Pratamada menunduk dalam-dalam, merenungi keputusan yang telah dia buat untuk Vanessa, sang adik. Kepergian perempuan itu semakin dekat. Tinggal beberapa hari lagi. Meskipun sudah ada Dirga yang bersedia dimintai tolong untuk menjaga sekalis membantu Vanessa menjalankan pabrik tersebut, Mada tetap merasa ragu. Apakah dirinya benar-benar bisa melepas adik kesayangannya ke luar kota? Apakah keputusan ini sudah tepat?
Vanessa tidak pernah memegang bisnis selain hotel. Sejak belajar pun, dia lebih fokus pada manajemen perhotelan, karena sudah ada mandat dari orang tua mereka, agar si bungsu belajar perhotelan. Sekarang, seorang Pratamada melemparnya ke bisnis garment yang tidak pernah dia pelajari sama sekali.
Suara pintu kamar yang berderit, membuyarkan renungannya. Kedua tangannya melebar, meminta Karin yang baru saja masuk, untuk memeluknya. Setiap orang dewasa mempunyai sisi kekanakannya masing-masing, dan inilah bentuk anak-anak dalam diri Mada. Laki-laki itu akan meminta pelukan dari sang istri jika kepalanya terlalu penuh oleh pikiran-pikiran menjemukan.
Karin tersenyum simpul, lalu bergegas meraih sang suami ke dalam pelukannya. Tangannya refleks mengelus-elus kepala laki-laki yang tidak pernah kekurangan dalam memberinya kasih sayang itu.
“Mau cerita?” tanya Karin.
Mada mengembuskan napas secara pelan-pelan. Alih-alih menjawab pertanyaan dari sang istri, laki-laki itu mengeratkan pelukannya. Meminta kekuatan lebih dari hangatnya pelukan dan wanginya aroma tubuh seorang Karin.
“Ya, udah.” Karin tersenyum, mengerti bahwa sang suami masih belum mau bercerita. “Kalau udah siap, boleh cerita. Kasih tahu aku aja, ya, Mas.”
Pratamada mengangguk. Bagaimana pun, laki-laki itu tidak bisa menyembunyikan apa yang dirasakannya terlalu lama. Meski membiarkan dirinya siap, sang istri selalu mempunyai cara untuk membuatnya, mau tidak mau, siap tidak siap, bercerita.
Dia beruntung, karena apa pun yang dia ceritakan, tidak pernah mendapat respons yang menghakimi. Karin selalu menjadi pendengar yang baik, dan menjadi pemberi solusi yang hebat jika diminta. Sama sekali tidak pernah menasihati jika dirinya tidak meminta hal itu. Benar-benar hanya mendengarkan sambil memberi gesture menenangkan.
Karin selalu membuatnya bertambah jatuh cinta pada setiap perilaku yang ditunjukkan. Sekali lagi, Pratamada merasa benar-benar beruntung telah berhasil meluluhkan hati perempuan itu.
***
Berada dalam ruangan kerja terus-menerus membuat Vanessa merasa frustrasi. Keberangkatannya ke Sukabumi tinggal beberapa hari lagi. Ingatan itu membuatnya semakin dilanda rasa frustrasi. Terkadang, ketika sudah terlalu penat dengan pekerjaan, dirinya ingin berteriak di hadapan Mada, meminitanya untuk membatalkan titah paling menyebalkan itu.
Vanessa tahu, dirinya sangat bersalah, karena menyalahgunakan jabatan yang sedang dia pegang. Memecat karyawan terbaik atas dasar urusan pribadi memang jauh dari perilaku profesional. Akan tetapi, setega itukah Mada padanya?
Perempuan itu menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya secara kasar. Pada akhirnya, ketika jam menunjukkan pukul lima belas, Vanessa tidak bisa lagi menahan lapar yang sudah dia tahan sejak tadi siang. Dia pun memutuskan untuk menunda sebentar pekerjaan yang masih harus dia selesaikan, lalu bergegas ke tenpat makan yang biasa dia sambangi.
Untuk mengisi perut dan energi yang telah terkuras begitu banyak.
Sial memang tidak dapat diadang. Bukannya mendapat ketenangan, Vanessa justru bertemu pasangan yang telah membuat dunianya jungkir balik dalam sekejap. Pasangan yang pernah begitu dengan dirinya. Pasangan yang telah mengkhianati seluruh kepercayaan yang telah dia tanam dalam masing-masing hubungan dengan keduanya.
Vanessa memutuskan untuk segera keluar dari tempat itu. Akan tetapi, lagi-lagi, sial memang tidak bisa dia hindari. Salah satu dari mereka telanjur melihatnya, lalu memanggilnya.
Tanpa beban.
Seolah-olah tidak pernah berbuat salah sedikit pun.
Hati Vanessa semakin memanas. Dia tidak mau berhenti. Membiarkan orang itu mengejar dan menahan lengannya, yang langsung ditepis olehnya.
“Apa-apaan, sih, lo?” bentaknya.
Raditya, orang yang mengejarnya, tersenyum meremehkan. “Masih marah sama gue? Susah move on, hah? Mecat gue nggak bikin sakit hati lo lenyap?”
Darah Vanessa terasa mendidih seketika. Raditya sungguh-sungguh telah melukainya sedemikian rupa. Namun, bukan kata maaf, justru kemarahan dari laki-laki itu yang dia dapat.
Dia mengakui perbuatannya sangat salah. Akan tetapi, melihat Raditya yang seperti ini, tidak ada penyesalan lagi yang tersisa dalam diri seorang Vanessa. Bahkan jika dirinya harus berada di Sukabumi lebih lama, penyelasan itu tetap tidak akan dia rasakan.
Bagi seorang Vanessa Asmawarman, Raditya memang pantas mendapatkan itu.
“Bacot!” Hanya itu respons yang Vanessa berikan.
Raditya tertawa keras. Sangat keras, sampai-sampai membuat beberapa orang yang ada di sana menengok ke arah mereka dengan pandangan menghakimi.
“Nes, Nes. Lo harusnya lebih legowo. Dengan begitu, nggak bakal ada drama yang bikin lo dibuang ke kota kecil segala.”
Vanessa tidak terkejut. Raditya mempunyai beberapa teman dekat selama bekerja di hotelnya. Sudah pasti, laki-laki itu tahu kabar tentang kepindahannya.
“Udah?” tanya Vanessa sinis. “Kalau udah, gue pergi. Gue terlalu sibuk, sia-sia waktu gue kalau buat dengerin ocehan lo doang.”
Perempuan itu berbalik, meninggalkan laki-laki yang baru-baru ini menggoreskan luka begitu dalam. Sebelum pergi, dia memberikan salam perpisahan, yang menurutnya, dapat menyakiti harga diri laki-laki itu.
“Enak, ya, jadi pengangguran. Selamat!”
Nyatanya, ucapan Vanessa itu benar-benar telah berhasil membuat Raditya mengepalkan tangan sambil mencaci makinya dalam hati.
***
Dari restoran tempatnya makan menuju ke kantor tidak terlalu jauh, sehingga Vanessa jarang menggunakan kendaraan jika hanya untuk makan. Berjalan kaki termasuk cara dirinya menyegarkan pikiran dan badan setelah berjam-jam suntuk bekerja.
Di sepanjang trotoar, berbagai jenis tanaman hias menemani langkahnya. Bunga-bunga yang berwarna-warni sangat memanjakan mata yang melihatnya. Termasuk Vanessa. Pohon-pohon besar menjadi penyejuk di bawah sengatan matahari jika berjalan di tengah hari bolong. Sore ini, matahari sudah tidak begitu menyengat, sehingga Vanessa tidak perlu mencari jalan yang teduh.
Perempuan itu berjalan dengan pelan, tanpa melihat-lihat ke kanan mau pun ke kiri. Mengabaikan seseorang yang sejak tadi mengikutinya, dan kini telah berjalan beriringan di sampingnya.
Seseorang itu, laki-laki. Tersenyum sembari menatapnya dengan penuh selidik. Tadi, dia berencana untuk mengunjungi temannya di salah satu gedung perkantoran yang berjajar ini. Namun, begitu turun dari mobil, dia melihat Vanessa berjalan dengan tatapan kosong dan langkah yang lunglai.
Tentu saja, laki-laki itu lebih tertarik untuk melihat Vanessa daripada temannya yang sudah sangat sering dia temui.
Park Richard tertawa setelah kepalanya memikirkan bahwa Tuhan telah menentukan takdir bagi kisah cintanya. Pertemuan ketiga tanpa disengaja. Kata orang, itu takdir. Mereka ditakdirkan untuk bersama-sama.
Bagaimana pun jalannya nanti, laki-laki itu yakin bahwa Vanessa adalah perempuan itu. Perempuan yang ditakdirkan untuk menjadi separuh jiwanya.