“Terserah kalau Ka Hanan tidak mau percaya!” Kata Kikan dan tidak berani menatap Halim.
Ia berharap Halim turut bicara, membuat pengakuannya terdengar benar.
“Bahkan pria ini jadi diam, tampak terkejut—”
“Kami memang akan menikah!” Halim akhirnya turut bicara sambil ia meraih Kikan, beralih merengkuh pinggangnya. Buat Kikan meremang merasakan tangan itu kini memeluk posesif.
Kikan bersyukur Halim menguatkan pengakuan impulsifnya. Ekspresi Hanan mulai berubah tidak senang.
“Oh ya? Aku tetap tidak akan menyerah, Kikan. Aku baru akan percaya pada hubunganmu dengan pria ini ketika menyaksikan sendiri pernikahan kalian!” Kata Hanan. Kemudian ia berjalan mundur, sudah hampir Kikan lega mendapati Hanan pergi, pria itu kembali berbalik, “aku akan tunggu dalam satu minggu, jika kalian tidak menikah, kuanggap kalian hanya bersandiwara. Dan aku akan semakin berusaha merebut Felora darimu, kecuali kamu menyetujui permintaanku.”
Hanan berbalik dan masuk ke mobilnya. Dia sempat menurunkan kaca dan menatap tajam ke arah Halim. Hanan pasti akan kembali. Mobilnya melaju. Bersamaan dengan bahu Kikan yang lemas.
Halim menarik diri, menatap Kikan.
Kikan menatap Halim, baru akan bicara tetapi pria itu lebih dulu mengajaknya pergi. “Kita pulang, Oma pasti menunggu dengan cemas.”
Kikan menurut, mengikuti langkah Halim menuju mobil. Mereka meninggalkan resto. Sejak duduk di kursi, tangan kikan saling berpegangan dan gemetar. Halim bisa melihat itu.
Tidak ada yang mengatakan apa pun, mobil melaju sampai tiba-tiba berhenti dekat sisi sungai Elbe. “Kamu gemetar,”
Kikan menoleh menatap Halim.
“Tunggu di sini,” Halim turun, Kikan terdiam memerhatikan pria itu masuk ke sebuah kedai. Kembali beberapa waktu dengan sebuah cup, dia masuk memberikan cup berisi cokelat panas itu pada Kikan.
Kikan menyesapnya dan jauh lebih baik.
“Kenapa datang menemui mantan suamimu sendiri, jika kamu sudah tahu sikapnya yang kasar?” tanya Halim.
Kikan menatap pria itu, “saya hanya ingin menegaskan padanya untuk tidak mengacaukan hidup saya dan Felora.”
Halim kembali diam.
Kikan harus membahas ini dengan Halim, tentang pengakuannya pada Hanan. “Tentang pengakuan saya—”
“Ada cara lain, Kikan!” Halim ternyata juga ingin membahasnya, “kenapa kamu buat kebohongan sebesar ini sampai harus melibatkan saya?!”
Kikan mengeratkan pegangan pada cup, alih-alih menjawab bibirnya gemetar dan ia menangis. Buat Halim yang tampak agak kesal jadi merasa bersalah.
“Kikan,”
“Maaf, sumpah demi Tuhan! saya juga tidak tahu, kenapa begitu saja buat pengakuan hubungan kita, pasti saya sudah buntu, tidak punya pilihan lain.” Bisiknya dengan lirih dan kian menangis.
Halim bingung cara menenangkan gadis itu, sampai akhirnya ia meraih cup berisi cokelat panas yang baru di sesap sedikit, menyimpan di dashboard. Lalu menarik Kikan ke pelukannya. Halim tidak mengatakan apa pun, selain membiarkan gadis itu meluapkan setiap rasa yang terkuras setelah pertemuannya dengan Hanan.
“Saya terlalu takut dia mengambil Felora, saya tidak bisa kehilangan Felora.”
“Kamu tidak akan kehilangan Felora, tidak ada yang bisa merebut Felora darimu.” Bisik Halim, mengeratkan pelukannya. Terbawa suasana sampai menyingkirkan perasaan canggung dan asing di antara mereka.
Kikan memeluk Halim, seolah menemukan tempat yang pas dan nyaman hingga ia bisa menumpahkan tangisnya.
***
Suasana canggung terjadi setelah pelukan tersebut. Halim dan Kikan saling menjauh, Halim memberikan kain lagi dengan ukiran yang sama sampai Kikan bertanya, “dokter Halim punya berapa banyak kain seperti ini?”
Halim menoleh, memerhatikan Kikan yang menyeka sisa air matanya di wajah. Tak habis pikir, Kikan sempat-sempatnya bertanya hal tak penting disituasinya sekarang.
“Ada enam, hadiah dari Bunda saya.”
