Bab 1. Pengkhianatan
"Aku nggak sarapan soalnya buru-buru banget. Terus nanti malam kayaknya aku nggak pulang.” Adit menjawab tawaran istrinya yang baru selesai menata makanan hasil masakannya di atas meja.
"Enggak pulang? Memangnya mau ke mana, Mas? Bukannya Mas nggak ada pekerjaan luar kota?" Wanita itu ingat betul jika suaminya pernah mengatakan jika dalam satu bulan terakhir ini tidak ada proyek di luar kota.
Wanita itu bernama Kanaya. Usianya kini sudah genap 30 tahun dan telah memiliki dua orang anak kembar yang sebentar lagi akan masuk SMP hasil pernikahannya dengan Adit. Meski dulunya Kanaya sempat bekerja, tetapi atas permintaan suaminya ia pun terpaksa resign dan fokus menjadi ibu rumah tangga, walau sebenarnya ia ingin bekerja membantu Adit dalam mencari nafkah. Namun, pria itu beranggapan lain, menganggap Kanaya terlalu lancang tanpa tahu tujuannya bekerja.
"Kamu bawel banget sih jadi istri. Kamu cukup diem dan aku cari uang. Kamu nggak perlu ngurusin pekerjaan aku segala? Udah deh, nggak usah banyak tanya, nggak usah buat mood aku rusak!" bentak Adit mendadak emosi hanya karena pertanyaan yang terbilang sepele dari istrinya.
Kanaya sampai terlihat terkejut, kenapa Adit tiba-tiba marah? Bukannya ia hanya bertanya baik-baik? Bahkan intonasi suaranya pun jauh lebih ramah dari apa yang suaminya ucapan.
"Aku cuma tanya, Mas. Kalau kamu enggak suka kamu enggak harus bentak aku?"
"Makanya bertanyalah sesuai porsimu, Kanaya! Ingat, kalau bukan karena aku nikahin kamu, saat ini kamu mungkin sudah tidur di jalanan," sergah Adit menatap Kanaya dengan penuh kekesalan.
Hati Kanaya rasanya seperti diremas-remas oleh sesuatu yang tak kasat mata ketika mendengar perkataan suaminya yang sangat pedas itu. Air matanya meleleh tanpa bisa dicegah, tidak menyangka jika ucapan itu akan keluar dari mulut suaminya sendiri.
"Jadi, aku yang salah, Mas?" lirih Kanaya bertanya.
"Udah deh nggak usah drama. Besok aku transfer uang bulanan kamu, pokoknya kamu nggak usah sibuk ngurusin pekerjaan aku," tukas Adit, bukannya iba dengan tangisan istrinya ia malah semakin muak dan segera pergi meninggalkan rumah dengan perasaan marah.
Kanaya mengigit bibirnya. Ia mengusap air mata dengan cepat. Mencoba untuk tidak mengambil hati perkataan suaminya. Namun, sebagai istri Kanaya merasa Adit benar-benar sudah keterlaluan. Sikapnya kali ini sungguh kejam karena sampai mengucapkan hal yang semenyakitkan itu.
“Mas Adit kenapa sekarang berubah? Apa yang salah dariku? Apa dia bosan sama aku? Apa jangan-jangan dia …?” batin Kanaya dengan perasaan yang begitu sakit. Pikirannya semakin tidak tenang saat terbesit hal yang pastinya tak diinginkan oleh wanita mana pun di dunia.
Demi membuktikan kecurigaannya, Kanaya dengan cepat mengusap air matanya. Ia pun segera mengambil tas dan juga kunci mobil di kamarnya.
Meski membuatnya kerepotan, Kanaya berhasil mengikuti mobil suaminya diam-diam dengan jarak yang tidak terlalu dekat. Namun, ia sangat terkejut saat ternyata mobil itu tidak berbelok ke arah di mana kantor suaminya berada. Kecurigaannya pun kian bertambah. Kanaya mulai mempercepat laju mobil agar tak tertinggal jauh dan itu bisa membuatnya gagal mengikuti ke mana suaminya pergi.
