Entah sudah berapa kali Kikan menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya dengan berat. Ia sedang berada di sebuah bus. Kikan pilih tidak mengendarai mobil karena takut tidak konsentrasi. Jujur, walau ia berusaha berani tetap ada perasaan takut bertemu dengan mantan suaminya lagi. Terutama mengingat sikap kasar Hanan padanya dulu.
Oma tadi mencegah Kikan untuk pergi sendiri, Kikan sampai menegaskan pada Oma.
“Oma, jangan coba-coba menelepon dokter Halim.”
“Hanya untuk temani kamu saja, memastikan Hanan tidak berani menyakiti kamu.”
Kepala Kikan menggeleng dengan tegas, “tidak perlu Oma, jika Ka Hanan berani melakukannya, Kikan tidak akan tinggal diam. Kikan akan melawan.” Ia meyakinkan Oma. Kemudian memeluk wanita tua itu.
Oma membalas dengan mengusap punggungnya. “Jangan lama-lama. Dengarkan saja tujuannya, habis itu putuskan untuk tidak pernah bertemu lagi dengannya.”
“Kikan pun inginnya seperti itu,” lalu Kikan menatap putrinya yang tampak tenang menonton film favoritnya sambil makan cookies buatan Kikan.
“Bunda pergi dulu ya, honey. Hanya sebentar. Felo harus dengarkan Oma, setelah filmnya selesai, makan malam sama Oma. Terus kalau Felo sudah mengantuk, jangan tunggu Bunda pulang, Felo tidur sama Oma. Jangan lupa sikat gigi ya, biar tidak sakit giginya.”
Kepala Felora mengangguk patuh. Kikan mencium keningnya lama, bukan hanya sekedar dekapan biasa melainkan seolah-olah Kikan sedang menyerap energi yang mampu membuatnya kuat untuk melangkah keluar rumah dan bertemu dengan Ayah dari Felora.
“Udah Bunda, aku mau lihat film lagi.” katanya.
Kikan terlalu lama memeluk dan menghalangi pandangannya dari televisi. Kikan terkekeh dan mencium pipinya. Lalu ia bergegas pergi.
“Semoga Oma dengarkan aku,” Halim memang sangat baik, mudah akrab dengan Felora. Itu saja sudah cukup baginya. Bukan berarti mereka bisa memanfaatkan ia sampai melibatkan dalam urusan Kikan menghadapi Hanan. Kikan tidak akan enak nanti pada Halim.
Kikan menatap halte pemberhentiannya. Segera turun, beberapa meter dari halte jadi memutuskan jalan. Hitung-hitung memperlambat pertemuannya, Hanan mengirimkan pesan sejak tadi jika ia sudah sampai.
Kikan tidak membalasnya, biarkan saja pria itu menunggunya sesekali. Bukan hanya Kikan yang dulu selalu harus menunggu ketika janji bertemu.
Meski langkah kakinya diperlambat, tetap saja ia sampai di resto. Mata Kikan mencari keberadaan Hanan hingga pria itu sedang berdiri sambil memasang senyum. Agak membuatnya pangling, Hanan terlihat lebih kurus dari terakhir mereka bertemu di pengadilan untuk sidang keputusan cerai mereka.
Hanan datang sendirian, mantan suaminya yang Kikan tahu sudah menikah lagi. Kikan sejak kemarin terus menerka-nerka tujuan Hanan datang padanya setelah sekian lama.
Senyum pria itu dengan tatapannya masih saja membawa efek gemetar pada Kikan. Traumanya begitu dalam, hampir-hampir membuat Kikan seperti kesulitan napas dan akan berbalik pergi. Ia mulai meragukan keputusannya untuk datang dan terlihat tenang, bisa menghadapi Hanan sendirian. Nyatanya, Hanan masih saja mampu mendominasi rasa takut tersebut.
Tangan Kikan mengepal kuat hingga ujung jarinya menekan telapak tangan yang memutih, kakinya semakin berat melangkah.
“Di mana putriku?” tanya Hanan bingung ketika akhirnya Kikan berhenti dekatnya namun hanya datang seorang diri.
“Dia tidak bersamaku,”
“Apa aku kurang jelas mengatakannya, kubilang, aku ingin bertemu Felora! Aku memintamu, membawanya, Kikan!” belum-belum, Hanan sudah terpancing.
Kikan berusaha tetap tenang, “aku sengaja tidak membawa putriku.”
“Kikan—”
“Aku ingin tahu tujuanmu datang jauh-jauh ke Hamburg setelah bertahun-tahun.”
“Aku ingin bertemu putriku, itu tujuanku!” tegas Hanan.
Kikan menggeleng pelan, lalu sebelum Hanan mengajaknya duduk, ia lebih dulu menarik kursi yang cukup jauh dari Hanan walau tetap berhadapan. Hanan memerhatikan mantan istrinya. Kikan tampak lebih dewasa, mata Hanan dengan tidak sopan menatap lekat setiap jengkal tubuh mantan istrinya.
Tindakan yang buat Kikan risi sampai mengeratkan pegangan pada tasnya.
