Little Thief's POV
"Dalam satu malam, kau mendadak jadi cinderella yang pintar. Bagaimana itu bisa terjadi, little thief?"
Tidak aku sangka, berada dalam Range Rover Azrael adalah tempat pertama yang membuat bernafas kembali terasa mudah. Satu jam bersama Gabriel Pereira dan tatapan elangnya adalah satu jam paling panjang dalam hidupku—bernafas jadi begitu sulit ketika matanya selalu mengawasi setiap gerak-gerikku.
"Kecantikan bisa dipoles dengan uang. Tapi kau perlu otak untuk jadi pintar." Aku menarik lepas ikat rambut, menyisir rambutku dengan jari, "Sesuatu yang sudah kumiliki jauh sebelum aku bertemu denganmu, Yang Mulia."
Aku menduga Azrael akan menimpali kata-kataku dengan balasan yang tajam. Tapi ketika menoleh padanya, iblis itu justru memandangku, hanya memandangku. Tidak mengatakan apa-apa untuk waktu yang tidak kuketahui.
Azrael berdehem dan tatapannya tidak lagi padaku. Dan tatapanku tidak lagi kepadanya.
Aku merasakan sesuatu mendarah di pangkuanku. Mataku melotot, "Ponselku!"
Tidak pernah sebelumnya aku melihat benda itu dengan begitu bahagia. Seperti remaja yang mendapatkan ponselnya kembali setelah seminggu disita karena kelakuan nakal.
"Pergunakan dengan bijak." Tutur Azrael, khas bapak-bapak setelah menghukum anaknya. Merogoh saku celana, Azrael mengeluarkan sebatang rokok, sebelum melemparkan kotaknya ke pangkuanku. "Itu juga untukmu. Jika kau mau."
Iblis itu memberiku rokok? Bukan hanya satu batang tapi hampir seluruhnya?
"Kenapa?" Aku tidak bisa menahan diri untuk mendelik curiga, "Karena aku berhasil menipu Gabriel Pereira?"
Azrael berbuat baik seperti melihat iblis membujuk manusia untuk berbuat kebaikan: abnormal.
Iblis itu memutar mata, "Jika tidak mau, letakkan saja di dashboard."
Jadi ini sungguhan?
Senyumku mengembang, "Apa tidak ada yang pernah mengajarimu mengucapkan 3 kata ajaib sebelumnya?”
Azrael memandangku seperti kepalaku mulai tumbuh antena.
“Astaga. Tiga kata ajaib, Azrael. Kau sungguh tidak tau?” Dia hanya diam, jadi aku melanjutkan, “Kau serius? Terima kasih, maaf, dan tolong. Tidak ada yang memberitahumu tentang etika itu?”
Aku yakin Azrael tahu maksud ucapanku. Aku pernah melihatnya melakukan hal itu sebelumnya, pada semua pria-pria yang bekerja di Azrael’s Mansion.
Apa dia hanya tidak tahu cara menggunakannya ketika bersamaku?
Mata hitamnya memutar malas. Alih-alih membalas ucapanku, Azrael menyalakan rokoknya. Asap berbau nikotin menyambar wajahku.
Sialan. Benda beracun itu terlalu nikmat untuk mempertahankan egoku.
Aku mengeluarkan satu batang rokok dari bungkusan di pangkuan dan menempelkan ke bibir. Ketika hendak menyalakannya, baru saat itu aku sadar Azrael tidak memberikan pemantik api untukku.
"Mancis.” Kataku, padanya.
Tanpa menjawab ucapanku, Azrael menyalakan mobil.
“Mancis, Azrael.” Aku meminta lagi. Dia hanya melirikku. Mulai sebal, aku menarik kain bajunya untuk mendapatkan perhatian, “Aku bukan pengendali api, Azrael. Aku butuh mancis untuk menyalakan rokok. Kau sungguh tidak akan memberikannya padaku?”
"Tadinya aku berniat begitu."Baru saat itu dia melirikku, "Tapi lalu kau membuka mulut dan mengeluarkan omong kosong tentang cara berterima kasih dan hal lain yang memuakkan. Aku mengurungkan diri."
"Huh?!" Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mencengkram lengannya ketika iblis itu berniat memasukkan gigi mobil, "Lalu bagaimana aku akan menyalakan rokokku?"
Azrael menyingkirkan jemariku darinya, "Pikirkan dengan otak pintarmu, little thief."
"Azrael!" Kuku-ku menancap di pahanya, "Bagaimana bisa kau membuatku senang dengan memberiku rokok, lalu tidak memberikan mancis? Bahkan iblis tidak sekejam itu, kau tahu?!"
"Aku memang lebih kejam dari iblis, little thief."
Azrael hendak menarik tanganku dari pahanya. Tapi aku menahannya.
"Please?" Kelembutan dalam suaraku mengejutkan Azrael. Dan aku.
Senyum licik mekar di sudut bibirnya. Azrael menempelkan rokok ke bibirnya. Lalu tanpa aba-aba, mencondongkan wajahnya padaku, "Nah."
Aku ingin menarik tanganku dari pahanya untuk menggapai rokoknya, tapi Azrael yang sekarang menahan tanganku.
“What?” Aku sangat-sangat bingung.
Azrael menjawabku dengan menggoyangkan rokoknya. Sadar dengan maksudnya, pipiku berubah panas.
"Kau berharap aku akan menyalakan rokok dengan menyambung apimu? Mulut ke mulut?!"
Jantungku memburu ketika Azrael mengangguk sebagai jawaban.
Kau hanya perlu mendekat sedikit padanya untuk menyulut rokok. Tidak ada yang intim dengan hal itu, Kiera.
Tanpa izin, jantungku menggebu semakin kencang begitu aku mendekat padanya hingga ujung rokokku menyentuh ujung rokoknya. Dari jarak ini, tatapannya membakar tubuhku lebih cepat dari api membakar rokokku.
Dari jarak sedekat ini, aku takut dia bisa mendengar detak jantungku yang memekakkan.
"Thank you." Azrael berbisik, dari sela-sela giginya yang menggigit ujung rokok. "And sorry."
Glek.
Aku tidak tahu yang mana yang membuatku sesak nafas lebih dulu—ucapan terima kasih, atau permintaan maaf, atau suaranya yang gemetar, atau caranya menatapku ketika mengatakan itu.
Azrael lebih dulu menjauhkan diri sebelum aku sempat menemukan jawabannya. Aku bersyukur dia melakukannya. Karena aku tidak yakin jantungku bisa bertahan jika dia terus seperti itu lebih lama lagi.
Mobil Azrael bergerak keluar dari pekarangan Pereira's Mansion, sedangkan aku masih bertanya-tanya apa yang kudengar sungguhan atau hanya halusinasi. Mendadak, aku lupa bagaimana cara menikmati rokok.
Baru setelah rokokku habis, setelah mobil melaju di jalan raya, akhirnya aku bertanya, "Apa kau berharap aku menerima permintaan maaf dan terima kasihmu?"
Azrael berdehem, "Tidak juga tidak masalah. Aku tidak peduli." Suaranya terdengar aneh. Gemetar dan berat.
Buang-buang waktu saja memikirkan ucapannya, hanya untuk mendapatkan balasan seperti itu. Jadi aku tidak mengatakan apa-apa lagi.
Sepanjang sisa perjalan, kami hanya diam. Syukurnya, Azrael tidak menutup kaca jendela mobil. Sehingga aku bisa diam dengan tenang tanpa harus merengek untuk udara segar.
Mobil melambat ketika memasuki pekarangan Azrael's Mansion. Begitu sang iblis mematikan mesin, aku buru-buru meraih gagang pintu. Tapi usahaku untuk segera menghilang dari hadapannya berakhir sia-sia, karena Azrael lebih dulu mengunci pintu.
"Apa kau menerimanya?" Suaranya kecil saat menanyakan itu.
"Apanya?"
"Ucapan terima kasih dan permintaan maaf dariku."
Jadi aku tidak berhalusinasi?
“Ya. Mungkin.” Sekarang suaraku yang terdengar aneh, "Maksudku, ya. Tapi dengan syarat."
"Kau sudah mendapatkan ponsel dan rokok dan lima menit untuk menonton matahari terbenam. Apa lagi yang kau ingin—" Azrael mendadak berhenti. Menghela nafas panjang sebelum melanjutkan, "Apa yang kau inginkan, little thief?"
Untuk itu aku tersenyum, "Aku ingin mengunjungi adikku di rumah sakit.”
"Ini sudah larut."
"Aku hanya ingin bertemu—"
"Kita akan pergi ke rumah sakit, little thief." Nada suaranya berubah tegas dan mengintimidasi, dan… lembut dalam waktu bersamaan, "Tapi tidak sekarang. Sekarang sudah larut dan aku butuh istirahat setelah menghabiskan seharian dengan orang yang aku benci. Kita akan pergi lain waktu, okay?”
Azrael bertanya padaku dengan nada yang lembut?
“Ba—baiklah.” Cicitku, tak mampu menutupi kekecewaan.
Sebelumnya, aku pintar menjaga perasaan. Aku tidak pernah berharap, pada siapa pun. Terlebih kepada Azrael Leviathan Pereira—iblis yang tidak mampu melakukan perbuatan baik.
Tapi masalahnya, kebaikan adalah hal yang berbahaya, hal yang membuat candu. Sekali diberi, rasanya ingin berkali-kali.
Untuk sesaat, mobil itu senyap. Sebelum Azrael menambahkan, "Ada lagi yang kau inginkan?"
Senyumku kembali merekah sebelum bisa kukendalikan. Nah, kan. Candu.
"Apa memungkinkan jika aku diizinkan untuk memasak dan memanggang roti?” tanyaku, takut-takut. “Hanya satu jam saja setiap hari. Dua jam paling maksimal.”
Azrael merengut, "Aku punya chef yang hebat untuk itu."
"Ya, tapi aku tetap ingin melakukannya." Aku bergeser untuk menghadapnya, "Azael, seperti yang kau tahu, aku terbiasa mengerjakan 3 pekerjaan dalam satu hari. Jika tidak menjadi kurir pengantar koran, aku akan bekerja di toko. Dan jika aku tidak di toko, aku akan membuat kue untuk dijual.”
“Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku hanya duduk-duduk seharian menghitung retakan di dinding. Rasanya aku akan mulai gila!" Akuku, sejujurnya. “Jika kau ingin istri yang gila untuk menemanimu ketika kau memimpi San Myshuno, metode pengurunganmu akan berhasil.”
Aku mendekatkan diri padanya, “Tapi, jika kau ingin punya istri yang waras dan tersenyum ramah dan tidak memberimu sakit kepala, kau bisa berhenti memperlakukanku seperti tahanan di rumahmu, Azrael.”
“Aku sungguh tidak punya tempat untuk lari. Dan aku tidak akan lari.” Aku menelan ludah, “Tidak ketika nyawa adikku berada dalam genggamanmu.”
Satu menit penuh Azrael hanya memandangku sebelum berkata, "Kau sungguh mulai pintar bernegosiasi, huh?”
Aku mengedikkan bahu, “Aku cepat tanggap.”
“Dan, mulai sombong juga.” Katanya tersenyum dengan lesung pipi, “Menarik.”
Sekarang aku jadi gugup. Bergeser kembali darinya untuk menempel ke kursi, “Jadi? Apa tawaranku diterima?”
“Kau meminta banyak sekali, little thief.” Azrael tidak memandangku saat mengatakan itu. Tatapannya menengadah, memandangi sesuatu di depan, “Apa kau sadar kau memintaku untuk mempercayaimu bebas berjalan di rumahku?”
“You can trust me, you know?” Bisikku.
“Can I?” Azrael menoleh padaku. Teduh dan dalam. “Trust you, little thief?”
Aku akan menghancurkanmu. Aku akan menggagalkan semua rencanamu untuk memimpin San Myshuno.
“Yes.” Aku berbohong.
Aku tidak tahu berapa lama Azrael menahan tatapannya padaku. Aku terlalu tenggelam dalam kekegelapannya. Hingga aku lupa caranya bernafas.
Setelah satu tarikan nafas, Azrael menjawab. “Oke.”
Hanya satu kata darinya, tapi berhasil membuat tekukku jatuh nyaris menyentuh lantai.
Aku terdiam di sana. Sedangkan Azrael lebih dulu melompat turun, mengitari mobil, dan berhenti di sisiku untuk membukakan pintu.
"Kau serius?"
Aku tidak seharusnya mempertanyakan jawabannya. Iblis itu bisa sewaktu-waktu berubah pikiran. Tapi aku tidak bisa menahan diri.
Azrael mengangguk dan mengulurkan tangan, “Mulai sekarang kau bukan lagi tahanan, little thief. Kau bebas melakukan apa saja di rumahku.”
“Aku bebas?” Pipiku terasa sakit karena tersenyum sangat lebar.
Matanya memutar malas, “Jack akan bersamamu sepanjang waktu. Jadi, jangan berpikir untuk melakukan hal-hal bodoh. Dia adalah mata dan telingaku.”
Kan.
Harusnya aku diam saja dan tidak membuka mulut.
“Cepat, princess.” Azrael menggoyangkan tangannya yang terulur, mulai kesal. “Aku tidak punya sepanjang hari di sini.”
“Oh.” Masih tercengang, aku menyambut uluran tangannya untuk menjadikan tumpuan saat melompat turun dari mobil.
Berdiri di sebelahnya, aku bertanya, “Apa aku sudah berterima kasih?”
“Aku tidak mendengarmu.”
“Well, terima kasih.” Gumamku, bersungguh-sungguh.
"Jangan terbiasa." Azrael mengingatkan, "Aku hanya melakukan ini karena kau menjalankan tugasmu dengan baik."
"Tentu saja, Yang Mulia."
Sekuat tenaga aku mencoba untuk tidak tersenyum, tapi gagal. Azrael di sebelahku, sama sekali tidak terlihat senang.