BAB 10: TERLALU TENANG

1861 Words
Jakarta di malam minggu; padat, merayap dan hingar bingar. Jam di dashboard mobil menunjukkan pukul 22:09 wib. Andra tak bisa menghilangkan senyum di wajahnya, sementara Diana terlelap di kursi kopilot. Sesekali Andra memanjangkan tangan kirinya, membelai surai atau mengelus lembut pipi Diana. Setelah 75 menit berkendara, akhirnya Andra dan Diana tiba di kediaman mereka kembali. Andra tak membangunkan Diana, namun langsung menggendongnya, membuat sang istri terkesiap. “Abang, turunin Diana.” “Tidur aja, istriku.” “Diana berat.” “It’s ok.” Andra terus saja melangkah, tak ada gurat terbebani di wajahnya, seolah Diana seringan kapas. Tiba di kamar mereka, Andra merebahkan istrinya di atas ranjang, sementara ia beranjak ke kamar mandi, membersihkan diri lebih dulu. “Mandi, istriku,” ujar Andra. Bagian bawah tubuhnya hanya terbalut selembar handuk. Ia berjalan tanpa dosa menuju walk in closet. ‘Mengguncang iman banget sih, suamiku!’ ‘Kenapa ya dia belum minta?’ “Istriku?” tegur Andra lagi. “Langsung tidur aja,” ujar Diana, manja. “Ngga! Mandi! Tadi sore kamu udah ga mandi.” “Abang aja yang mandi melulu! Normal kali mandi sekali sehari.” “Oke, kalau kamu ga mandi aku tidur di kamar sebelah.” Diana berdecak, menghentakkan kakinya, lalu berdiri. “Iya, Diana mandi!” ketusnya seraya melangkah masuk ke bathroom. Sepuluh menit kemudian sang istri muncul di hadapannya kembali. Andra menahan diri sekuat tenaga, wangi sabun dan penampilan Diana yang hanya berbalut bathrobe benar-benar membuat insting primitifnya memberontak. Namun sayangnya, wajah Andra yang datar membuat Diana berpikir jika Andra masih belum menginginkannya. Entah apa yang salah, ataukah memang Andra yang belum siap menjalani pernikahan sedalam itu? Diana melangkah kembali, mengenakan piyama dan celana pendek berwarna biru tua, lalu bergabung dengan Andra di atas ranjang. “Abang baca apa?” “Oh, novel.” “Abang suka baca novel?” “Tertentu. Tapi ini bukan punyaku.” “Punya siapa?” “Borne.” “Siapa?” “Teman.” “Cewek?” “Cowok, istriku.” “Diana kira cewek.” “Kalau cewek ga boleh temenan?” “Mmm, ga tau.” “Kenapa ga tau?” Diana menaik turunkan bahunya. Andra melepaskan kaca matanya, lalu meletakkan benda itu dan buku yang tengah ia baca tadi ke nakas di sampingnya. “Besok aku ada jadwal bowling. Sama teman-teman,” ujar Andra lagi. “Oh.” “Aku boleh pergi?” “Ya masa Diana ngelarang Abang?” “Kalau ga boleh, aku bilang sekarang ke mereka kalau aku ga bisa datang.” “Datang aja, Abang. Diana mau nyelesaiin commision work, biar malamnya bisa dikirim ke yang pesan.” “Oke.” Andra mematikan lampu di sisi kirinya, lalu membaringkan diri. Sementara Diana masih lekat menatapnya. “Mau tidur sambil dipeluk?” tanya Andra. Diana terkekeh, namun mengangguk. Ia mematikan lampu di sisi kanannya dan masuk ke pelukan Andra. Entah kenapa dekapan itu terasa begitu hangat. “Abang....” “Hmm?” “Abang sejak kapan tau Diana?” Andra mengeratkan rengkuhannya, bahkan ia menyisipkan satu kakinya di antara kedua kaki Diana. “Waktu kamu jadi model NYFW.” “Abang tau?” “Aku datang.” “Oh ya?” “Hmm.” “Terus?” “Waktu kamu bikin tato, aku lihat kamu keluar dari kafe. Malam itu aku juga bikin tato.” “Oh ya?” tanya Diana seraya mendongakkan wajahnya, menatap Andra. “Iya.” “Makanya Abang tau soal tato Diana?” “Iya. Vino yang cerita.” “Pantas!” “Terus, waktu kamu ngundurin diri dari modeling. Aku shock!” Diana tersenyum, namun senyum itu lambat taun berubah orientasi menjadi lengkungan dengan kedua sudutnya mengarah ke bawah. “Padahal waktu itu perwakilan Cartier lagi minta kami untuk nyariin model. Kami nyaranin kamu, dan saat itu kan kamu independent, kami mau nawarin kontrak. Awalnya mereka mau minta beberapa sesi pemotretan. Tapi tiba-tiba kamu mundur dan akhirnya mereka nanya soal Astrid. Dari situ aku ga tau lagi gimana selanjutnya, mungkin mereka ngubungin Selekta.” “Cartier?” “Hmm.” “Yah, sayang banget....” “Hmm.” Diana terkekeh karena wajah Andra yang terlihat datar. “Tapi seingat Diana, Astrid ga pernah dapat info soal Cartier.” “Mungkin pihak Cartier urung pas tau agensi dia Selekta.” “Kenapa bisa begitu?” “Kamu ngebandingin Arabella dan Selekta tuh kayak langit dan bumi, istriku.” “Sombong!” “Lho serius. Kualitas model kami jauh dari Selekta. Cara kami memanage klien dan model-model kami jauh lebih beradab.” Tawa ringan Diana kembali menyapa pendengaran Andra. Sang istri merubah posisinya, menelungkup seraya menatap suaminya lekat. “Abang....” “Hmm?” “Abang pernah jatuh cinta?” Andra terdiam, mencoba membuka kembali memori percintaannya. “Ga tau.” “Kok ga tau?” “Kayaknya selama ini hidupku datar aja. Yang pasti, dulu aku ga ketemu cewek yang bisa bikin aku lebih betah sama dia daripada sama teman-temanku.” Diana tak menanggapi, menunggu Andra melanjutkan kalimatnya. Jika ada. “Tapi, aku pernah penasaran sama cewek,” lanjut Andra. “Penasaran?” “Kenapa dia memilih independent, padahal kalau dia bergabung dengan agensi yang tepat, dia pasti akan terbang tinggi. “Kenapa dia membutuhkan keberanian? Apa hidupnya dirundung masalah? “Kenapa dia melepas dunianya? Padahal dia terlihat bahagia di depan kamera.” Diana kini terpegun. ‘Itu aku bukan?’ Andra mengangkat kepalanya, menyambar bibir Diana yang sedikit terbuka, melabuhkan ciuman hangatnya hingga posisi Diana kini berada di bawah Andra. “Aku, ga mau jadiin kamu sekedar perempuan yang kunikahi untuk meneruskan keturunan Bhadrika.” “Abang....” “Nanti, kalau kamu sudah mencintaiku, sedikit saja.... Aku akan meminta segalanya.” Diana tak berani menjawab pernyataan Andra. “Kenapa kamu memintaku menikahimu?” tanya Andra kemudian. “Apa karena kamu marah dia ga datang dan kebetulan ada aku yang bernasib sama di sana?” “Maaf, Abang....” “Ga usah minta maaf, akupun mengiyakan dengan salah satu alasan itu.” “Lalu, manfaat apa yang kamu kejar dari aku?” lanjut Andra lagi. “Banyak model yang tau kalau Diana sering gantiin Astrid. Biarpun yang dia alihin ke Diana itu kebanyakan endorse-endorse yang ga perlu kelihatan muka. Kalau di lokasi biasanya pas dia malas dengan scene tertentu. Tapi karena pengaruh Agung, ga ada yang berani bersuara.” “Sebegitu besar pengaruh Agung?” “Dia kan yang menjembatani klien dan model. Kalau kami bikin masalah sama dia, dipastikan ga akan dapat job lagi. Pilihannya cuma keluar dari Selekta. Tapi Abang tau kan, kalau perusahaan-perusahaan sekarang ga mau pakai model independent kecuali emang model itu bagus banget. Terlebih kalau status kami ‘dibuang’ Selekta, udah pasti bakalan susah banget dapat pekerjaan. Sementara hidup model itu costnya tinggi.” “Ya, I know.” “Gitulah. Incase Diana ga berhasil mengambil kembali apa yang sudah mereka rampas, semoga nantinya keberadaan Abang sebagai suami Diana bisa membuat mereka ga semakin melukai Diana.” Andra menghempaskan napasnya, lalu mengusap lembut puncak kepala sang istri. “Kalau memang Agung masih pakai kamu untuk gantiin Astrid, kenapa dia minta kamu mundur? Kenapa ga membujuk kamu untuk gabung dengan Selekta?” Diana terkekeh, sendu. “Itu juga pertanyaan Diana selama ini. Dan akhirnya, saat kemarin Agung ga datang ke pernikahan kami, Diana baru paham.” “Soal?” “Agung melakukan itu supaya Astrid bisa naik. Dulu kan posisi kami terbalik, Bang. Astrid yang dikenal sebagai bayang-bayang Diana. Kalau Diana nolak satu project, pasti penawarannya akan dialihkan ke Astrid.” “I see.” “Sebenarnya Astrid model yang oke banget. Tapi kelakuannya emang sering bikin stress kru. Pemalas, dikit-dikit complain. Pemotretan yang harusnya cuma sejam, kalau sama dia bisa jadi tiga atau empat jam.” Andra kini tergelak. “Model seperti itu ga akan Arabella pakai. Kami lebih baik mengolah dari dasar daripada pakai model pemalas.” “Berasa di atas angin mungkin karena dianak emaskan salah satu petinggi Selekta.” Andra tak lagi menanggapi. Ia memeluk Diana erat, mengelus punggung sang istri hingga akhirnya Diana tertidur kembali. Begitu Andra yakin jika Diana sudah lelap, ia mengurai pelukannya perlahan, menjauh dari ranjang mereka dengan membawa ponselnya. Andra: Udah tidur, To? Tak menunggu lama, pesan singkat itu dibaca oleh Seto, namun bukannya balasan kalimat, justru panggilan suara yang Andra dapatkan. “Kenapa, Ndra?” “Gue ganggu?” “Ngga. Bini gue baru kelar baking. Musti diantar pagi-pagi soalnya, pesanan orang.” “Buat gue dibikinin?” “Iya. Kapan sih Anggi ga ingat sama lo?” “Asiiik!” “Ngapain lo ulang tahunan?” “Ciuman.” “Udah gitu doang?” “Iya, gitu doang. Sama dia bikinin ilustrasi. Liat dong foto profil gue.” “Yang bikin Diana?” “Yoi! My wife!” “Norak lo!” “Biarin! Makin norak makin cepet hatinya dia gue isi.” “Akhirnya jatuh cinta juga sobat gue ini.” “Emang jatuh cinta itu gimana, To?” “Lo tuh terlalu datar sih jadi orang. Sama cewek juga gitu. Asal ada yang nembak dan lo jomblo, main lo terima aja. Abis itu lo diemin! Kemana-mana bawa gue. Makanya lo ga ngerti jatuh cinta tuh gimana!” “Emang gue diemin mereka?” “Lo baru banyak bacot sama cewek ya sama bini lo, bro!” “Oh, gitu ya?” Seto terkekeh geli. “Terus ngapain lo nelpon gue jam segini? Bikin anak sana!” “Nanti.” “Nanti kapan?” “Ga tau.” “Hah?” “Dia masih mikirin Agung.” “Ya makanya lo tancep! Dijamin mikirin lo terus jadinya!” “Gitu ya?” “Si bego! Buruan ada apaan?” “Coba lo cari orang di Selekta yang mau kerjasama sama kita. Suruh stalking si Agung.” “Maksud lo?” “Orang dalam. Lo bayar kek, tawarin apa kek. Ada yang ga beres sama tuh orang.” “Si Agung? Bukan si Fandhi?” “Agung. Tadi siang gue sempat nyari-nyari data Selekta. Itu modelnya mereka ga ada yang grade A lho, To. Tapi kok tender yang mereka dapat banyak yang eksklusif?” “Masa?” “Ya makanya, tadi kan gue baru sekilas nyari tau. Coba dengan keahlian analisis lo, lo cari tau lebih detail. Dan gue rasa lo butuh orang dalam.” “Oke deh.” “Gue curiga si Agung main curang. Dan entah kenapa gue keganggu dengan fakta kalau my wife dulu independent.” “Maksud lo?” “Apa mungkin awalnya Agung deketin my wife biar dia masuk Selekta. Tapi ternyata ditolak. Sementara kabar begitu kan cepat nyebarnya, who knows banyak klien yang minta dia tapi Agung ga bisa ngebujuk my wife.” “Ntar dulu, Ndra. Entah kenapa gue jadi kepikiran si Agung ngejual modelnya, dalam tanda kutip, ke klien?” “Berarti kita sefrekuensi. Atau ada perjanjian under table. Tapi coba lo cek dulu deh. Gue ga mau malah jadi fitnah. Dan siapa tau, data yang lo kumpulin ini bisa dipakai untuk ngelindungin my wife.” “Kenapa begitu?” “Dia terlalu tenang untuk orang yang dikhianatin tunangannya sendiri. Feeling gue, my wife mau bikin masalah sama Selekta.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD