, banyak relasi dari pengusaha sampai orang penting, terus tiba-tiba ada gosip kayak gitu, drop shay! Mau ditaro mana muka Pak Chandra di hadapan pimpinan divisi lainnya." "Pastinya dia kepikiran dong, makanya nyariin Jennie mulu." "Tapi kan gosip itu nggak bener, iya kan Je? Lo udah jelasin ke Pak Chandra kan?" tanya Sherly. "Udah kok, ya terserah sih mau percaya atau enggak, yang jelas kejadiannya emang nggak kayak gosip yang beredar. Gue sama Beha nggak ngapa-ngapain. Gue numpag tidur karna pagi banget harus nemuin Mr Tjong." "Iya, kita percaya sama lo kok, Je." Sherly menepuk pundak Jennie. "Eh, Je, kita bawain makanan banyak nih!" Sherly membuka kantong belanjaan yang berisi berbagai cemilan dari mini market dan juga makanan dari restoran. "Daripada lo pusing, stres jadi sakit mending lo makan deh ya." "Lagian tadi tuh, gue udah beresin kasus gosip ga jelas itu," ucap Lisa. "Beresin gimana?" tanya Jennie. "Tadi gue udah panggil si Beha. Udah gue tanya kejadiannya gimana, ya persis sama yang lo bilang dan gue rasa sih semua clear, gosip itu emang gosip nggak bertanggung jawab aja. Gue rasa, bukan Beha yang nyebarin, tapi ya...entahlah, susah nyari siapa yang pertama nyebarin gosip itu." "Jadi lo nggak usah khawatir, nggak usah kepikiran apa-apa lagi, istirahat yang baik biar lo cepet fit, bisa masuk kerja dan bisa hangout lagi." Jennie akhirnya bisa sedikit bernafas lega karena gosip yang beredar setidaknya sudah ada titik terang penyelesaian. "Cuma sayangnya tuh ya Lis, kenapa sih Beha harus diskors? Kan kasian tuh, dua minggu lho dia ga masuk potong gaji." Sherly berkata sambil membuka kemasan keripik. "Eh, ada soju, siapa mau soju sama yogurt? Tapi lo nggak usah ya Je? Kan lo sakit." "Sebentar, Beha kena skors?" tanya Jennie agak shock. "Huum-eh ini, soju yogurt siapa mau? Lo mau?" Sherly menjawab Jennie, sekaligus menawari Lisa dan Suzy soju yang dicampur yakult. "Enak nggak tuh?tar keracunan lagi." "Gue tuh tau takerannya, Suzy. Ya kalau lo nggak mau ya udah, gue sama Lisa aja." Sherly beranjak ke dapur. "Je, gue minjem gelas ya!" "Lis, Beha kena skorsing?" tanya Jennie, tidak menjawab pertanyaan Sherly soal gelas karena terlalu penasaran dengan skorsing yang ditimpakan pada Beha. "Iya, tadinya sih, gue anggap ya udahlah ya...gosip ini tuh cuma gosip dari orang yang nggak bertanggung jawab, dan gue udah bilang juga ke Sherly selaku kepala layanan untuk mengkondisikan semua staf di bawahnya, jangan sampai kasak kusuk soal ini lagi. Biasa kan anak operasional apalagi frontline kalau udah gibah, beh...lancar maju jaya kayak bus antar kota antar provinsi." "Gue kira, itu cukup, tapi ternyata Pak Chandra nggak terima. Ya, mungkin, seperti yang dibilang Suzy, bagi Pak Chandra gosip itu membuat divisinya jelek, makanya dia nggak terima dan minta Beha diskorsing dua minggu." "Dua minggu?" Jennie nampak kaget, dia tidak menyangka gosip yang beredar itu akan membuat Beha terkena imbasnya. Jika dipikir itu juga bukan salah Beha, dia yang datang ke kantor dan menginap di pantry, lalu sekarang ada gosip beredar, Beha yang menanggung akibatnya. "Lo kenapa deh kayak khawatir banget sama Beha?" Suzy menatap Jennie dengan tatapan menelisik. "Ya...gue ngerasa ini nggak adil aja. Kan Beha juga korban dari gosip nggak bener ini?" "Nggak bisa juga dibilang korban Je. Kayak yang gue bilang kemarin, ga ada yang tahu lo sama Beha di pantry, tapi kenapa bisa ada gosip nyebar? Pelakunya kalau bukan lo ya Beha. Kalau lo, nggak mungkin dong, lo nggak dapet keuntungan apa-apa dari gosip ini, yang ada cuma malu, ya kali bikin skandal sama Beha. Tapi, kalau Beha yang bikin gosip, ada keuntungan yang diharapkan dia dapat, ya antara lain panjat sosial, yang ngebuat dia bisa dekat sama lo dan melancarkan aksinya." "Iya Je, menurut gue, Suzy bener." "Ya intinya sih Je, lo dibelain sama perusahaan karena lo dianggep staf atau aset berharga perusahaan. Beda sama Beha yang dianggep remah-remah rengginang. Kapanpun juga kebanyakan kaya gitu, yang lemah dan nggak punya kuasa yang bakalan nanggung resiko dari segala hal buruk yang terjadi. Bersyukur lo Je, punya privilege." Sherly mendadak muncul dengan dua gelas berisi cairan putih di tangannya, menyerahkan satu gelas pada Lisa. Ucapan Sherly membuat Jennie agak terusik, tapi dia tidak mengatakan apa-apa, karena apa yang dikatakan Sherly benar. Di NCB dia punya jabatan yang cukup tinggi, perusahaan mempertimbangkan keberadaannya sebagai aset yang bisa mempertahankan nasabah, sekaligus mempertahankan kelangsungan bisnis perusahaan. Berbeda sama Beha yang itungannya hanya pelengkap. Nggak ada Beha, perusahaan bisa rekrut sepuluh OB lainnya yang bisa gantiin kerjaan Beha, sementara Beha? Menolak skorsing, itu artinya membantah aturan perusahaan yang bisa berakhir dengan pemecatan, yang berarti kehilangan mata pencaharian. Menerima skorsing berarti menerima segala tuduhan yang sebenarnya nggak benar, mempertaruhkan nama baiknya dan sekaligus memotong rejekinya. Apa yang dihadapi Beha seperti buah simalakama, maju mundur kena. "Mana punya gue?" Suara Suzy terdengar menagih soju yogurt pada Sherly. "Tadi lo bilang nggak mau?" sewot Sherly. "Sekarang mau. Bikinin gih!" "Enak bener nyuruhnya dikira gue pembokat apa?" "Ya udah lo minum punya gue aja nih!" Lisa menawarkan. "Ogah ah, kena liur lo, masa." "Eh, gue nggak TBC ya, aman!" "Buru Sher! Bikinin!" "Ogah, bikin aja sendiri!" Keriuhan percakapan teman-temannya tidak mampu mengeluarkan Jennie dari riuhnya pikirannya, memikirkan tentang bagaimana nasib Beha. *** "Pagi, Ibu Jennie." Sebuah suara membuat Jennie yang sedang menghadapi laptop sedikit terlonjak. Dia seolah sedang bekerja, memelototi data nasabah, tapi kenyataannya, dia lagi melamun, apa lagi kalau bukan mikirin nasib Beha. Jennie benar-benar merasa bersalah, gara-gara dia, Beha jadi kesusahan kayak gini, mana kemarin terakhir ketemu, dia ngebentak-bentak Beha dan narik Beha kasar. Kalau ingat wajah memelas Beha waktu itu, Jennie merasa nggak tega, tapi ya...udah kejadian, mau gimana juga nggak bisa diulang. "Eh...ya...pagi. Kenapa ya?" "Bu Jennie mau minum apa?" "Kopi boleh deh." "Oke, Bu." Lelaki berseragam biru yang berada di hadapannya mengacungkan jempol dan berbalik. Sudah beberapa hari ini, tugas Beha yang biasa menyiapkan minuman digantikan Layanto. "Eh, Mas Lay!" panggil Jennie sebelum Lay bener-bener pergi. "Ya?" "Boleh nanya?" "Boleh aja...soal apa ya?" "Ng...itu...Beha...." "Beha? Kenapa?" "Maksud gue Beni." "Iya, Ibu, saya tahu, Beha yang dimaksud Beni Harapan temen OB saya, bukan Beha yang pakaian dalam," balas Lay polos. "Eng...okey...." Jennie jengah sendiri. "Apa yang mau Bu Jennie tanyakan?" "...." Sejenak Jennie terdiam. "Apa kamu bisa jaga rahasia?" "Saya usahakan, Bu." "Jangan bilang siapa-siapa kalau aku nanyain Beha. Oke?" "Siap lapan enam, Bu!" "Lapan enam?" "Itu, kayak polisi-polisi di tivi." Jennie nggak ngerti maksudnya apa tapi dia mengabaikan ucapan Lay dan meneruskan kekepoannya atas Beha. "Beha diskors ya?" "Iya, dua minggu." "Terus gimana?" "Ya nggak gimana-gimana. Cuma gaji dipotong setengah." "Dia sekarang di mana?" "Pulang kampung." "Di...?" "Jawa." "Keadaannya gimana?" "Kurang tahu, Bu. Pas pamitan pulang kampung kemarin, Beha masih baik-baik aja, tapi hati orang siapa tahu? Tapi ya...namanya diskorsing, dipotong gaji, buat orang kayak kita ya nyesek, Bu. Apalagi...sebenarnya kan gosip itu bukan salah Beha." Jennie tertegun dan perasaan bersalah kembali menghampiri. Dia berpikir apa yang sebaiknya dia lakukan? Kalau dia tiba-tiba memberi sejumlah uang buat Beha buat menebus rasa bersalahnya, Beha