"Ngapain Mas Adit ke sini?" gumam Kanaya dengan wajah bingung. Terlebih saat ia tahu jika daerah itu adalah komplek perumahan mewah di mana sahabatnya tinggal. Kanaya coba berpikir positif, mungkin saja Adit ingin menemui klien dan kebetulan rumahnya ada di daerah itu. Namun, semakin dekat mobil suaminya, ia merasa sangat gugup. Jantungnya berdegup kencang saat melihat mobil itu perlahan-lahan berhenti di depan sebuah rumah yang sangat ia kenali.
"Kenapa Mas Adit ke rumah ini?" Kanaya bertanya-tanya dengan wajah bingungnya. Ia terus menatap suaminya yang baru saja keluar dari mobil lalu masuk ke dalam rumah itu.
"Mas Adit ada urusan apa? Kenapa dia ke rumah Desi?" Kanaya terus bertanya sendiri seperti orang bodoh. Ia segera mengambil ponselnya, mencoba menghubungi suaminya. Namun, panggilan itu tidak pernah diangkat.
Pikiran Kanaya semakin tidak bisa dikendalikan. Kecurigaan itu kian menjadi-jadi, ditambah suaminya tak kunjung muncul di sana.
"Nggak bener, ini nggak bener. Aku harus lihat sendiri untuk apa Mas Adit datang ke rumah Desi? Awas aja kalau kamu sampai macam-macam di belakang aku!" Raut wajah Kanaya tampak penuh amarah. Ia pun bergegas keluar dari mobil dengan kesal.
Jika Adit sering marah memang lelah karena pekerjaan, mungkin ia bisa terima dan menganggap hal itu wajar. Akan tetapi jika alasan Adit berubah hanya karena wanita lain, Kanaya tidak akan terima–sampai mati pun ia tidak akan memaafkannya.
***
Desi tersenyum sangat manis saat melihat pujaan hatinya datang. Ia segera memberikan pelukan hangat pada Adit yang pagi itu sudah sangat rapi dan keren.
"Mas Adit, aku kira nggak dateng. Kamu ganteng banget pagi ini, Mas." Desi memuji. Menampilkan senyum genitnya menggoda Adit.
Pria itu pun tergelak. Adit segera menarik pinggang Desi agar semakin mendekat. "Kamu bisa aja, Des. Hari ini aku mau minta sarapan, ya. Aku kangen masakan kamu," ucap Adit seraya menciumi telinga Desi hingga membuat tubuh wanita itu sedikit menggeliat.
"Kangen masakan aku atau yang lain?" goda Desi–wanita itu rupanya juga sangat merindukan suami dari sahabatnya itu. Ya benar, Desi dan Kanaya memang sudah bersahabat dekat karena dulu pernah satu kantor. Suaminya juga kebetulan kenal dekat dengan Kanaya, tetapi suaminya sudah meninggal beberapa bulan yang lalu. Hal itulah yang membuat Desi mencari pelarian dengan mendekati suami sahabatnya. Terlebih Adit juga diam-diam menaruh perasaan yang sama hingga hubungan keduanya pun terjalin tanpa diketahui oleh Kanaya.
"Kamu tahu aja yang aku pengen. Gimana, bentar aja, Des," bisik Adit mengusap lembut pinggang Desi dengan gerakan sensual.
"Apa sih yang nggak buat kamu, Mas."
Desi justru menanggapi dengan senyum menggoda hingga membuat pria itu tidak tahan untuk melakukan hal yang menjadi alasannya datang menemui Desi. Adit segera mencium bibir wanita itu dengan liar dan panas. Ia juga tidak segan meraba setiap jengkal tubuh terawat Desi dengan gerakan liar.
"Mas, jangan di sini, kita ke kamar aja!" pinta Desi diiringi suara desahan halus yang membuat hasrat Adit kian menggebu.
Pria itu pun mengiyakan dan segera mengajak Desi ke kamar yang paling dekat dengan ruang tamu dan merebahkan tubuh wanita itu di sana. Adit dengan cekatan melucuti pakaian Desi setelah melepas pakaian kerja yang baru satu jam ia kenakan.
"Aku akan langsung memulainya," kata Adit merasa tak sanggup menahan hasrat yang kian menguasai dirinya.
Pria itu pun segera melakukan penyatuan. Membuat suara desahan mulai terdengar dari mulut Desi. Suara yang begitu erotis hingga memecut gairah Adit.
Keduanya terus bergumul panas. Suara desahan pun terdengar saling bersahutan seolah kegiatan itu memang sangat menyenangkan mereka lakukan. Terutama Adit–pria itu seolah lupa jika sedang melakukan dosa besar tanpa mengingat Kanaya–istri sahnya.
Sementara itu, di depan rumah, Kanaya masuk begitu saja setelah tak mendapati siapa pun di ruang tamu. Namun, baru beberapa langkah, ia malah dikejutkan oleh keberadaan jas suaminya yang tergeletak di lantai. Kanaya memungut jas itu, ia ingat betul kalau jas itu memang milik suaminya karena ia yang telah menyiapkannya.
"Ini jas Mas Adit," gumam Kanaya, air matanya mendadak ingin keluar, tetapi ia menahannya.
Kanaya kembali melangkah. Berjalan dengan tubuh gemetaran. Ia sangat-sangat takut jika akan melihat hal yang bisa menyakiti dirinya. Sampai akhirnya, suara desahan itu terdengar jelas. Membuat jantungnya seperti ditusuk-tusuk ribuan anak panah.
Kanaya melihat pintu ruangan yang tidak tertutup rapat. Ia pun mendekat dan memberanikan diri untuk membukanya hingga melihat pemandangan yang sangat-sangat mencengangkan. Rasa takutnya tadi langsung berubah jadi amarah.
"Mas Adit! Apa-apaan ini?"
Kanaya berteriak berang tatkala melihat suami yang dicintai tengah berpelukan mesra dengan wanita yang sangat dikenalnya. Sahabat yang tidak pernah terpikirkan akan jadi perusak rumah tangganya.
“Kanaya, ngapain kamu di sini?” Bukan hanya Adit, Desi pun tampak sangat terkejut akan kedatangan Kanaya di rumahnya. Namun, wanita itu tak menunjukan rasa bersalah. Malah sebaliknya, ada senyum tipis yang terulas.
“Akhirnya Kanaya tahu juga. Dengan begini aku nggak perlu lagi diem-diem mencintai Mas Adit di depannya,” batin Desi merasa puas karena tak perlu menyembunyikan lagi hubungan dengan suami sahabatnya itu.
Kanaya yang sangat geram tidak pikir panjang, ia keluar dari rumah itu. Mengambil bensin yang memang selalu dibawanya di dalam mobil. Ya, sejak punya pengalaman kehabisan bensin di tengah kemacetan, Kanaya memang selalu membawa stok bensin dalam sebuah dirigen agar kejadian itu tak terulang lagi. Tak hanya bensin, Kanaya juga mengambil korek api milik Adit yang kebetulan tertinggal di mobilnya.
“Kenapa kamu tega sekali, Mas? Kenapa?” Sambil menangis, Kanaya mempercepat langkahnya kembali ke kamar di mana suami dan sahabatnya seolah tidak takut jika hubungan gelap mereka sampai diketahui. Hal itu membuat Kanya semakin gelap mata. “Lebih baik kalian mati aja di sini!” Kanaya mulai menyiram bensin. Tak hanya ranjang tidur, bahkan tubuh Adit dan Desi ikut terkena bensin yang secara mendadak Kanaya siramkan.
"Kanaya?" Adit tampak kaget bukan kepalang melihat apa yang dilakukan istrinya, terlebih saat Kanaya sudah memegang korek api di tangannya.
"Pengkhianat kamu, Mas! Apa Mas tahu hukuman seorang suami yang berkhianat pada istrinya? Neraka! Sekarang aku ingin Mas dan selingkuhan Mas ini merasakan bagaimana panasnya api neraka!" Kanaya sudah bersiap melempar korek api yang sudah ia nyalakan. Sorot matanya penuh amarah. Tak peduli apa yang akan terjadi jika hal itu dilakukan. Saat ini, rasa sakit seolah membutakannya.
“Kanaya, jangan!”
Bersambung.