Kikan membuka kain itu, tangannya menyentuh ukiran singkatan dengan benang emas kali ini. “HBL?”
“Singkatan nama saya, Halim Benjamin Lais.”
“Oh,” Kikan menyimpan saput tangan pertama yang pernah Halim berikan. Di pikir-pikir, Halim sudah melihatnya menangis sebanyak dua kali. Bedanya kali ini dengan pelukan.
“Better?” tanya Halim.
Kikan mengangguk.
“Sekarang apa rencana kamu?” tanya Halim.
Kikan menoleh, hingga tatapan mata mereka beradu satu sama lainnya dengan dalam. “Pergi,” jawab Kikan.
“Pergi?”
“Saya mengenal sekali Ka Hanan.”
Halim merasa aneh, Kikan masih saja memanggil mantan suaminya dengan sebutan yang sopan.
“Dia tidak akan berhenti sampai saya memberikan apa yang ia mau, jadi saya harus bawa Felora bersembunyi sampai situasi kami aman.”
“Apa yang dia inginkan darimu? Tadi saya merasa Felora hanya dijadikan alat bagi Hanan.” Sudah terlanjur terseret dalam masalah pribadi Kikan dan Hanan, ia berpikir sekalian saja ingin tahu.
Kikan mulai cerita, tujuan Hanan yang utama ingin pinjam uang yang tak sedikit. Sebagai suntikan dana perusahaannya yang sedang di bawah. Kikan juga cerita ancaman Hanan, menggugat hak asuh Felora atau terparahnya mengambil Felora darinya.
“Hanan tidak bisa mengajukan gugatan tanpa bukti yang kuat, dia hanya mengancammu.” Yakin Halim. Ancaman Hanan tidak mendasar. Ia perlu sesuatu yang memperberat Kikan hingga kehilangan hak asuh terhadap Felora. Sementara di masa lalu, perceraian dan hak asuhnya jatuh pada Kikan karena bukti-bukti Hanan yang bersalah.
Kikan menggeleng pelan, bukan soal gugatan saja, Hanan bisa nekat lebih dari itu, kondisi jantung putrinya tidak normal untuk siap menerima apa saja yang Hanan lakukan ketika menemuinya, “saya merasa itu bukan sekedar ancaman.”
Kikan dan Halim sama-sama terdiam sejenak.
“Saya tidak bisa terlibat, apalagi melanjutkan pengakuan kamu pada Hanan.” Putus Halim lagi.
Kikan mengangguk, “I know, karena itu pilihan saya membawa Felora pergi sementara. Bersembunyi.”
Halim terdiam.
“Terima kasih banyak, dan maaf telah membuat pengakuan yang melibatkan kamu.” Ucap Kikan lagi. Merasa bila memang seharusnya dia tidak melibatkan Halim lagi.
“Kamu akan bawa Felora pergi ke mana?”
Kikan menggeleng, ia pun belum punya tujuan.
“Felora butuh tempat yang dekat dengan rumah sakit, kondisinya bisa tiba-tiba membutuhkan dokternya.” Halim mengingatkan.
“Ya, saya akan pikirkan baik-baik. Tempat yang dekat dengan rumah sakit lain.”
“Tidak ada cara lain, selain membawa Felora bersembunyi?” tanya Halim. Ingin mengakhiri kebohongan sandiwara pengakuan Kikan, namun rasanya ia cemas membiarkan Kikan membawa Felora pergi.
Kikan menggelengkan kepala lagi, “tidak ada.”
Halim terdiam. Lalu keduanya memutuskan untuk lanjut menuju rumah Oma. Sampai di rumah, Oma berterima kasih sekali pada Halim. Namun, merasa ada yang aneh melihat Kikan sembab.
“Oma, saya pamit.”
“Terima kasih ya, maaf Oma merepotkan lagi.”
Halim tersenyum, “tidak apa-apa,” ia juga pamit pada Kikan. Setelah kembali ke mobil, cukup beberapa detik Halim menatap rumah Oma. Tampak berat. Barulah ia meninggalkan rumah.
Sementara dalam rumah, Oma memeluk Kikan yang kembali menangis. Menceritakan semua termasuk pengakuannya pada Hanan.
“Dokter Halim pasti setuju untuk membantu, kalian bisa menikah—”
“Oma sebaik apa pun Halim pada Felo, padaku, pada Oma, tidak adil jika aku melibatkannya, jadikan ia tameng dari Ka Hanan.” Kikan menghela napas dalam, “besok aku akan bawa Felora pergi, sebelum Ka Hanan datang ke sini.”
“Kikan…” Oma ikut sedih, keduanya menangis bersama.
“Oma ikut ya?”
Oma menggeleng, “Oma akan hadapi Hanan. Kamu dan Felo bisa pergi. Hindari dia sampai situasinya memang aman.”
Kikan mengangguk, berharap pilihannya yang terbaik terutama Felora.
***
Halim sudah sampai rumah, ia mengganti baju dan langsung berbaring di ranjang. Berharap segera bisa tidur, namun ia terus terpikirkan Kikan dan Felora. Mengingat tangis Kikan di pelukannya, sampai aroma wanita itu menempel di pakaiannya tadi.
“Tidak rasional, aku menikahinya hanya untuk membantu ia dari mantan suaminya!” Halim menggeleng, merasa ide itu bukan jalan yang baik.
Lebih baik ia berhenti ikut campur, tidak mau ambil risiko lebih. Walau dia sudah menyayangi Felora.
Halim mengambil ponsel, butuh pengalihan tetapi ketika ia membuka akun media sosialnya, yang pertama dilihatnya adalah foto Lou yang sedang di sebuah pulau pribadi.
Rahangnya mengetat, hawa panas membuat hatinya begitu sesak melihat Lou tampak di rangkul mesra sambil dicium pipinya oleh pria lain yang sudah jadi suaminya.
Halim memutuskan berhenti membuka akun media sosial, dan meletakan ponselnya sembarang lagi.
Gelisah, malam itu ia berubah posisi sampai akhirnya bisa tidur.
”Uncle dokter!” sebuah seruan itu membuat Halim mencari keberadaannya. Dia di sebuah rumah sakit. Melihat Felora berlari dengan dress cokelatnya. Rambutnya di biarkan terurai dengan jepitan lucu di bagian satu sisi.
“Felora!” Halim meraup tubuh anak manis itu. “Di mana Bunda?”
Felora menggeleng, lalu ia memberikan sebuah permen pada Halim. “Untuk Uncle.”
“Oh, thank you. Tapi, buat Fel mana?”
Felora tampak berpikir, lalu menyengir, “sudah habiss, ada di perut.” Sambil memegangi perutnya.
Halim gemas mencium pipinya, tetapi seseorang muncul merampas Felora dari pelukannya. Halim mendongak, merasa tidak asing dengan pria yang ada di hadapannya. Ia adalah Hanan.
“Uncle dokter!” Felora berontak, bahkan sudah menangis, berusaha melawan.
“Aku ayahmu, Felora!” Kata Hanan membentak. Halim tidak senang mendengarnya terutana Felora yang ketakutan.
"Mau Uncle dokter!" Felora terus menangis, tangannya berusaha menggapai Halim.
Halim berusaha untuk mengejarnya, mendapatkan Felora kembali namun Hanan melangkah begitu cepat.
“Berikan Felora padaku!” Kikan muncul, berusaha merebut Felora tetapi gadis itu di dorong dan Halim memeluknya.
“Tolong, dokter… Ka Hanan tidak bisa bawa Felora! Kembalikan Felora!”
Halim terbangun, matanya terbuka. Udara sedang dingin tetapi keningnya berkeringat karena bunga tidur yang buruk tampak nyata. Ia menoleh pada jendela, di luar sedang hujan. Namun, langit yang terang membuat ia tahu malam sudah berganti siang.
Memijat keningnya, Halim merasakan sebuah ketakutan dalam hatinya. Pertama kali ia memimpikan orang lain, bukan Lou lagi. Kikan dan Felora yang begitu nyata menyusup hingga alam bawah sadarnya. “Pasti ini karena kejadian semalam, aku sampai memimpikan keduanya!”
Halim terduduk, menarik napas berulang sebelum memutuskan turun dari ranjang. Sisa hari itu, ia berusaha untuk tidak anggap, hanya bunga tidur. Tetapi, sekuat ia berusaha, rasa cemas berubah jadi ketakutan tak wajar.
Hanan ayahnya Felora, bahkan berhak untuk dekat dengannya, tapi mengingat sikapnya saja yang berani kasar pada Kikan, Halim tahu Felora bisa-bisa diperlakukan tak baik juga.
“Ouh damn! Ada apa denganku?!” Halim mengusap wajahnya. Berusaha konsentrasi pada pekerjaannya. Setelah selesai alih-alih pulang ke apartemen, Halim yang kebetulan mengendarai mobilnya justru melaju ke rumah Oma.
Ia sampai di sana, menekan bel. Hingga Oma tidak lama keluar.
Kening Oma mengernyit, Halim tatap wanita tua berkaca mata itu, “dokter Halim?”
Halim mengangguk, menyalaminya dan dapat pelukan hangat.
“Felora, dan Kikan—”
“Mereka sudah pergi, meninggalkan rumah sejak pagi.” Jawab Oma dengan nada sedih.
Halim terdiam, apa ia sudah terlambat?