“Sudah menatapku, Ka? Apa yang kamu dapat dari penglihatanmu yang tidak baik itu?” Kikan menjeda sejenak, “aku kenal kamu, Ka. Aku yakin bukan karena Felora kamu datang!”
Hanan terkekeh, “waw!” lalu berdecak kagum, Kikan berani menegurnya dengan tenang. “Suatu kemajuan luar biasa, mantan istriku. Berani menatapku dengan tatapan tajam,” dia terkekeh. Terdengar begitu menyebalkan di telinga Kikan.
Kikan memalingkan wajahnya, “aku tidak bisa berlama-lama! Cepat katakan saja, apa tujuan Ka Hanan yang sebenarnya?!”
“Sabarlah, Kikan. Bahkan kita belum memesan apa pun.”
Kikan menatap tajam, sebodoh apa dirinya dulu sampai begitu dalam mencintai pria yang tidak punya hati bahkan sikapnya sangat tidak senonoh seperti ini.
Hanan memesan, tetapi Kikan hanya pesan minuman. Dia tidak akan bisa menikmati makanan apa pun saat harus satu meja dengan Hanan.
“Bagaimana keadaan putriku?”
Kikan pilih tidak menjawab, diam.
“Aku tahu kamu pasti marah, benci karena aku baru datang sekarang.” Hanan memulai, “aku sungguh ingin bertemu Felora, Kikan.”
“Kamu mengatakan Felora, cacat, tidak sempurna. Kamu tidak peduli padanya, lalu kenapa kamu datang sekarang?” tanya Kikan dengan perasaan sakit mengingat umpatan kasar Hanan ketika tahu Felora sakit.
“Aku menyesalinya.”
Kikan tidak akan tertipu dengan acting Hanan.
“Di mana istrimu, Ka? Kamu datang sendiri?”
“Kami sudah berpisah,” kata Hanan, lalu membenarkan duduknya dan hendak meraih tangan Kikan yang langsung menyembunyikan tangan di bawah meja, “Kikan, aku datang ke sini baik-baik.”
“Aku tidak mengharapkan kedatangan Ka Hanan. Aku dan Felora sudah terbiasa tanpa Ka Hanan, jadi sebaiknya tetap begitu saja.”
Hanan sudah akan kembali bicara, didahului oleh Kikan lagi.
“Kembalilah ke Jakarta, Ka. Felora tidak akan siap menerima kamu, aku juga tidak akan membiarkanmu mendekatinya.”
Kikan meraih tasnya, hendak berdiri dan pergi karena sudah tidak mau lagi duduk berhadapan dengan Hanan. Terpenting dia sudah sampaikan pada Hanan penolakannya memberi akses mengenal Felora.
Hanan berdiri, meraih tangan Kikan. “Aku belum selesai!”
“Aku sudah,”
“Kikan. Aku serius akan datang sendiri ke rumah Oma, menemui Felora meski kamu mencegahku!”
Kikan menarik lepas lengannya, mereka mulai menarik atensi pengunjung lain di resto.
“Jangan berani menyentuhku! Aku sudah jadi mantan istrimu, artinya kamu tidak bisa semena-mena padaku seperti dulu, Ka!” Kikan mengingatkan.
Hanan menyeringai, “semakin kamu bersikap melawan, aku semakin tertantang. Kamu tahu itu, kan?” bisiknya.
Kikan membuang pandangannya lagi.
“Duduklah lagi,” kata Hanan.
Kikan kembali duduk dengan terpaksa.
“Aku butuh suntikan dana untuk perusahaan keluargaku, aku mendengar kamu baru menjual rumah orang tuamu, kan?”
Kikan sudah tahu ke mana arah pembicaraan Hanan.
“Kamu butuh dana buat perusahaan keluargamu? Kenapa datangnya padaku? Aku bukan bank, Ka!”
Hanan menghela napas dalam, “pinjamkan aku, aku janji dalam dua tahun akan mengembalikannya padamu. Aku tidak bisa lagi meminjam ke Bank, perusahaan keluargaku di ambang kehancuran, Kikan. Cuman kamu yang kupikirkan bisa membantuku—”
“Ya, aku memang menjual rumah orang tuaku. Bukan untuk foya-foya apalagi kupinjamkan padamu, Ka. Itu untuk masa depan Felora, untuk pengobatannya sampai ia menemukan pendonor jantung!” Kikan kemudian menggeleng pelan, tanpa tahu malu Hanan butuh uang dan datang padanya. Sementara sejak keputusan pengadilan, Hanan tidak pernah memberi sepeser pun untuk Felora sesuai tuntutan Kikan yang di kabulkan hakim. Ia berjuang sendiri, bahkan menjual rumah warisan oranh tuanya.
“Sudah aku duga, kamu memang tidak pernah berubah. Kamu menikahiku karena harta orang tuaku. Sekarang pun kamu sok peduli pada Felora karena ada maksud tertentu.” Lanjut Kikan lagi.
Kikan semakin yakin tidak akan memberi Hanan kesempatan bertemu Felora.
Hanan mengetatkan rahangnya, “Kikan, jangan mengungkit yang sudah lama berlalu.”
“Bagaimana aku tidak mengungkit saat aku sendiri tidak bisa lupa?” tanya Kikan tegas. “Aku tidak bisa, jawabanku tetap sama pada tujuanmu. Pinjam pada orang lain, apa kamu tidak malu datang padaku hanya untuk mengemis begini?”
“Bre—Astaga, kamu benar-benar tidak bisa diajak bicara baik-baik ya!” Hanan sudah terpancing, bahkan hampir mengumpatinya. “Oke, mungkin dengan cara lain kamu akan berubah pikiran!”
“Apa maksudmu?!”
“Aku akan mengajukan gugatan padamu, terhadap hak asuh Felora. Aku akan mengambil Felora darimu.”
“Ka!” Kikan sampai pakai nada tinggi.
Hanan dengan santai tersenyum dan bersandar, menikmati ekspresi Kikan yang mulai terpancing, tidak tenang.
“Kamu tidak bisa melakukannya!”
“Bisa, aku akan pakai cara apa pun untuk mengambil Felora darimu.” Senjata Hanan sebab tahu bahwa Felora sangat berarti untuk mantan istrinya tersebut. Kikan akan lakukan apa pun untuk mempertahankan Felora. “Berikan aku pinjaman, sepuluh miliar saja. Aku janji tidak akan menemui Felora selama-lamanya seperti yang kamu inginkan.”
“Tidak!” Kikan memutuskan berdiri, “kamu tidak akan berhasil mengancamku, apalagi memperdayaku lagi! Felora akan tetap bersamaku, dan aku tidak akan menyerahkan sepeser pun hak Felora dan warisan orang tuaku padamu!”
Kikan berdiri, meraih tas dan melangkah cepat. Hanan tentu tidak biarkan Kikan pergi begitu saja. Hanan terus memanggilnya sampai ke area luar resto.
“Kikan! Berhenti!”
“Jangan ikuti aku, Ka!”
Hanan justru lari, berhasil meraih tangannya.
“Lepas Ka!” Dengan cengkeraman erat, membuat Kikan meringis. Hanan meraih Kikan, menyeretnya hingga ke dekat parkir, menuju mobil yang Hanan gunakan. Di sana terbilang sepi. Belum lagi hawa dingin yang menyelimuti. Buat Kikan menggigil.
“Kamu memang perlu kuingatkan sesuatu, aku tidak akan pernah berhenti sampai tujuanku tercapai!” Bisik Hanan.
“Lepas, Ka!” Kikan sudah hampir menangis, tetapi ia menahannya. Tidak boleh terlihat takut.
Hanan bahkan memeluk pinggang Kikan dengan kurang ajar, lalu menariknya. Kikan memberontak, Hanan berbisik, “aku akan lebih senang jika menghukum kamu seperti dulu. Kurasa aku juga merindukan tubuhmu—”
“BRENSEEKKK! DON’T TOUCH ME!” Kikan sampai mengumpatnya.
Hanan terkekeh, senang melihat Kikan panik, berteriak. Kikan memberontak dan berhasil lepas tetapi saat akan lari, Hanan kembali mencengkeram tangannya. Sampai Kikan yakin memerah. Kikan berharap seseorang datang dan membantunya lepas dari pria ibliss ini! Perdebatan terus berlangsung.
“Masuk! Kamu harus membawaku menemui Felora.”
“Aku tidak mau! Felora hanya putriku! Ka Hanan menolak Felora—”
“Aku datang bukan untuk dapat penolakanmu, Kikan!”
“Juga bukan untuk memaksakan keinginan Anda!” Ujar seseorang dengan tegas. Membuat Hanan dan Kikan menatap ke arahnya.
“Halim?” Bisik Kikan. Bagaimana pria itu ada di sana, menyaksikan ia bersama Hanan? Pasti bukan sebuah kebetulan. Kikan yakin hanya Oma yang tahu tempat janjinya dengan Hanan. Oma pasti sudah telepon Halim.
Kikan harusnya kesal Oma melakukan itu, tetapi kini dia sangat bersyukur. Seperti punya kekuatan tambahan, ia segera melepaskan diri dari Hanan dan berlindung pada Halim. Kikan bahkan tidak sadar sudah memegangi lengan Halim.
Namun, pengakuannya yang begitu impulsive keluar dari mulutnya sebagai harapan Hanan pergi tidak mengganggunya dan Felora, mengakui Halim dan ia akan menikah, jadi sesuatu yang ia yakin akan disesali.
“Aku tidak percaya jika kalian akan menikah!” Hanan menyangkal pengakuan mantan istrinya yang mengakui Halim sebagai calon suaminya, mereka akan segera menikah.
Walau sudah beri pengakuan tersebut, rupanya Hanan tidak begitu saja percaya dan mundur. Kikan dan Halim saling tatap, cara apa lagi yang harus Kikan gunakan untuk mengusir Hanan serta percaya jika ia sedang tidak berbohong?!