Vanessa masih fokus pada langkah kaki yang pelan ketika Park Richard mendekat dan memanggil namanya. Dia terperanjat, kaget akibat laki-laki itu memanggil tepat di samping telinganya.
Sangat dekat.
Jika saja dirinya mempunyai ilmu bela diri, sudah pasti refleksnya akan sangat terlatih. Lalu, laki-laki itu akan kapok melakukan hal tersebut kepadanya. Sayangnya, dia hanya bisa berteriak sambil memegang tasnya erat-erat di depan d**a, dengan mata yang terbelalak.
Beruntung, high heels setinggi lima senti meter yang dia kenakan tidak patah. Kalau patah, benar-benar sial dirinya hari ini. Setelah bertemu orang yang telah membuat hatinya berantakan, dibuat terkejut oleh orang, masak alas kakinya harus patah juga?
Syukurlah, hal itu tidak terjadi.
Meski begitu, Vanessa tetap kesal setengah mati. Begitu melihat orang yang membuatnya terkejut justru tersenyum lebar. Dia naik pitam. Kepalanya dipenuhi sumpah serapah yang mau tidak mau, harus ditahan. Demi keberlangsungan hidupnya sebagai anak bungsu Asmawarman.
Beruntung sekali, otaknya masih bisa Vanessa gunakan untuk mengingat bahwa laki-laki ini adalah klien penting di hotelnya. Jika tidak, dia tak bisa membayangkan seberat apa hukumannya nanti karena telah mengacaukan kerja sama dengan caci maki terhadap sang klien.
Alih-alih mengucapkan sumpah serapah, Vanessa menyapa Park Richard dengan senyum yang kentara sekali sangat dipaksakan.
"Mister Park. Saya kira siapa. Anda membuat saya terkejut."
Penuh penekanan.
Vanessa mengucapkan sapaannya dengan penekanan penuh, agar sang klien mengerti bahwa perbuatannya berhasil membuat dia marah.
Senyum Park Richard menghilang. Digantikan oleh tangan laki-laki itu mengusap tengkuk. Canggung karena mendaat respons yang snagat dingin dari perempuan yang dia sukai itu.
"Maafkan saya, Miss Vanessa."
Gampang banget minta maaf. Vanessa menggerutu. Tentu saja, dalam hati. Dia sedang menahan diri agar tidak keceplosan, karena takut akan mengacaukan kerja sama yang terjalin di antara mereka. Bisa habis diocehi Mada jika sampai itu terjadi.
Perempuan itu memaksakan senyum (lagi). "Tidak apa-apa. Lain kali, tolong lebih berhati-hati saja."
Bagaimana pun, dia harus memberi tahu bahwa perbuatan kliennya itu salah. Kalau boleh, Vanessa akan memberi tahu dengan kata-kata pedas yang penuh dengan caci maki. Sayangnya, tidak bisa.
"Terima kasih."
Vanessa mengangguk.
"Ngomong-ngomong, ada apa, ya?"
"Ah!" Park Richard menepuk tangan satu kali. Gesture yang biasa dia lakukan jika ada sesuatu uang terlupa. "Tidak ada."
Dahi Vanessa mengerut.
"Maksud saya, tadi kebetulan saya lihat Miss Vanessa sedang jalan sendirian. Jadi, saya ikuti saja."
Tidak masuk akal.
Mengerikan.
Kenapa seorang klien mengikutinya hanya karena tidak sengaja melihat?
Sungguh. Buat Vanessa, itu sangat mengerikan.
"Maaf?"
"Oh, maaf. Tolong, jangan berpikiran aneh-aneh. Saya tidak berniat jahat."
Tetap saja. Vanessa tidak bisa menerima alasan apa pun. Baginya, lebih baik dipanggil begitu sang klien melihatnya, daripada diikuti seperti ini.
Kayak penguntit aja, gerutunya dalam hati.
"Saya duluan kalau begitu."
Vanessa memutuskan untuk berlalu saja, daripada harus meledak di hadapan orang penting.
Ganteng-ganteng kelakuannya kayak penguntit, gumamnya lagi. Perempuan itu tidak berhenti mengucapkan kalimat-kalimat kutukan atas perlakuan seorang Park Richard. Akumulasi dari rasa kesal yang dia rasakan sejak bertemu Raditya di restoran tadi.
Ah, ngomong-ngomong soal Raditya. Vanessa tidak habis pikir. Kenapa laki-laki itu mau membuang waktu hanya untuk menghampiri dan mencaci maki dirinya? Jika berdasar pada rasa sakit hati, dirinya juga sakit hati.
Hatinya patah berkeping-keping. Dua kali lebih hancur, karena yang mengkhianati dirinya tidak hanya seorang pacar. Sahabatnya pun berkontribusi. Menambah kepingan yang sudah hancur, menjadi lebih lebur.