Perlahan, Beha masuk ke dalam ruangan marketing, meski dengan jantung dag dig duer, takut ketemu jurig atau perampok sadis. Saat masuk ke ruangan, dia melihat bahwa pintu ruangan Jennie terbuka. Beha yakin, sebelumnya pintu ruangan itu tertutup, karena itu, Beha mendekat dan melongok ke dalam dengan rasa ingin tahu kombinasi sedikit rasa takut.
Di dalam ruangan, dia melihat Jennie meletakkan kepalanya di atas meja, dan menangis, sontak membuat Beha khawatir apa yang terjadi pada Jennie sang pujaan hatinya itu.
"J...kamu nggak apa-apa?" tanya Beha pelan, melangkahkan kaki ke dalam ruangan. Perasaan takut pada jurig dan perampok sudah raib, karena nyatanya tidak ada dua mahluk seram itu di ruang ini. Yang ada Jennie sang pujaan hati.
Kepala Jennie tampak sedikit bergerak, lalu dia mengangkat kepalanya, mengusap air mata dengan telapak tangannya, menatap Beha.
"Kamu kenapa Je? Kamu baik-baik saja?"
Melihat Beha, ada perasaan campur aduk dirasakan Jennie. Ada rasa kesal sekaligus lega. Di saat terpuruk seperti ini, ada seseorang yang datang menghampirinya dan menanyakan keadaannya, tapi di sisi lain, Jennie masih mengingat apa yang Suzy katakan soal rumor dirinya, yang mungkin saja disebarkan oleh Beha untuk menjerat dirinya seperti yang disangkakan oleh Suzy. Bisa saja perhatian Beha ini sebuah jebakan agar dirinya masuk dalam rayuannya lalu menguras hartanya? Tapi bagaimanapun juga, perhatian tetaplah perhatian, tidak peduli apakah itu hanya pura-pura tanpa ketulusan, Jennie tetap merasa apa yang dilakukan Beha sekarang membuat hatinya cukup menghangat.
"Nggak apa-apa, cuma agak hectic ama kerjaan aja."
"Oh...."
"Apa ada yang bisa dibantu?"
"Em...beliin bir boleh deh."
"Eh?" Beha agak kaget karena Jennie nampak sudah agak mabuk tapi dia masih menginginkan bir. Jelas, Jennie sedang tidak baik-baik saja.
"Aku mau lembur." Jennie beralasan. Dia mengambil tas dan mengambil uang, diserahkan pada Beha.
"Ini uangnya, ambil aja kembaliannya."
"Oke, makasih...," balas Beha tanpa bamyak bertanya lagi. "Aku ke mini market dulu."
Jennie mengangguk sementara Beha keluar dari ruangannya, meninggalkan Jennie dalam sepi dan membuat Jennie kembali menangis mengingat apa yang terjadi di masa lalunya dan apa yang terjadi tadi di X2.
Jennie sungguh-sungguh membenci Chandra dan bertanya mengapa takdir mempertemukannya lagi dengan Chandra, sosok yang memberikannya luka demikian parah dalam hidupnya dulu. Setiap hari kebenciannya pada Chandra terasa menumpuk dan menjadi puncaknya hari ini. Jennie membutuhkan sesuatu untuk membantunya melupakan beban dalam dirinya. Tentang apa yang terjadi di X2 dan kebenciannya pada Chandra. Itulah mengapa Jennie meminta Beha membelikannya bir.
Sementara itu, Beha menembus suasana malam ibukota ke mini market demi membelikan apa yang diminta Jennie. Segera, setelah mendapatkan apa yang Jennie pesan, Beha berlari kecil kembali ke kantor, dan saat menengok ke ruangan Jennie, perempuan itu masih terlihat sendu, meski tangisannya tidak lagi terdengar sekeras sebelumnya. Beha masuk pelan-pelan ke ruangan Jennie, meletakkan bungkusan berisi bir di meja.
"Ini pesenannya...."
"Oke thanks ya, Mas."
"Sama-sama. Ada lainnya yang bisa dibantuin?"
"Enggak sih..., tapi kamu mau nggak nemenin di sini? Jennie menunjuk sofa di hadapannya, Beha mengangguk duduk di sofa dan Jennie membawa birnya, ikut duduk di sofa.
Dia mengambil satu, dan menawari Beha. "Kamu mau?"
Beha menggeleng. "Enggak, terima kasih."
Jennie hanya mengangkat sedikit alisnya dan membuka kaleng bir di tangannya, lalu menenggak minuman itu, rasa pahit yang sedikit memberi efek karbonasi terasa di tenggorokannya.
Beha menatap Jennie di hadapannya, dia tidak pernah membayangkan akan ada momen sedekat ini antara dirinya dan Jennie, membuat jantungnya mendadak dangdutan. Meski merasa senang karena momen kedekatan ini, tapi Beha juga merasa prihatin melihat Jennie yang terlihat sedih dan kacau. Jennie sudah terlihat mabuk, tapi dia bahkan masih menginginkan bir agar semakin mabuk. Beha tidak tahu masalah apa yang menimpa Jennie, tapi dia berpikir mungkin saja, rumor yang beredar antara dirinya dan Jennie itulah penyebabnya.
Beha juga tidak tahu, kenapa semua orang di kantor berkasak kusuk tentang hal itu, dan siapa yang menyebarkannya dan menambahkan bumbu yang membuat rumor itu semakin pedas, seolah, dirinya dan Jennie melakukan hal terlarang di kantor, padahal kenyataannya tidak begitu. Mereka tidur di pantry, dan sama sekali nggak ada kejadian seperti yang disangkakan orang-orang.
Seandainya bisa, Beha pengen menghibur Jennie, mendengarkan semua keluh kesahnya dan memeluknya. Tetapi Beha hanya bisa tersenyum kecut. Siapa dia? Hanya seorang office boy pegawai rendahan di perusahaan perbankan besar ini, sedangkan Jennie, meski masih muda tapi sudah menjadi salah satu staff Account Officer senior yang mengurusi nasabah-nasabah prime. Pergaulan Jennie dengan kalangan borjuis kelas atas, kalangan sosialita, jutawan bahkan milyuner negri ini. Beda banget sama Beha yang bergumul dengan sapu, pel, teh, gula, kopi, makan siang dan urusan remeh temeh.
Dengan penjelasan di atas jelas sudah nggak bakalan mungkin Jennie mau curhat sama Beha, bahkan mungkin Jennie kesal padanya, gara-gara rumor yang beredar itu. Beha sadar kalau dia cuma pungguk merindukan bulan, cuma office boy yang tugasnya disuruh-suruh dan menjaga kebersihan kantor.
"Kamu tahu gosip yang beredar itu?" lirih Jennie setelah beberapa saat mereka berdua hanya diam. Beha memang nggak berani mengatakan apapun, takut mengusik Jennie, jadi yang dilakukannya hanyalah duduk menemani Jennie sesuai yang diperintahkan.
"Iya, tahu."
"Gimana gosip itu bisa nyebar?"
"Aku nggak tahu. Pas aku pulang nganter kamu, orang-orang di kantor sudah punya gosip itu. Aku udah jelasin ke temen-temen kalau gosip itu nggak bener tapi tetep aja, malah semakin nyebar dan banyak lebihan di sana sini."
"Aku bener-bener minta maaf karena sudah bikin kamu ngerasa terusik."
Jennie menatap Beha yang terlihat sungkan dan menyesal. Bener kata Sherly, Beha sepertinya nggak mungkin menyebarkan gosip tentang dirinya sendiri, pasti ada orang yang lambe turah seperti Selina yang menyebarkan gosip ini. Tapi...kalau ingat apa yang Suzy bilang, bisa saja, tampang innocent Beha ini hanya topeng semata.
"Kamu beneran nggak tahu?"
Beha menggeleng dan Jennie kembali menenggak birnya. Berpikir keras siapa sebenarnya pemilik mulut usil yang menyebarkan gosip ini. Kepala Jennie mulai pusing dan tubuhnya terasa panas. Jennie berpikir mungkin ini waktunya untuk pulang. Dia nggak pengen besok pagi temen-temenya dan terutama Chandra yang dibencinya menemukannya dalam keadaan mabuk dan menyedihkan di ruangannya. Jennie mengangkat tubuhnya dari kursi dan meski sempoyongan berusaha berjalan meninggalkan ruangannya.
"Kamu mau kemana?" tanya Beha saat melihat Jennie keluar dari ruangannya.
"Pulang."
"Pulang?" Beha mengulang kata-kata Jennie. Beha melihat Jennie sudah semakin mabuk, sudah dipastikan karena asupan bir yang tadi dipesannya. Beha mendekat dan memapah Jennie yang berjalan limbung.
"Mau diantar driver?" tanya Beha, karena dalam kondisi seperti ini, Jennie hanya akan membahayakan diri sendiri dan orang lain kalau menyetir.
"Je, kamu sebaiknya istirahat dulu. Kamu nggak bisa bawa mobil dalam kondisi kayak gini, bahaya."
Bukannya menjawab Jennie malah menatap Beha lama. "Kamu tuh, lucu, imut kayak oppa-oppa Korea itu lho, pantesan Sherly suka hehehe." Jennie semakin melantur dan jemari lentiknya mencubit-cubit pipi Beha. "Kamu tuh kayak penyanyi Korea itu lho siapa namanya? Baek-baek sayang? Ya itu pokoknya." Jennie semakin ngelantur dan merangkul Beha.
Mendapatkan sebuah rangkulan dari Jennie sang pujaan hati tentu saja membuat jantung Beha kembali sulit dikondisikan. Di dalam rongga tulang rusuk sana, jantung Beha menggelar konser dangdut akbar yang membuat Beha merasakan jedak jeduk, belum cukup di situ Jennie merebahkan kepalanya di d**a Beha yang membuat tubuh Beha tremor karena grogi.
"Kamu tahu nggak kenapa setiap cowok itu b******k dan jahat? Kenapa setiap cowok itu jahat ke gue?" Jennie berbisik di telinga Beha dan dari matanya yang indah mengalir cairan bening membasahi wajahnya.
Beha merasa bersalah, apa karena gosip ini, Jennie sampai terpuruk seperti ini?
"Aku minta maaf, Je. Semua ini salahku. Aku akan memperbaiki semuanya semampuku."
"Kamu nggak akan bisa memperbaiki semuanya Be...semuanya udah rusak." Jennie semakin terisak membuat Beha prihatin dan ingin menghibur Jennie, tapi dia tidak tahu harus melakukan apa.
"Kamu istirahat aja dulu, aku panggilin driver buat anter kamu pulang." Beha mengusap pundak Jennie dengan tangannya yang gemetar karena sedekat ini dengan Jennie adalah hal yang tidak dia bayangkan sebelumnya. Aroma vanilla menyapa lembut hidung Beha, membuat kaki Beha seperti jelly, sebab dia nggak pernah bayangin, bahwa Jennie yang selama ini hanya berani dipandangnya dari jauh kini bersandar di tubuhnya. Beha berasa mendapatkan durian runtuh, tapi Beha tetap menyadari kalau ini bukanlah suatu permulaan kisah uwu seperti yang ada di sinetron atau n****+. Beha berusaha realistis bahwa dia dan Jennie adalah manusia yang dipisahkan oleh status sosial ekonomi yang begitu jauh.
Alih-alih menjauhi Beha, Jennie malah semakin menyurukkan wajahnya ke ceruk leher Beha, membuat Beha semakin melayang dan salah tingkah.
"Je... Jennie...." Suara Beha terbata-bata. Apa yang dialaminya membuat otaknya seolah dibajak dan blank. Beha hampir nggak bisa mengendalikan tubuhnya yang shock berat mendapatkan perlakuan seperti ini dari Jennie.
"Kamu...mau nggak nemenin gue?" Jennie semakin terisak, dan Beha memapah Jennie kembali ke dalam ruangan Jennie, mereka berdua duduk di sofa dan tubuh Jennie kini sudah sepenuhnya ada dalam pelukan Beha.
Perasaan Beha girang, bahagia luar biasa. Jennie ada di pelukannya seakan adalah mimpi yang menjadi nyata. Membayangkannya aja dia nggak berani tapi malam ini, entah ibu peri mana yang menjadikannya seperti Cinderela, bertemu dengan Jennie pujaan hatinya dan berkesempatan memeluk tubuh Jennie, dan menghirup aroma tubuh Jennie yang menurut Beha sangat harum.
"Kamu...mau...minum?" tanya Beha terbata, dia nggak bisa ngomong dengan lancar karena Jennie memeluknya dan membuat hampir seluruh indranya setengah lumpuh oleh grogi.
"Nggak...kamu jangan pergi...hiks." Jennie memeluk Beha erat karena entah bagaimana, berada dalam pelukan Beha saat ini terasa menenangkan baginya, terutama setelah kejadian tidak menyenangkan yang dilakukan Chandra. Jennie memeluk Beha erat, menempelkan kepalanya di d**a lelaki itu, mendengar detak jantung Beha yang seperti lagu nina bobo, membuat matanya perlahan memberat.
"Oh...oke...." Beha menelan salivanya. Mencoba menenangkan dirinya. Menenangkan jantungnya yang loncat-loncat nggak karuan.
Jennie masih terisak dan meracau, Beha hanya bisa diam mendengarkan apapun yang Jennie keluhkan dan sesekali mengusap pundak dan rambut Jennie dengan tangannya yang bergetar. Beha nggak tahu mesti ngomong apa buat ngehibur Jennie, jadi Beha hanya bisa nepuk-nepuk punggung Jennie saat wanita itu terisak-isak meluapkan segala sesuatu yang dirasakannya saat ini.
"Be...."
"Ya?"
"Kamu...suka aku ya?"
"Hah?" Beha kaget dengan pertanyaan Jennie yang tiba-tiba.
"Kamu naksir aku?" Jennie bertanya kembali sebelum habis rasa kaget Beha karena kata-kata Jennie sebelumnya. "Kamu baik sama aku, emangnya kamu naksir aku?" Jennie kali ini mengangkat kepalanya dari d**a Beha dan menatap wajah lelaki itu.
"Eh...?" Beha kaget. Apa terlalu kentara selama ini perilakunya di hadapan Jennie? Beha jadi semakin salah tingkah.
"Oh...hm....ya....maksudnya kita kan satu kantor jadi harus saling suka, agar pekerjaan semua lancar," jawab Beha gelagepan. "Biar bisa bekerja sama dengan baik gitu, kalau saling suka." Beha menambahkan dengan jantung yang kembali berdetak kencang. Padahal, jika dipikir, menanggapi serius kata-kata orang mabuk adalah hal yang sia-sia sebab, besok juga dia lupa apa yang terjadi.
"Stttt!!" Jennie menempelkan telunjuknya di bibir Beha. Mata bulat dan jernih Jennie menatap Beha. Beha melihat bayangan dirinya jatuh dalam manik mata Jennie yang menyorot sedih. Jantung Beha semakin sulit dikondisikan saat bibirnya merasakan lembut kulit telapak tangan Jennie, lalu jemari itu menyentuh pipinya.
"You're so sweet and kind," bisik Jennie dan Beha merasa bingung karena nggak bisa bahasa Inggris jadi dia nggak ngerti apa yang dikatakan Jennie.
"Eung...." Beha nggak tahu mesti balas mengatakan apa, ngerti arti yang dikatakan Jennie saja enggak.
Jennie kembali mengusap pipi Beha seakan dia merasakan sayang pada sosok office boy itu. Mendadak, tanpa ada aba-aba, Jennie memajukan wajahnya dan mencium bibir Beha. Sontak, jantung Beha melonjak nggak karuan dan tubuhnya mendadak lemas saat bibir lembut kenyal Jennie menyapu bibirnya. Oksigen seakan menipis saat itu juga dan Beha hanya bisa membiarkan bibirnya dikecup oleh Jennie. Beha masih nggak percaya bahwa ini kenyataan, hal ini terlalu indah, terlalu khayalan dan terlalu halusinasi.
Tetapi ini kenyataan, Beha merasakan bibirnya dikecup oleh Jennie, semakin lama, Jennie semakin brutal. Wanita itu melancarkan french kiss pada Beha dan sebagai lelaki normal, meski Sherly menganggap Beha lelaki polos dan sopan, tapi pada akhirnya Beha terpancing membalas ciuman Jennie. Mereka berciuman dengan mesra dan bersemangat sampai Beha nggak merasakan grogi lagi. Beha mulai berani mendekap tubuh Jennie dan mereka bergumul layaknya sepasang pecinta.
Beha tahu bahwa Jennie sedang mabuk dan apa yang dilakukannya ini karena kesadaran Jennie yang dibawah rata-rata, dan Beha juga tahu bahwa kemudian hari hal ini bisa dianggap kriminal tapi Beha nggak mau kesempatan ini terlepas begitu saja.
Atas nama cinta, kadang manusia melupakan segala hal, dan karena alasan itu Beha memutuskan malam ini, Beha enggan bangun dari mimpi, Beha ingin terus tenggelam bersama mimpi bersama Jennie pujaan hatinya.