Little Thief's POV
Ruang sialan ini akan membuatku gila. Tidak lama lagi. Aku yakin sekali.
Tidak mungkin bisa tahu mengetahui waktu di sini. Apa sekarang sudah malam? Aku tidak tahu. Apa sekarang masih siang? Persetan, aku sama sekali tidak tahu!
Azrael Leviathan Pereira bukan hanya tidak memiliki hati untuk membiarkan aku tinggal di ruangan dengan jendela, tapi iblis itu juga menyita ponselku, mengunci pintu kamar, memperlakukanku seperti narapidana sungguhan. Dan aku sudah muak!
"Siapa pun di luar, buka pintu sialan ini!" Aku kembali berteriak—entah untuk yang keberapa kalinya, aku tidak tahu. Tubuhku merosot ke lantai, kehabisan tenaga, "Aku tidak bisa bernafas di sini." Aku sungguhan tidak bisa bernafas… "Someone... anyone… please..."
Tubuhku terhuyung jatuh ketika pintu terbuka. Tepat di depan sepasang sepatu pantofel hitam yang mengkilat. Aku mendongak untuk melihat siapa pemiliknya.
"Miss Harlow." Panggil dengan mata sebiru lautan, menatapku khawatir, "Anda tidak apa-apa? Apa Anda perlu sesuatu?"
Dengan sisa kekuatan, aku menarik diriku untuk bangkit dengan kedua kakiku. TApi meskipun aku sudah berdiri, leherku masih harus mendongak untuk menatap pria yang tingginya menjulangi diriku.
"Jack is it?"
Aku punya daya ingat yang bagus—jika aku tidak sedang mabuk. Pria ini adalah salah satu pengawal Azrael yang mengantarkan minuman untukku.
Jack masih mengenakan pakaian yang sama saat terakhir kali aku melihatnya, setelan hitam dari ujung kaki hingga ujung kepala. Di telinganya, terpasang earphone berwarna putih transparan. Dari wajahnya yang tajam dan keras, dia terlihat lebih tua dariku, tapi tidak terpaut jauh. Jika usiaku 28 tahun, pria ini bisa jadi di awal 30 tahunan.
"Yes, Miss." Sahut Jack mengangguk, "Ada yang bisa kubantu?"
"Aku butuh udara segar. Ruangan itu membuatku sesak. Apa kau bisa membawaku keluar—ke taman atau kemana saja.”
"Saya turut menyesal, Miss. Tapi saya tidak bisa melakukan itu.” Jack meringis, mata birunya menunjukkan kejujuran, “Mr. Pereira tidak ingin—"
"Persetan dengan keinginannya!" Aku tidak bermaksud berteriak, tapi mendengar nama sang iblis menyulut emosiku, "Aku hanya butuh udara segar—di depan jendela atau dimana saja. Kau tidak perlu takut aku akan melarikan diri. Kau boleh memborgol kaki atau tanganku—aku tidak peduli. Just please... aku butuh udara segar. Karena jika tidak, aku akan bunuh diri di penjara itu!"
Jack terkesiap. Manik biru lautan memandangku penuh kekhawatiran. Untuk beberapa saat dia hanya seperti itu.
"Miss Harlow, saya harus melaporkan ini dulu pada—"
"Please don't!”
Aku mendekat selangkah, tapi Jack reflek mundur. Seolah aku adalah pasien dengan penyakit menular menjijikkan. Tapi kemudian, dari tatapannya aku tahu Jack tidak bermaksud melakukan itu—seolah berada terlalu dekat denganku akan menghilangkan nyawanya dari pelatuk pistol milik orang lain: milik iblis.
Jadi aku kembali mundur.
"Jack, kumohon, jangan beritahu dia. Kita berdua tahu, iblis itu tidak akan membiarkanku mendapatkan ketenangan. Tapi aku bersumpah, aku hanya perlu menghirup udara segar... sebentar saja. Azrael tidak akan menyadarinya."
Untuk beberapa saat, Jake hanya diam. Tatapannya mengamatiku lamat-lamat. Lalu ia bergeser, membuka jalan.
"Ikuti saya, Nona."
Aku ingin menangis saat itu juga—menangis haru bahagia. Mengambil langkah pertamaku mengekori Jack di depan terasa seperti berjalan keluar dari penjara. Jika pelukanku tidak mematikan, aku mungkin akan memeluknya.
"Ada sebuah jendela besar di dekat dapur," Jack menoleh kaku ke arahku, "Apa itu cukup untuk Anda, Miss?"
Aku tersenyum sangat lebar padanya, "Tentu saja!"
Sembari kami menyusuri koridor Azrael's Mansion, aku menyadari jika istana ini sangat menggambarkan pemiliknya. Sepanjang mata memandang, aku hanya melihat koleksi warna yang suram dan kesepian—sofa hitam, karpet hitam, lampu remang-remang. Tapi di saat bersamaan, ada sentuhan emas dan silver di setiap sudut—frame foto, lampu gantung, tempat lilin.
Sedikit elegan—tapi tetap menyeramkan.
"Bossmu punya selera yang menyeramkan, Jack." Aku bergumam sembari menatap ngeri pada kepala rusa yang menggantung di dinding.
Aku menoleh tepat waktu pada sudut bibir Jack yang bergetar, "Selera yang unik, Miss"
"Kau menahan tawa!" Aku menunjuk ke arah bibirnya, "Oh, boy, jika Azrael melihatmu menertawakan seleranya, kau mungkin dalam bahaya."
Jack menghapuskan senyumnya, menggeleng lembut, "Mr. Pereira bukan orang yang seperti itu, Miss. Tuan mungkin terkesan dingin dan kejam, tapi itu semua hanya pertahanan. Dan, karena stress dari kampanye. Jika Anda mengenalnya lebih dekat, Mr. Pereira adalah orang yang... aku tidak bisa bilang hangat, tapi dia cukup lucu, dan baik, dan penuh pengertian. Dia hanya tidak senang menunjukkan sisi itu pada sembarang orang.”
Lucu, dan baik, dan penuh perhatian? Siapa yang Jack bicarakan? Azrael? Like Azrael Leviathan Pereira?
Aku hampir menertawakan omong kosong itu, "Ya, terserah."
Jack berhenti di tengah lorong, tepat di depan sebuah jendela yang tertutup. Aku berhenti di sebelahnya. Hembusan angin menerpa wajahku begitu Jack membuka jendela. Menampilkan pemandangan hamparan lautan dengan air yang membias cahaya orange.
"Wow." Aku terlalu terpukau untuk bisa berkata-kata. Memperhatikan matahari berwarna keemasan yang hampir hilang ditelan lautan. Udaranya segar sekali, aku menariknya hingga memenuhi paru-paru, "Aku tepat waktu."
Saat aku berada di dalam penjara bawah tanah itu, aku mengira aku tidak akan bisa menghirup udara segar lagi. Lalu aku melihat ini—keindahan yang mendebarkan ini—aku ingin menangis karena bahagia.
"Anda hanya punya 5 menit, Nona." Celetuk Jack yang berdiri kaku di sebelahku. Punggungnya menghadap senja.
Jadi, begini kah kehidupanku selanjutnya? Timer menyala hanya karena aku ingin menghirup udara segar sambil memandangi matahari terbenang? Hanya bisa mencicipi manisnya kebebasan, tanpa bisa benar-benar mendapatkannya?
"Begini saja," Kataku, menoleh pada Jack dengan dagu yang menopang pada kusen jendela, "Apa kau punya rokok, Jack?"
"Rokok?" Keningnya berkerut, "Untuk apa Anda membutuhkan rokok, Miss Harlow?"
"Aku akan berdiri di sini, memandangi matahari terbenam, hingga satu batang rokok habis."
"Kau merokok?"
Aku mengangguk, "Apa kau punya? Merek apa saja tidak masalah."
"Tidak, Miss. Kami tidak diperbolehkan merokok saat sedang berjaga."
Aku memutar mata kesal, "Bossmu iblis."
Jack tidak perlu mengatakan apa-apa. Sudut bibirnya yang gemetar sudah cukup untuk menghiburku.
Selama beberapa saat, aku hanya berdiri di sana. Menghirup udara segar sebanyak yang kubisa sembari memperhatikan burung yang terbang bersama kawanan mereka di langit orange.
Bagaimana burung bisa punya hidup yang lebih menyenangkan dari pada aku? Bebas dan tidak sendirian.
"Lima menit-mu sudah berakhir, Nona." Jack terdengar sedih ketika mengatakan itu.
"Boleh aku bertanya sesuatu padamu, Jack?" Aku tidak repot-repot menarik diri dari kusen jendela, "Kenapa Azrael sangat membenci strawberry?"
Aku tidak benar-benar peduli, aku hanya ingin lebih lama di sini.
"Mr. Pereira tidak membenci strawberry, Nona. Strawberry yang membenci Mr. Pereira."
Untuk itu aku tertawa, "Astaga, lucu sekali. Bahkan buah-buahan tak berdosa tidak ingin berurusan dengan iblis itu."
"Nona, kita harus segera kembali." Jake mengingatkan.
Tapi ada sesuatu mengganjal dari ucapan sebelumnya, sesuatu yang pada akhirnya membuatku tertarik.
"Tunggu sebentar," Aku berbalik sempurna menghadap Jack, tidak lagi tertarik dengan matahari terbenam di sebelahku, "Apa maksudmu strawberry membenci Azrael?"
"Nona, kumohon. Kita harus segera kembali jika tidak—"
"Jika tidak apa?" Aku memotong, mendekat selangkah pada tubuhnya yang berubah kaku, "Jika tidak Azrael akan membunuhmu?"
"Benar sekali."
Jantungku berhenti berdebar. Suara itu, berat dan dingin, milik iblis yang akan mengacaukan hidupku—yang tidak akan berhenti sebelum hancur dan tak tersisa.
Aku berbalik menyaksikan, Azrael Leviathan Pereira berjalan keluar dari kegelapan lorong.
"Mr. Pereira." Jack menunduk kaku, "Maaf, Tuan. Nona Harlow hanya ingin menghirup udara segar—"
Sebelum Jack sempat menyelesaikan ucapannya, tubuhnya terhuyung ke lantai akibat hantaman tinju. Kejadian itu begitu cepat, hingga yang bisa kulakukan adalah berteriak.
Sebelah tangan Azrael meraih rahangku, menghentikan teriakanku. Wajahnya begitu dekat denganku saat dia berdesis tepat di depan bibirku, "Sstt, Little Thief."
"Pwease..." Lirihku kesulitan. Mataku buram karena air mata. Azrael merenggangkan cengkramannya hanya agar aku bisa berbicara, "Ple—please… don't kill him."
Azrael menyeringai, "Say my name when you beg for my forgiveness, Little Thief."
Dalam kepanikan itu, aku sama sekali tidak mengerti ucapannya. Azrael mencengkram rahangku semakin erat karena aku hanya diam. Dia mendekat hingga hidungnya menyentuh wajahku, "Panggil. namaku. saat. kau. memohon. ampunanku. pencuri."
Aku mulai menangis, "Please... Azrael."
Saat itulah aku melihat tatapan tajamnya berubah menjadi kelaparan, jatuh pada bibirku, "Good girl."