Kanaya benar-benar nekat, wanita itu telah membakar ranjang yang menjadi saksi pengkhianatan suami dengan sahabatnya.
"Kanaya! Apa yang kamu lakukan? Apa kamu gila?" teriak Adit sangat marah sekali. Kini di kamar itu asap tampak mengepul seiring api yang terus membesar.
"Aku? Kamu yang gila, Mas! Kalian sangat-sangat menjijikkan. Manusia paling hina dari yang terhina di dunia ini. Kalian harus mati!" Kanaya balas berteriak keras seraya melempar bensin sisa yang ia pegang kearah dua manusia hina itu.
Rasa sakit hati dan marah membuat Kanaya kalap, ia tidak terima dikhianati. Dalam sejarah hidup, apa yang dialaminya saat ini akan jadi pengkhianatan terburuk yang pernah ada dalam hidupnya.
"Argh!" Desi berteriak ketakutan, ia segera bersembunyi di belakang Adit, takut jika Kanaya akan menyerangnya juga.
"Hentikan, Kanaya! Kamu pulang, kita bicara di rumah!" bentak Adit mencoba melindungi Desi.
"Enggak akan, aku harus memberi pelajaran sama wanita hina ini." Kanaya semakin marah melihat suaminya masih membela selingkuhannya, ia segera merangsek maju lalu menyerang Desi dengan menjambak rambutnya.
"Sakit, Mas, argh …!" Desi berteriak kesakitan.
"Kanaya, lepaskan Desi! Kamu benar-benar gila, lepaskan dia!" Adit mencoba membantu Desi agar terlepas dari cengkraman Kanaya. Namun, percayalah jika wanita yang sabar benar-benar marah. Kemarahannya bisa melebihi wanita pada umumnya. Yang membuat amarah itu kian menjadi-jadi karena wanita yang menjadi selingkuhan suaminya adalah sahabatnya sendiri.
"Sialan kamu memang, Des. Kamu harus tahu jika rasa sakit ini tidak sebanding dengan rasa sakit yang aku rasakan!" Kanaya berteriak frutasi, ia menjambak rambut Desi lebih keras lalu mendorong wanita itu dengan kasar sampai jatuh tersungkur.
"Desi!" Adit terkejut, ia bergegas membantu Desi bangkit.
Kanaya berdecih, melihat suaminya masih saja membela wanita selingkuhannya. Membuat luka di hati kian terasa perih. "Kalian benar-benar keterlaluan, percayalah hukum karma itu masih berlaku! Aku akan mengingatnya, semuanya akan sangat aku ingat, Mas!” ucap Kanaya penuh penekanan sebelum meninggalkan kedua pasangan tidak tahu diri itu dengan membawa seluruh rasa sakitnya.
***
Setibanya di rumah, Kanaya langsung memasukkan semua baju-baju Adit ke dalam sebuah koper besar yang ada di dalam kamar. Ia berulang kali menghalau air matanya yang terus meleleh. Ia sangat benci dengan sikap cengengnya ini. Untuk apa ia menangisi pria yang jelas-jelas sudah membuat hatinya terluka dan mengkhianati ikatan janji suci yang telah terjadi 12 tahun lalu.
Pintu ruangan kamar terdengar terbuka dengan gerakan yang sangat kasar. Kanaya tahu jika Adit sudah pulang, tetapi ia tidak menghiraukannya.
"Berhenti, Kanaya!” titah Adit.
Kanaya tetap tidak menggubrisnya, ia masih terus memasukkan baju-baju Adit ke dalam koper lalu setelah selesai, mendorong koper itu ke arah Adit.
"Keluar dari rumahku sekarang! Aku tidak menerima seorang pengkhianat sepertimu, Aditya Hermawan.”
Mendengar perkataan Kanaya, Adit terlihat menarik sudut bibirnya, senyum sinis itu pun terulas singkat. Pria itu kemudian bergerak maju dan tanpa peringatan menampar wajah Kanaya dengan sangat keras. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali hingga Kanaya terjengkang ke belakang.
Kanaya kesakitan, sudut bibirnya bahkan langsung robek, tetapi wanita itu tidak mengaduh sedikit pun. Ia justru menatap Adit penuh kebencian.
"Hanya wanita bodoh yang bersikap sepertimu, Kanaya! Kamu ingin aku pergi? Jangan harap! Rumah ini adalah rumahku dan aku beli atas namaku," kata Adit.
"Tidak! Rumah ini adalah rumah untuk anak-anakku. Kamu sama sekali tidak berhak memilikinya, Adit. Dan tarik lagi ucapanmu itu, rumah ini kita beli dari hasil kerja keras bersama. Bukan milikmu," sahut Kanaya begitu geram, tidak rela jika rumah itu diakui oleh suaminya.
"Omong kosong! Aku peringatkan, jangan membentak jika bicara denganku atau kamu akan menyesal. Sudah cukup aku memaafkanmu atas sikap lancangmu tadi, apalagi kamu sampai membuat Desi ketakutan," ucap Adit tak berempati sama sekali terhadap wanita yang dulu pernah menjadi cinta dalam hidupnya itu.
"Seharusnya kalian berdua mati dan hidup abadi di neraka!" sergah Kanaya dengan nada sarkas.
"Kurang ajar!" Adit yang sudah tidak bisa menahan amarahnya tiba-tiba menarik rambut Kanaya dengan kasar. "Sejak tadi mulutmu ini sangat kurang ajar, apa aku perlu merobeknya agar kamu diam, ha?" Adit terus menjambak rambut Kanaya dengan keras seraya menatap wanita itu begitu tajam dengan matanya yang memerah.
"Bahkan aku rela mati daripada melihat kalian bahagia setelah membuatku menderita. Jangan harap kamu bisa melakukannya, Adit!” Kanaya tidak takut sedikit pun, ia justru lebih senang jika mati agar ia tidak merasakan sakit hati yang sangat menyiksanya.
"Wanita sialan! Kamu pasti menyesal telah berkata seperti itu, Kanaya."
Adit sudah tidak bisa membendung amarahnya lagi, pria itu langsung menarik tangan Kanaya dengan kasar lalu kembali menamparnya lebih keras dari sebelumnya. Bukan hanya itu saja, Adit juga menyeret Kanaya dengan menjambak rambut istrinya lalu membenturkannya ke ranjang.
“Argh ….” Kepala Kanaya langsung pusing seketika dengan dahi yang berdarah hingga pandangannya menjadi buram.
"Selama ini kamu sepertinya menganggap ucapanku hal remeh, sekarang kamu harus merasakan akibatnya karena sudah menentangku, Kanaya!” Adit melepaskan ikat pinggangnya, ia berjalan mendekati Kanaya yang langsung mundur.
"Berhenti, ceraikan saja aku!” Kanaya tidak sanggup jika tubuhnya mendapatkan perlakukan kasar lagi. Bukan karena ia takut, tetapi meski ia mengerahkan seluruh tenaganya, tetap saja tenaga laki-laki jauh lebih besar dari wanita.
"Tenang aja, aku memang akan menceraikanmu, tapi setelah aku memberimu pelajaran. Sekarang rasakan ini!” Adit tidak peduli Kanaya akan kesakitan atau tidak. Baginya wanita itu sudah tidak penting lagi dan ia sudah mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dari Kanaya dan yang pasti Desi orang yang sangat kaya berbeda dengan istrinya.
Satu cambukan Adit lesatkan pada punggung istrinya dengan kekuatan penuh. Bahkan darah langsung merembes keluar dari balik pakaian Kanaya.
"Argh, sakit, Mas!" Teriakan Kanaya terdengar sangat keras, pedih, dan nyeri itu langsung ia rasakan bersamaan hingga seluruh tubuhnya gemetaran. "Aku mohon hentikan!"
Tak menghiraukan rasa sakit Kanaya, Adit kembali memberikan cambukan kedua yang tak kalah keras dari yang pertama dilakukan. Pria itu tidak peduli, meski darah terlihat mulai membasahi pakaian Kanaya.
"Ibu! Ibu! Jangan menyiksa ibuku!" Tiba-tiba suara teriakan itu terdengar. Ya, Nara–anak perempuan mereka yang tidak sengaja melihat kejadian penyiksaan itu, langsung menghalau niat Adit untuk memberikan cambukan ketiga.
"Ayah! Lepaskan Ibu, hentikan ini!" Nara mencoba menghentikan perbuatan keji ayahnya.
"Minggir! Aku akan membunuh wanita setan ini!” Adit bahkan sampai mendorong tubuh putrinya dengan kasar.
"Jangan Ayah, aku mohon jangan siksa Ibu lagi! Aku mohon." Nara langsung memeluk ibunya, memohon pada ayah agar mau menghentikan siksaan itu.
Adit pun berdecih, ia langsung membuang ikat pinggangnya dengan gerakan kasar.
"Urus wanita ini, jangan sampai aku benar-benar membunuhnya nanti!” Setelah mengatakan itu, Adit pergi begitu saja meninggalkan kamar tanpa memedulikan keadaan Kanaya yang tengah kesakitan.
"Sakit …." lirih Kanaya dengan mata yang sulit untuk terbuka.
"Ibu, kenapa seperti ini? Kenapa Ayah jahat sama Ibu?” tanya Nara menangis sesenggukan melihat kondisi ibunya yang sangat mengenaskan. Namun, Kanaya tidak sanggup menjawab, matanya sudah tidak sanggup lagi untuk terbuka, tetapi ia bersumpah dalam hatinya akan mengingat seluruh rasa sakitnya dan membalas semua perbuatan suaminya dengan cara yang sama.
"Aku tidak akan memaafkanmu! Aku bersumpah akan membalasnya!" batin Kanaya dengan wajah penuh dendam, masih meringis menahan rasa sakit pada punggungnya.
***
Jika sudah ada pihak ketiga dalam sebuah hubungan, mau sekuat apapun kita mencoba bertahan. Hasilnya tidak akan pernah bisa seperti semula. Kepercayaan seperti sebuah gelas, yang jika sudah hancur tidak akan bisa kembali utuh seperti semula meski bisa diperbaiki. Seperti itu juga yang dirasakan Kanaya. Wanita yang baru saja sembuh akibat luka siksaan suaminya langsung mengambil keputusan dengan bercerai. Satu-satunya jalan yang paling tepat. Namun, Kanaya tidak mau bercerai begitu saja. Ia tidak akan membiarkan Adit bisa hidup enak bersama selingkuhannya sementara ia harus menderita.
Saat sidang pertama digelar, Kanaya langsung menolak saat hakim menawarkan mediasi. Baginya semua sudah cukup, ia tidak mau berurusan apa pun dengan pria yang bernama Adit. Sidang perceraian itu berjalan lancar, pihak keduanya memang tidak ada niat untuk berdamai. Bahkan saat sidang itu berlangsung, Adit diantarkan seluruh keluarganya, termasuk wanita yang enggan ia sebut namanya.
"Hei, Kanaya! Kamu mau memeras anak saya? Kamu minta uang bulanan 80 juta untuk anak-anak kalian? Mau berbuat apa kamu?" Tiwi, ibu mertua Kanaya langsung mencaci Kanaya saat wanita itu keluar dari persidangan. "Kamu juga mau ngambil rumah anak saya? Kamu memang wanita miskin yang gila harta!" jeritnya lagi memandang Kanaya seolah bisa membunuhnya.
"Memeras? Apa ibu tidak salah? Lagi pula jika anak Ibu tetap hidup, dia wajib mengirim uang bulanan untuk kedua anaknya. Jika memang mau berhenti boleh saja, asal anak Ibu mati dulu," ujar Kanaya dengan begitu pedas.
"Hei, kurang ajar kamu wanita miskin! Udah bagus dipungut sama Adit ya kamu. Kalau nggak dinikahin Adit, mana mungkin kamu bisa kayak gini, ha?" Tiwi semakin murka, ia ingin menampar Kanaya, tetapi Adit menahannya.
"Tidak perlu mengurusi wanita ini, Bu! Jika memang dia tetap ingin bertahan di rumah itu, percayalah aku akan membuat hidupnya seperti di neraka!" tukas Adit dengan penuh emosi.
Kanaya mendesis pelan, seulas senyum sinis itu terlihat. Ia langsung pergi seraya mengacungkan jari tengahnya kepada keluarga pengkhianat itu.
“Lihat saja nanti, siapa yang akan menangis setelah ini.”
Bersambung