Bel pulang baru saja berbunyi. Miss Jenny menutup pelajarannya. Segera kumasukkan buku ke dalam tasku. Tony juga demikian. Ia langsung berdiri menungguku dengan siaga. Seperti biasa, beberapa gadis mendekat ke meja ku. Mereka langsung mengembangkan senyumnya dan berusaha susah payah berdiri dengan menarik.
“Frans, kau ada acara?” tanya salah seorang diantaranya. Aku tidak menjawab, fokus saja merapikan alat tulisku dan memasukkannya ke dalam tas.
“Frans, sekali ini saja,” harapnya. Namanya Claudia, ia gadis cantik dan popular di sekolah. Aku tak mengerti, sudah berulang kali aku mengacuhkannya, tapi tetap saja ia tak menyerah kembali mengajakku.
Entah, apa yang terjadi, tiba-tiba Tony menghalau tangan Claudia hingga ia meringis kesakitan.
“Sudah berulang kali kuperingatkan, tidak ada gadis mana pun yang diijinkan menyentuhnya,”ucap Tony. Mungkin saat menunduk tadi Claudia hendak meraihku.
Claudia menatap Tony dengan berang.
“Aku tak percaya dia alergi pada perempuan,” balas Claudia dengan suara agak ditinggikan. Aku yakin sebentar lagi perdebatan keduanya akan terjadi jika tidaksegera dihentikan.
“Claudia, maaf aku segera pulang,” sahutku.
Claudia tertegun saat untuk pertama kalinya aku berbicara padanya. Ya, ini pertama kalinya aku berbicara padanya setelah sekian kali aku hanya menolak dan mengacuhkannya dengan diam. Seperti tengan tersihir ia hanya mematung dan meloloskanku saat lewat di sampingnya. Mungkin ia terkejut mendengar suaraku .
Selanjutnya, Tony segera menyusul dan sibuk menghalau gadis lain saat aku keluar kelas. Rutinitas seperti biasa. Banyak kamera ponsel yang langsung menyorot ke arahku. Silaunya cahaya yang terpantul membuatku terpaksa menyembunyikan wajahku di balik tas.
Beberapa gadis yang berusaha menyentuhku langsung di dorong oleh Tony hingga jatuh ke selokan.
Peraturan pertama, aku tidak boleh dekat dengan gadis mana pun. Tidak boleh menyentuh maupun disentuh. Peraturan itu mutlak bagiku. Jika ada yang berusaha melanggar baik diriku maupun gadis lain, maka yang mendapat hukuman pertama adalah Tony. Om Hari akan memukul atau pun mencambuknya. Awalnya aku selalu menolak Tony melakukan itu, tapi ketika ia mendapat hukuman aku mulai kasihan dan membiarkannya melaksanakan tugasnya.
Apa kalian pikir peraturan itu aneh?
Tentu saja.Aku juga berpikir demikian.
Tapi apa boleh buat, ibuku yang membuat peraturan ini. Dan aku tidak mau ia kecewa padaku hanya karena aku menolak peraturan yang meski aneh juga bukan masalah besar bagiku. Awalnya aku pikir dengan peraturan itu aku akan dijauhi teman, tapi sebaliknya, para gadis mengejar – ngejarku layaknya seorang bintang Hollywood. Aku tak mengerti apa yang mereka harap dariku.
Aku hanya seseorang yang hidup di desa terpencil. Hidup sederhana dan tidak memiliki seorang ayah. Sebagai anak yang hanya tinggal dengan seorang ibu dan beberapa bibi serta paman, tidak ada hal yang bisa kubanggakan. Aku juga bukan orang yang cukup percaya diri dengan keadaanku itu. Sehingga sejak kecil aku terbiasa menyendiri atau kalau tidak hanya dengan Tony.
Tony adalah sahabat dan penjaga bagiku. Ia sangat baik, perhatian dan pandai mengurusku layaknya perempuan. Andaikan dia seorang gadis pasti aku akan menikahinya setelah dewasa nanti. Tapi karena ia seorang lelaki maka ia kuanggap saudara.
Tony sangat tampan. Supel dan ramah, dibanding diriku ia jauh lebih mudah bergaul dengan siapa saja. Tapi yang paling membuatku iri adalah, Tony memiliki ayah dan ibu. Meski didikan keduanya sangat keras mereka sangat menyayangi Tony.
“Istirahat sebentar aku lelah,” pinta Tony setelah bebas dari para gadis yang membuntutiku.
Aku mengangguk dan berinisiatif membelikannya air mineral.
“Berapa?” tanyaku menanyakan harga air kemasan dingin yang sudah kuambil.
Perempuan penjaga toko itu terpaku sesaat.
“Buatmu, gratis saja,” sahutnya dengan senyum manis.
“Tapi ini untuk temanku,” sahutku. Perempuan itu bangkit mengambil satu lagi air kemasan dan melemparnya ke arahku yang otomatis langsung kutangkap.
“Yang itu untukmu,” ucapnya membuatku bingung. Tak mau berhutang budi kubayar saja dengan uang sejumlah harga air kemasan di sekolahku.
Saat ia berusaha kembali menolak dan mengembalika uang. Aku langsung berlari ke tempat Tony menunggu.
“Nih, minum,” ucapku menyerahkan air kemasan itu ke tangan Tony.
“Kau baik sekali,” ucap Tony langsung menegaknya sampai tandas.
“Bagaimana? Sudah hilang lelahnya. Kita harus bergegas. Lambat sedikit kita bakal kena masalah,” ajakku.
“Ia tahu,” ucap Tony bangkit.
Kami pun berjalan bersisian.
“Kau tidak keberatan jalan kaki?” tanyaku, karena biasanya kami naik bus.
“Ini lebih baik, kita bisa melewati jalan pintas yang sepi, dan aku tak harus berurusan para gadis.”
Ucapan Tony tak urung membuatku tersenyum.
“Hey, sepertinya kau senang melihatku kesulitan ya!” teriak Tony.
Aku semakin jahil dengan mengedipkan sebelah mata. Melihat itu Tony langsung mengejarku. Kami berlarian dan tertawa sampai lelah.
“Hey lihat,” tunjuk Tony ke arah seorang nenek yang tengah kesulitan memasukkan kentang yang berjatuhan ke dalam keranjang. Melihat itu aku langsung mendekat untuk membantunya.
“Terima kasih,” ucap nenek tersebut.
Aku mengangguk ketika ingin pergi nenek tersebut menahan tanganku membuta Tony hampir saja menghalaunya. Beruntung aku berhasil meminta Tony untuk membiarkannya. Nenek itu meraih tangan dan meraba telapak tanganku, lalu tangannya meraba bahu hingga sampai di wajahku. Tony kembali ingin menghalau tapi kuhentikan.
“Jalan hidupmu tidak mudah, Pangeran,” ucapnya langsung membuatku mengernyit. “Tapi sebentar lagi harapanmu akan terkabul,” lanjutnya.
Setelah itu nenek melepaskanku dan pergi.
“Aneh,” ucap Tony.
Aku terdiammemikirkan tiap kata nenek yang sama sekali tak kukenal. Namun mengingat satu – satunya harapan yang kupunya aku segera berbalik hendak menanyakannya pada nenek tadi. Siapa tahu ia peramal yang bisa melihat masa depan. Aku perlu bertanya lagi padanyauntuk memastikan, namun sejauh mata memandang padang ilalang nenek itu telah menghilang.
“Ada apa?’ tanya Tony heran.
“Nenek itu sudah menghilang,” gumamku.
Tony segera berbalik dan mengedarkan pandangannya. Kami berdua berteriak memanggil si nenek, hawatir ia terjatuh ke jurang atau tersengat ular. Namun nenek tidak ada. Kami berdua saling tatap. Saat itulah melintas dalam benak kami kisah paman Hari tentang nenek pemakan manusia. Mengingat hal tersebut aku dan Tony bergidik lalu lari secepat yang kami bisa.
“Jangan tinggalkan aku!” teriak Tony yang tertinggal di belakang.
“Nek, makan dia saja!” teriakku lantang yang langsung membuat Tony melontarkan sumpah serapahnya.
“Sialan kau! Tunggu pembalasanku!” teriak Tony membuatku tertawa.
Hanya Tony yang selama ini bisa membuatku tertawa. Ia benar – benar sahabat terbaik yang kumiliki.
“Tunggu!” teriak Tony, namun aku tak memberinya kesempatan. Aku terus berlari dan berhenti saat Tony berhenti mengejar karena kelelahan. Aku segera kembali dan memberinya sisa air kemasan yang kupunya.
“Kau tidak haus?” tanyanya.
Aku menggeleng.
“Aku heran. Mengapa kau tak pernah kehausan? Berkeringat pun tidak,” ucapnya keheranan melihatku tak berkeringat padahal kami sama – sama berlari.
Aku hanya mengedikkan bahu, karena juga tidak tahu.