pasti nggak mau nerima dan merasa tersinggung. "Bu Jennie...," panggil Lay saat Jennie malah termenung. "Eh...ya...?" "Ada lagi lainnya, Bu?" "Oh...enggak, makasih ya, Mas Lay." "Siap, Bu. Saya bikin kopinya dulu." Lay pamit dari hadapan Jennie. Jennie merasa benar-benar merasa bersalah pada Beha, tapi dia tidak tahu harus melakukan apa. Untuk bercerita dan meminta pendapat dari sobat-sobatnya pun, Jennie nggak bisa, mengingat mereka nampak menganggap semua gosip itu adalah salah Beha dan menurut mereka skors yang diberikan pada Beha adalah hal wajar yang tidak salah. Tapi tetap saja, Jennie merasa itu hal yang salah. Gosip itu beredar berawal dari dirinya yang balik ke kantor dengan kondisi agak mabuk, lalu meminta Beha membelikan s**u steril, memasak mi instan dan menemaninya tidur di pantry, andai saja malam itu dia mengambil dokumen lalu pulang, mungkin gosip itu nggak akan pernah ada dan beredar. Tengah berada dalam kegalauannya memikirkan nasib Beha, Sherly masuk ke ruangan Jennie. "Bengong aja lo Je. Ati-ati kesambet loh!" Sherly duduk di hadapan Jennie dan meletakkan map berisi berkas yang dibawanya. "Nih dokumen PT Universal yang buat buka giro kemarin. Gironya udah jadi, mau bikin cek apa bilyet giro?" tanya Sherly. "Gue konfirmasi ke Pak Sultan dulu deh ya nanti." "Oke, sip deh." Sherly beranjak dari duduknya. "Ntar kabarin aja kalau udah." "Eh, Sher!" Jennie memanggil Sherly sebelum temannya itu keluar dari ruangannya. "Apa?" "Pulang kantor ada waktu?" Sherly mengernyit. "Kenapa emang?" "Gue mau ngobrol sama lo," ucap Jennie, dia merasa bahwa Sherly, mungkin bisa menjadi jawaban dari segala tanya dan kegundahannya. "Ngobrol?" tanya Sherly heran, pasalmya, Jennie jarang mengajaknya mengobrol secara resmi begini. Ya...mereka sering hangout, ngobrol, tapi ya terjadi gitu aja, Jennie nggak pernah sampai bikin janjian kayak gini. "Iya...eng...ada sesuatu yang gue rasa perlu pendapat dari lo." "O...oke deh. Mau ngobrol di mana?" "Di apartemen lo atau apartemen gue?" "Di apartemen lo aja deh ya biar tenang ngobrolnya." "Emang di apartemen lo kenapa?" "Ya...gitu deh...," balas Sherly sambil meringis, dan Jennie maklum, biasanya Sherly emang suka tinggal barenga sama pacarnya. Kali ini, entah pacar yang mana lagi, Jennie tidak ingin ikut campur. Dia sudah cukup penat dan lelah dengan kehidupannya sendiri. "Oke deh, ntar ke apartemen gue. Sekalian nginep aja nggak sih?" "Ng...liat entar deh." "Kalau lo nginep, tar lo pake baju gue aja, kan size kita samaan." "Gampang diatur itu sih!" "Lisa ama Suzy juga ikutan?" "Eh, jangan!" "Eng...maksud gue...ini cuma kita berdua aja, Lisa sama Suzy nggak usah tahu." Alis Sherly terangkat, heran karena Jennie hanya mengajaknya, biasanya mereka kompak berempat kemana-mana, curhat-curhatan, cela-celaan, tapi kali ini, Jennie hanya meminta dirinya. "Oh gitu, oke deh," ucap Sherly akhirnya, mengiyakan Jennie tanpa bertanya meski dia cukup heran mengapa Jennie hanya mengajaknya tanpa mengikutkan Lisa dan Suzy. "Sher...jangan bilang ke Lisa dan Suzy ya kalau lo ke apartemen gue ntar pulang kantor...." "Beres. Ada lagi hal lainnya yang bisa dibantu?" tanya Sherly dengan nada bicara seperti sedang melayani nasabah. "Nggak sih. Makasih ya Sher." "Terima kasih kembali Ibu, senang melayani Anda." Sherly menatap Jennie dan tersenyum. "Dah sono balik, anak-anak layanan ntar nyariin induknya," seru Jennie sambil tertawa kecil melihat gaya Sherly. "Gue cabut dulu deh ya, biasalah layanan kalau jam operasional gini bisa apa? Ramenya nasabah udah kayak antri minyak goreng, seus!" Sherly mengerling dan berlari kecil keluar ruangan Jennie. Sedikit kelegaan terasa di hati Jennie, dia berharap Sherly bisa memberikan pendapat yang terbaik soal Beha.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD