Menjadi Pusat Perhatian

1407 Words
Benar saja dugaan Inges para penghuni rutan wanita bergerombolan menghampirinya. Dengan santai ia menurunkan Malaika sementara ketika ia sampai di depan pintu ruangannya. Para keremunan cewek-cewek pencari sugar daddy itu pun menghalangi langkahnya dan mulai mengintrogasi Inges dengan tidak sabaran. "Inges itu suami kamu?" "Itu papa Malaika?" "Ah tapi tidak mungkin dia suami kamu" "Ah tapi.. " "Itu... " Dan seterusnya pertanyaan-pertanyaan itu lah yang terlontar tiada henti tapi Inges hanya tersenyum enggan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Sedangkan Malaika hanya menatap mereka dengan wajah heran. "Kakak-kakak ini kenapa sih pada bawel sekali, awas aku dan mama mau masuk!" celetuk Malaika yang membuat semua pandangan mata kini tertuju padanya. Lagi-lagi wanita penghuni rutan itu mengajukan permintaan dan memberikan pujian ke Malaika tapi dengan santainya Malaika menjawab. "Papa kutub ku tidak akan tertarik pada kalian. Dia hanya mencintai mama kecil ku saja jadi jangan pernah berpikir kalian bisa menggoda dan mencari tahu tentang dirinya!" lanjut Malaika hanya sekedar mengingatkan para wanita itu. Tak banyak dari mereka yang menunjukkan wajah kesalnya mendengar celotehan anak itu banyak juga yang menunjukkan wajah kecewanya karena mereka tidak mendapatkan jawaban sesuai harapan mereka. Akhirnya para penghuni rutan itu membubarkan diri memberikan jalan untuk dua gadis itu masuk ke ruang kelas. Kejam sekali ya si Inges menamakan fakultasnya rutan tapi memang benar sih fakultas ini sudah seperti rumah tahanan bagi mahasiswa dan mahasiswi yang mengambil jurusan tersebut. Tiada hari tanpa diskusi dan pengamatan di ruangan itu. Belum lagi tugas yang selalu menumpuk setiap hari dan menyerang mereka tanpa mengenal lelah. Ditambah lagi jadwal mata kuliah yang sangat padat, jangankan di kampus di group wa pun isinya hanya membahas tentang mata kuliah. Gimana tidak membuat jiwa mereka menjadi tahanan di sana. Tidak ada waktu untuk sekedar memikirkan sang pujaan hati, yang ada mereka hanya sibuk memikirkan banyak kasus tentang sifat dan tingkah laku manusia. Tapi syukurlah Inges bisa membawa Malaika ke kelasnya yang bisa memberikan sedikit hiburan bagi para penghuni di ruangan itu dengan tingkah lucu dan menggemaskannya. "Mama kecil kenapa tidak tinggal saja bersama kami?" tanya Malika tiba-tiba setelah mereka menghempaskan b****g mereka di kursi deretan belakang tempat favorit mereka. "Hahaha sayang jangan ajak mama ngehalu deh?" jawab Inges diiringi tawa renyahnya. "Siapa juga yang ngehalu Malaika serius ma. Mama kecil tinggallah bersamaku dan papa di rumah!" pinta Malaika dengan menampakkan mata berbinar nya berharap Inges akan setuju dengan rencanannya. "Bercandanya jangan keterlaluan nak, kalau mama tinggal di sana bisa-bisa mama akan berubah jadi es batu karena terus berada di dekat papa kutub mu itu!" tolak Inges yang kini tengah membayangkan sosok Raden yang sedingin es itu. Seketika Inges menggelengkan kepalanya kencang, "tidak, tidak, tidak, kamu tidak boleh lagi meminta mama untuk tinggal di rumahmu nak. Membayangkannya saja mama tidak bisa. Mama akan benar-benar berubah menjadi Ana kalau sampai tinggal di sana." Lanjutnya lagi sambil membayangkan tokoh Ana di film FROZEN yang berubah menjadi patung es karena ulah kakaknya. Tebakan Raden benar orang yang mengajarkan Malaika memanggilnya dengan sebutan PAPA KUTUB itu adalah Inges. Inges memang tidak mengajarkan Malaika secara sengaja namun di saat-saat tertentu Inges tidak sengaja memanggil Raden dengan sebutan itu sehingga membuat anak kecil itu mengikutinya. "Baik lah kalau Mama berfikir papa itu seperti Elsa berarti papa juga bisa membuat bongkahan es mencair!" ucap Malaika penuh makna namun raut wajahnya sudah berubah. "Kok gadis cantik wajahnya di kusut begitu jelek tau," sapa seseorang yang sudah berdiri di hadapan kedua orang itu dengan gaya casualnya. Inges dan Malaika sangat mengenal pemilik suara tersebut. "Tidak apa-apa om Andre, nih aku udah cantik lagi." Seru Malaika dengan mengembangkan senyum di wajahnya. Inges hanya mengusap kepala Malaika dengan penuh rasa sayang sementara Andre yang melihat pemandangan itu juga hanya bisa tersenyum melihat gadis pujaannya memancarkan wajah bahagia. Waktu pun terus berlalu jam berganti jam berikutnya di isi dengan mata kuliah yang membosankan. Namun malaikat kecil itu dengan santai dan nyamannya menemani mama kecilnya tanpa membuat keributan. Tiba saatnya waktu istirahat, Inges kembali mengingat kehebohan beberapa bulan lalu ketika pertama kalinya ia membawa Malaika ke kelas itu. Teman-teman Inges langsung menodongnya dengan bermacam-macam tuduhan tentang keberadaan anak kecil itu namun tak pernah ia tanggapi sedikit pun. Inges terlalu malas untuk meladeni mereka lagi pula tidak ada untungnya juga toh mereka akan tetap beranggapan seperti itu pikirnya dulu. Malaika sempat dikatain anak haram oleh mereka, bahkan Inges dicap sebagai wanita malam. Namun dengan santai Inges hanya mengganggap ucapan teman-temannya tak lebih dari angin lalu saja. Namun ada seorang lelaki di kelas itu yang peduli dan membela Inges serta menempatkan dirinya seolah-olah melindungi Inges dari hujatan dan gunjingan teman-teman sekelasnya selama beberapa bulan lalu bahkan ada yang beberapa dari mereka yang sampai hati mengerjai Inges tapi sayang usaha mereka gagal. Inges bukan wanita lemah yang gampang ditindas, kalian para anak orang kaya dan manja tidak akan bisa mengalahkannya. Tetapi lihatlah sekarang kelakuan para wanita-wanita ini. Mereka menjadikan Malaika pusat perhatian dan berlomba-lomba menunjukkan sisi baik mereka pada Malaika, berusaha sekuat tenaga mereka untuk mendapatkan hati anak kecil itu. Inges hanya menonton santai aksi dari teman-temannya tanpa memberikan larangan untuk mereka mendekati Malaika. Setidaknya uang jajan yang diberikan bosnya untuk sang anak bisa ia tabung sendiri untuk berjaga-jaga dikemudian hari begitu batinnya. **** Di Depan Ruang Kelas "Mama sudah terima balasan pesam dari papa?" tanya Malaika tetap dengan kesibukkan nya memainkan gundukan rumput dengan tangannya. Hanya ketika berada di luar rumah besar itu dia bisa bebas bermain dengan benda-benda kotor itu. Itu pengertian dari papa kutub nya ya yang sangat ketat menjaga kebersihan sang anak. "Belum sayang tapi papa mu sudah membaca pesan mama kok. Ya sudah kita cuci tanganmu dulu yuk!" ajak Inges yang langsung menuntun anak itu ke toilet yang ada di samping ruang kelasnya. Selesai membersihkan Malaika, tiba-tiba ia di kejutkan dengan keberadaan Andre dan Bunga sahabatnya yang sudah berdiri di depan pintu masuk toilet itu dengan kedua tangan mereka sama-sama dilipat di bawah d**a. "Astaga bikin kaget saja kalian ini. Ngapain kalian berdiri di situ dengan gaya seperti itu. Dasar aneh!" gerutu Inges yang berdiri di hadapan mereka sambil menggendong Malika. Andre dan Bunga saling tatap setelah itu dengan gesit memalingkan wajah mereka ke Inges dan menatap tajam ke arahnya. Kali ini Bunga yang mulai membuka pembicaraannya. "Tuh laki kamu sudah nunggu di depan." Ucap Bunga kesal. "Lah terus masalahnya apa dengan sikap kalian ini.?" tanya Inges heran. "Kamu liat sendiri deh apa yang dia lakukan di sana!" kali ini Andre yang menjawab. Mereka semua akhirnya berjalan menuju pintu masuk fakultas dan betapa mengerikannya pemandangan di sana. Para wanita-wanita penghuni rutan sudah mengantri layaknya orang yang sedang menunggu giliran masuk untuk menyaksikan konser tunggal penyanyi K-Pop. Inges dan Malaika hanya saling bertatapan melihat pemandangan itu. "Apa papa mu sudah kehabisan obatnya nak?" tanya Inges heran, baru tadi pagi ia bersikap sedingin es di kutub utara eh malah sekarang sikapnya sudah seceria bunga di musim semi yang bermekaran di bawah hangatnya cahaya mentari. Malaika hanya terkekeh karena dia menyadari kalau lelaki itu bukanlah Papa Kutub nya. "Nak apa papa ganteng mu itu memiliki dua kepribadian?" tanya Andre dengan wajah polosnya membuat Malaika tertawa renyah di gendongan sang mama. "Hahaha itu bukan papa kutub ku. Itu Ayah mentari ku!" terang Malaika di sertai tawanya. Dan Inges akhirnya menemukan memorinya yang tadi terselip entah di mana, dia tau siapa lelaki itu. "Ya Tuhan kalian memang keluarga yang aneh. Kamu rakus sekali sih Nge sampai punya dua suami dengan kepribadian berbeda!" sindir Bunga seraya mencibir ke arah Inges. "Asem kamu Ngek. Itu adik semata wayangnya tuan Raden, namanya Radit memang mereka terlihat seperti kembaran dengan sifat yang bertolak belakang. Mungkin karena usia mereka yang terpaut jarak sepuluh tahun." timpal Inges. "Oh aku kira tadi memang Malaika memiliki dua ayah berbeda dan ibu yang sama." Saut Andre dengan polosnya sambil manggut-manggut. "Sialan kamu Ndre. Jauh banget kamu mikirnya." Inges melayangkan tinjunya ke lengan Andre. Sementara Malaika hanya tertawa melihat sikap orang-orang dewasa itu. Ini untuk pertama kalinya ia bertemu dengan saudara bos besarnya itu setelah 6 bulan ia bekerja di sana. Mungkin bosnya terlalu sibuk sehingga meminta sang adik untuk menjemput mereka. Setelah beberapa saat Inges dan Malaika menghampiri Radit dan membubarkan kerumunan wanita-wanita itu. Ternyata ketampanan bisa membuat para wanita berkelas itu tetap sama seperti gadis kampungan ya julukan yang selalu mereka lontarkan pada Inges. Setelah berbincang-bincang sebentar dengan Inges dan dua sahabatnya Radit pamit ke pada Bunga dan Andre untuk membawa Malaika dan Inges pulang. Mobil sport putih itu pun melaju meninggalkan fakultas psikologi dengan Radit sendiri yang menyetir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD