Si Psycho

2145 Words
Keadaan mulai membaik. Ketegangan yang terjadi karena tawuran saat itu sudah berlalu. Ali sudah mengajukan kepada pihak yang berwajib untuk memasang kamera pengawas di luar area sekolah. Bahkan beberapa hari ini polisi lebih sering berpatroli di kawasan SMA Gajah Mada.            Meski begitu Ali tetap menyuruh Lintang untuk tinggal di rumahnya. Mengantar Lintang ke kantor lalu berangkat ke sekolah bersama dengan menurunkan Lintang di perempatan, mengikuti Lintang dari belakang. Tapi hari ini sedikit berbeda, Lintang menghentikan langkahnya sebelum sampai di sekolah, menoleh ke belakang menatap sengit Ali yang berada di dalam mobil. Memberi isyarat Ali dengan tangannya supaya masuk lebih dulu. Bagaimana tidak, ternyata ada beberapa murid SMA Gajah Mada yang masih berada di luar saat jam pelajaran. Lintang nggak mau mereka tahu kalau Ali sedang mengawasinya, seperti induk ayam yang mengawasi anaknya supaya nggak keluar jalur.            Baru Ali mau protes, ponselnya berbunyi. Ada pesan singkat dari Eza. Keningnya berkerut lalu mendongak menatap Lintang yang masih mengawasinya. Sebentar dia melihat sekitar, lalu menekan nomor telepon yang ada di ponselnya. Nggak lama, ponsel yang berada di genggaman Lintang berbunyi. Ali menelponnya.            “Lo masuk duluan gih. Nanti gue suruh Miko buat jemput.” Kata Ali tanpa basa basi, dan belum sempat Lintang menjawab, sambungan sudah terputus. Ali memutar balik mobilnya. Eza baru saja mendapat info baru tentang seseorang yang bertanggungjawab dalam pembangunan ruang bawah tanah Gedung Tua. ***            Lintang jelas senang saat Ali bersedia menjaganya. Rasa bersalah yang selama ini menghantuinya perlahan memudar. Tapi meski begitu Lintang tetap saja merasa nggak nyaman saat setiap hari Ali mengikutinya dari belakang dengan mobil. Oke, memang saat itu Lintang sempat dalam bahaya meski berada di dekat sekolah. Tapi kan nggak gini juga. Langkah Lintang terhenti saat matanya nggak sengaja melihat beberapa murid SMA Gajah Mada berada di luar sekolah. Reflek Lintang balik badan, membuat Ali yang sejak tadi mengikutinya pelan dari belakang juga menghentikan mobilnya. Lintang memberi isyarat Ali untuk masuk lebih dulu. Tapi bukannya menuruti permintaan Lintang, Ali malah menelponnya.            “Lo masuk duluan gih. Nanti gue suruh Miko buat jemput.” Ucap Ali begitu sambungan telepon terhubung. Baru saja Lintang ingin menjawabnya, Ali sudah memutus telepon. Dia hanya melambaikan tangan ke arah Lintang lantas segera memutar balik mobilnya, batal masuk.            Lintang menghela napasnya, melihat mobil Ali menghilang dari perempatan sekolah. Penasaran apa yang sebenarnya sedang Ali rencanakan. Apa ini menyangkut dirinya? Kenapa Ali harus melibatkan diri dengannya? Bukankah Ali nggak ada urusan sama sekali dengan Gedung Tua? Lintang balik badan bergegas masuk ke dalam, tanpa tahu kalau Ali memang sangat terkait dengan Gedung Tua bahkan dengannya.            Dan sepertinya masalah yang akan dihadapi Lintang bukan hanya soal Gedung Tua. Dia lupa satu hal, sudah beberapa minggu Lintang berada di SMA Gajah Mada. Selama waktu itu juga, dia sudah menjadi bahan gosip seluruh warga SMA Gajah Mada, khususnya oleh para kaum hawanya. Lintang mantan murid SMA Gajah Mada, yang sempat dikira sebagai murid kelas sepuluh, ternyata sudah delapan tahun lalu lulus dari SMA Gajah Mada. Dan gosip yang membuatnya lebih terkenal adalah kedekatannya dengan dua cowok most wanted di sekolah. Siapa lagi kalau bukan Ali si pemilik sekolah dan Saka si preman nomor wahid, mantan pacar banyak murid SMA Gajah Mada. Sebagian murid kagum dengan Lintang, punya wajah yang sangat awet muda karena perawakannya yang mungil dan nggak sedikit pun kerutan tampak di wajahnya. Tapi sebagian juga ada yang membencinya, beraninya perawan tua mendekati daun muda seperti Saka? Lintang selalu tertawa sampai terpingkal-pingkal saat Iqbal dan Riko menceritakannya. Apalagi tentang mantan Saka yang bernama Karin. Satu-satunya mantan yang sampai sekarang masih belum bisa move on  dari Saka. Satu-satunya mantan yang saat ini berani berlari menghambur memeluk Lintang tepat di gerbang sekolah. Hampir saja Lintang terjatuh karena gagal menyeimbangkan kakinya saat dipeluk Karin yang sudah menangis membasahi kemeja Lintang, membuat pak satpam yang melihatnya hanya menggelengkan kepala. Pagi-pagi sudah drama lagi.            “Lo kenapa?” tanya Lintang masih terkejut, pelan melepas pelukan Karin. Astaga Lintang terkejut setengah mati, apa Saka seistimewa itu sampai membuat anak gadis orang membengkak matanya. Dulu Lintang masih bisa makan tiga kali sehari, tidur nyenyak saat nggak ada proyek setelah putus dari Elang. Tapi ini? Lintang jadi berpikir yang macam-macam kan.            “Kak Lintang, bantuin gue.” ***            Bantuan macam apa yang bisa Lintang berikan? Lintang nggak habis pikir. Kenapa kehidupan remaja saat ini sangat nggak bermutu sekali? Cinta memang harus diperjuangkan, tapi nggak gini juga kan? Lintang menyeret Karin ke lokasi proyek. Duduk di salah satu bangku, sambil mengawasi pekerjaan para tukang. Suara bor mesin yang bising cukup meredam isakan Karin yang semakin menjadi.            Lintang tetap diam sampai Karin berhenti menangis. Lintang sodorkan segelas teh hangat untuknya. “Sekarang lo cerita ada apa?” tanya Lintang.            “Bantuin gue, Kak.” Pinta Karin memelas sambil menggenggam erat gelas yang isinya tinggal setengah itu.            “Bantuin apa?”            “Bantuin gue balikan sama Saka. Gue sayang sama Saka, Kak. Kak Lintang deket kan sama Saka?”            Benar kan tebakan Lintang? Ini semua hanya tentang bocah ingusan. Hei, kenapa Lintang harus membantunya di saat nyawanya sendiri sedang dalam bahaya. Ayolah, di  luar sana Ali sedang berusaha melindunginya entah dengan cara apa, tapi disini? Lintang dimintai bantuan untuk cinta monyet bocah ingsusan?            “Kenapa harus gue?”            “Gue masih sayang sama Saka, Kak. Kalian nggak bener-bener pacaran kan?”            Lintang menggaruk keningnya yang nggak gatal. Jawaban apa yang harus diberikan? Lintang terlalu bodoh untuk urusan percintaan. Dia sendiri selalu gagal, bagaimana caranya dia membantu orang lain?            “Oke. Apa yang bisa gue lakukan?”            “Ini kak.” Karin mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam tasnya, ah pasti dia sedang membolos. Lihat saja, bahkan tasnya masih dipakai. “Tolong kasih ini ke Saka.”            “Kenapa nggak lo kasih sendiri? Kalian sekelas kan?”            Karin menggeleng, menyedihkan sekali wajahnya itu. Sepertinya Karin benar-benar putus asa sampai meminta bantuan dari gadis yang dulu dibencinya. Iya, Karin dulu membenci Lintang kan? Di hari pertama mereka bertemu, Lintang nggak mungkin lupa itu.            “Hari ini Saka ada pertandingan basket di SMA Wijaya. Gue nggak bisa kesana, bisa kasih ini ke Saka kak? Kalo Kak Lintang yang kasih pasti Saka mau menerimanya Please, ya ya ya.” ***            Saka sudah bangun sejak subuh. Pukul enam pagi dia berangkat ke sekolah. Dan setengah jam kemudian dia berangkat bersama Riko dan Iqbal. Mereka nggak bergabung dengan rombongan sekolah untuk berangkat menuju SMA Wijaya. Ada beberapa hal penting yang harus Saka urus. Dan sekali lagi, menjadi murid biasa seperti yang lain adalah mimpi Saka. Dia berjanji pada diri sendiri, setelah urusannya selesai, dia akan menjadi murid biasa seperti yang lain, berangkat naik bus bersama, datang ke sekolah tepat waktu, dan sesekali membolos. Yahh, kurang lebih seperti itulah rencana Saka saat ini.            Riuh sekali pagi itu, tentu pesona ketiga preman SMA Gajah Mada menjadi daya tarik tersendiri bagi murid SMA Wijaya. Bahkan hampir saja mereka lupa kalau Saka CS adalah musuh yang bertandang. Sesekali khususnya kaum hawa keceplosan meneriakkan nama Saka sang kapten basket, walaupun ada juga sih yang meneriakkan nama Riko. Riko yang telinganya seperti punya radar tersendiri, langsung menoleh ke barisan penonton, memberikan kiss jauh pada segerombolan gadis yang membawa spanduk bertuliskan WIJAYA LOVERS.            Pertandingan berjalan sengit. Kedua tim saling menyerang. Saka bahkan sempat kewalahan menghadapi pertahanan SMA Wijaya. Tapi beruntung berkat Iqbal yang memang sebenarnya lebih jago main basket ketimbang Saka, berhasil memasukkan bola terakhir ke dalam ring, menandakan kemenangan SMA Gajah Mada.            Setelah pertandingan selesai, Saka, Iqbal dan Riko izin untuk pulang lebih awal, sebelum para penggemar dadakan mereka mengerubung membuat mereka nggak bisa bergerak kemana-mana. Oke, meski Saka dan Iqbal harus menyeret paksa Riko yang nggak mau melepas ketenaran sementaranya itu. Riko hanya diam cengengesan nggak jelas saat para murid perempuan SMA Wijaya minta foto bersama.            “Yaelah bentaran doang, kapan lagi ada yang mau foto sama gue, Bal!” rengek Riko dibawah tarikan Iqbal yang terus menyeret kerah belakang kaos Riko.            “Mereka itu cuma khilaf, satu jam lagi mereka juga bakalan nyesel udah minta foto sama lo!”            Saka yang mendengar Iqbal serius mengejek Riko hanya bisa terpingkal-pingkal, segera menaiki motornya, memakai helm menuju tempat selanjutnya. Tempat yang nggak seharusnya dia datangi. Karena tempat itu pada akhirnya yang akan menjauhkan Saka dari Lintang. Tempat itu yang akan membuat Saka kehilangan Lintang. Dan tempat itu yang akan membuka jati diri seorang Saka. ***            Sebuah gedung sekolah tua lantai dua. Sepertinya sudah lama gedung itu terbengkalai. Banyak ilalang yang tumbuh di halaman depan, nggak akan ada yang berpikir tempat itu dihuni orang. Bahkan setiap pengendara yang melintasi jalan depan gedung itu selalu bergidik ngeri.            Tapi siang itu Saka cs dengan menaiki motor masing-masing, mereka memasuki halaman gedung sekolah itu. Memarkirkan motor mereka di dalam gedung lewat pintu utama yang sudah rusak total.            Tanpa banyak bicara, diikuti Iqbal dan Riko, Saka langsung menuju lantai dua. Wajah jenaka Saka memudar begitu melihat seseorang yang sudah berdiri dicekal kedua tangannya oleh dua laki-laki bertubuh kekar. Raut mukanya berganti senyum dingin, matanya yang hangat berubah tajam. Aura Saka berubah drastis. Kedua laki-laki itu menunduk sekilas memberi hormat begitu Saka berada di hadapan mereka.            Helaan napas Saka terdengar menggema di seluruh penjuru ruangan. Pelan dia mendekati seseorang yang tengah dicekal itu. Meraih dagu orang itu yang mukanya sudah babak belur. Darah segar mengalir dari sudut bibir orang itu.            “Mau sampek kapan lo meremehkan gue?” tanya Saka pelan.            Bukannya menjawab orang itu meludah, hampir saja mengenai wajah Saka.            “Nggak mungkin Papa pilih gue kalo mudah lo kalahin.” Monolog Saka, kali ini dia mengisyaratkan kedua laki-laki bertubuh kekar itu melepas cekalan mereka. Gantinya Saka menangkap lemparan tongkat bisbol dari Riko yang sejak tadi berdiri di belakang Saka.            Satu pukulan keras mendarat di kaki kanan orang itu, membuatnya seketika tersungkur.            “Itu untuk kelancangan lo menjebak gue dalam penculikan Tiara!” ucap Saka penuh penekanan. Amarahnya memuncak, tatapan Saka semakin beringas, menarik orang itu berdiri dan kembali memukul kakinya. Kali ini kaki sebelah kiri. Lagi-lagi orang itu terjatuh.            “Itu untuk kelancangan lo mencuri brankas, berusaha merebut Gedung Tua dari gue! Dan ...”            DUGGG            Saka memukul tepat di punggung orang itu, darah segar mengucur dari mulutnya.            “Yang terakhir, itu untuk kelancangan lo karena berusaha menculik Lintang. Lo nggak akan pernah bisa merebut punya gue!”            Kali ini orang itu tertawa. Tawanya semakin kencang, membuat tubuhnya bergetar, perlahan berusaha bangkit. Tapi Saka langsung menendangnya, menginjak telapak tangannya sampai berdarah.            “Punya lo? Sejak kapan? Sejak kapan anak pungut jadi Tuan Muda Yachio?” cerca orang itu malah membuat Saka semakin keras menginjaknya.            Saka semakin geram. Selama ini dia berusaha untuk nggak menyentuh orang itu. Selama ini dia berusaha untuk menyembunyikan jati dirinya. Menahan setan yang bisa meledak kapan pun dalam dirinya. Saka masih bisa menahan saat dituduh sebagai dalang penculikan Tiara. Saka masih bisa diam saat incarannya lebih dulu diambil oleh orang itu. Tapi Saka nggak bisa tinggal diam saat orang itu berusaha mencelakai Lintang.            “Wajar saja kalau papa nggak pernah mau jadiin lo sebagai penerusnya. Bahkan lo nggak bisa melindungi brankas itu. Gue anak pungut?” tanya Saka nyaris tertawa, “Apa yang lo maksud gue anak pungut, adalah karena gue berhasil merampas semua punya lo?” Saka mengangguk, seolah sudah mendengar jawabannya. Saka memindahkan kakinya dari tangan orang itu. Kembali mengayunkan tongkatnya ke tubuh orang itu.            “Tindakan lo patut diacungi jempol. Berkat lo gue nggak perlu susah-susah mengambil brankas itu. Dan berkat lo juga, si anak pungut ini akan semakin dipercaya untuk menjadi Tuan Mudah Yachio, penerus Yachi Dragon. Terimakasih.”            “Gue ... nggak ... akan, bi ... ar ... in itu terjadi! GUE AKAN HABISIN LO SAKA!”            PLAKKK            Bogeman keras mendarat ke wajah orang itu. Saka meninjunya, mencengkram dagu orang itu kasar, “Dan sebelum itu terjadi, gue yang akan bikin lo bungkam untuk selama-lamanya! Nggak akan gue biarin orang yang berusaha mengganggu Lintang hidup dengan tenang! Lo denger? Lo akan mati di tangan gue sekarang!”            “Sa ... ka, apa yang lo lakuin?”            Nggak pernah ada yang salah dengan cinta. Setiap orang boleh merasakannya. Nggak memandang usia. Nggak memandang kasta, bahkan nggak memandang orang yang sehat atau orang yang punya gangguan mental. Saka punya rasa takut saat tiba-tiba orang mengambil potretnya tanpa ijin. Dia bisa berubah jadi brutal, marah dan menampar pencuri fotonya. Tapi Saka juga bisa berubah jadi manis saat bertemu orang yang dia sukai. Dia bisa terlihat seperti remaja lain yang tengah kasmaran. Nggak akan ada yang pernah tahu, kalau bocah ingusan yang selalu menempeli Lintang kemana pun, adalah seorang phsycho dan menjadi penerus keluarga besar mafia.            Tangan Saka mendadak gemetar. Dia usap darah yang tadi sempat menciprati pipi nya. Menoleh perlahan ke arah sumber suara. Kedua sudut bibirnya tertarik kaku, berdiri menghampiri orang yang memanggilnya tadi. Tapi orang itu melangkah mundur, takut-takut saat Saka menghampirinya.            “Hai, ...” sapa Saka tersenyum melambaikan tangannya yang kotor penuh noda darah. “Kenapa lo bisa ada disini, Kak? Lo ngikutin gue?”        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD