Zanna turun dari mobil Elard, dan membuka pagar gerbang kosannya. Dia melangkah ringan sembari sesekali memutar-mutar badan karena saking 2nd senangnya hari ini.
Namun, tiba-tiba tubuhnya menabrak sesuatu yang keras, dan dia jatuh terpental. Zanna meringis kesakitan karena bokongnya sukses menghantam lantai. Kepalanya mendongak hendak memaki sesuatu yang dia tabrak. Dan ternyata benda keras itu adalah badan Ryan, pacarnya.
"Kamu pulang sama siapa, Za?" tanya Ryan berkacak pinggang. Bukannya menolong Zanna berdiri, lelaki itu malah melotot padanya.
"Sama teman."
"Teman siapa?"
"Ya, teman. Emang kamu nggak tahu arti kata teman," seru Zanna kesal.
Ryan menggeram. "Teman kan punya nama."
"Namanya El, dia teman dari aku sekolah. Puas?" Zanna kemudian bangkit, dan bergerak menuju kamar kosannya. Ryan segera mengekor.
"Tapi dia lelaki, Za," cicit Ryan.
"Ya, terus?"
"Jauhi dia, Za. Aku nggak mau ada orang ketiga di kehidupan kita."
"El nggak mungkin jadi orang ketiga. Jangan berpikir aneh-aneh. Aku sama El itu hanya teman."
Ryan tambah gusar. Dia tidak mudah percaya begitu saja. Sosok yang dia lihat itu memiliki kemungkinan untuk menikungnya. Meskipun sekilas, Ryan bisa tahu kalau lelaki bernama El itu punya kualitas. Dia tidak biasa menilai seorang lelaki. Namun kali ini, kepalanya berpikir lain dengan teman Zanna itu.
"Antipasi. Setelah ini kalian nggak akan ketemu lagi 'kan?" tanya Al mulai protektif.
Zanna membuka kunci pintu kamarnya. "Ya, ketemulah, orang sekarang kami sekantor."
"Hah? Maksudnya?"
"Maksudnya, mulai besok aku udah kerja di perusahaan itu!" Zanna berjingkrak senang. Kemudian dia mengalungkan lengannya di leher Ryan.
"Kamu diterima?" Raut Ryan tampak tak suka mendengarnya.
"Iya, aku udah hubungi kamu mau ngasih tau. Tapi susah sekali."
"Aku kan lagi meeting. Oke, selamat. Tapi aku nggak suka kamu kerja dengan orang tadi."
Zanna memutar bola matanya. "Aku nggak akan melepas kesempatan ini karena alasan kamu itu, Yan. Kamu tau sendiri gimana aku mati-matian mencari kerjaan. Aku nggak mau juga bergantung hidup sama kamu terus."
"Aku nggak pernah permasalahin itu, Za."
"Tapi aku masalah." Zanna menjauh dari tubuh Ryan dan melempar diri ke sofa. Membahas urusan ini tidak akan ada habisnya. Tabungan dia nyaris sekarat. Tapi, dia sama sekali tidak mau menggunakan uang berbentuk kartu kecil yang diberikan Ryan.
"Kamu terlalu idealis dan mandiri. Aku ini pacar kamu, Za. Jangan anggap aku seperti orang lain."
Susah memberikan pengertian pada Ryan soal prinsip Zanna. Dia akan ngotot dengan argumennya.
"Justru itu, Yan. Aku itu cuma pacar kamu, bukan istri kamu."
"Ya udah kalau gitu kita menikah saja."
Zanna langsung diam. Bukannya dia tidak mau, tapi membahas pernikahan selalu terdengar menyeramkan bagi Zanna. Dia takut bosan, takut gagal di tengah jalan. Selama ini, dia selalu mudah bosan dengan pacar-pacarnya. Meskipun dengan Ryan kali ini bisa bertahan hingga dua tahun–rekor pacaran Zanna terlama. Tetap saja dia masih ragu untuk melangkah maju. Padahal usianya juga sudah sangat matang untuk menikah. Teman-teman sebayanya di kampung sudah pada menggendong anak. Hanya dia yang masih saja betah berpetualang.
"Lihat, kamu diam. Apa sih mau kamu? Hubungan kita jalan di tempat, Za. Memangnya kamu nggak ingin menikah." Ryan mulai kesal.
"Aku ingin, tapi...."
"Jangan jadikan takut sebagai alasan, Za. Umur kita sama-sama sudah cukup untuk melangkah ke jenjang yang lebih jauh. Sudah bukan masanya lagi untuk pacar-pacaran. Aku juga ingin memiliki keturunan, Za."
Entah sudah berapa kali Ryan mengajak Zanna untuk memikirkan soal pernikahan. Namun semuanya seakan Zanna anggap angin lalu.
"Ijinkan aku menemui orang tuamu, Za." Ryan duduk berjongkok di hadapan Zanna. Dia bersuara lembut.
"Jangan sekarang, Yan. Aku belum siap."
Dan jawaban Zanna selalu bisa mematahkan semangat Ryan. Lelaki itu mengembuskan napas kasar, lalu bangkit berdiri. Membahas soal ini selalu sukses menguras emosi.
"Ya, sudah. Aku balik ke kantor," katanya beringsut menuju pintu.
Zanna bisa melihat raut kecewa pada lelaki itu. "Yan, aku minta maaf."
Ryan hanya tersenyum kecut, sebelum melangkah keluar. Lagi-lagi Zanna membuat lelaki itu kecewa. Entah apa yang membuat wanita itu ragu pada Ryan. Di antara lelaki yang pernah menjadi pacarnya, hanya Ryan yang sanggup bertahan dengan sikap Zanna yang terkadang cueknya naudzubillah. Lelaki lain mudah menyerah, tapi Ryan tetap berdiri di sisi Zanna, baik ketika wanita itu bahagia maupun sedih. Meskipun pertengkaran kecil seperti ini selalu ada, mereka akan dengan mudah saling memaafkan dan berbaikan.
Bukan kah seandainya mereka berstatus suami istri akan sama saja? Lalu, apa yang membuat Zanna ragu? Bahkan di kampung, orang tuanya sudah sering mendorongnya untuk segera berumah tangga. Tapi lagi-lagi Zanna malas untuk menanggapi.
Zanna menarik napas beberapa kali. Dia cuma minta Ryan bersabar barang satu atau dua tahun lagi. Masa tidak bisa sih? Lagi pula, besok adalah awal Zanna berkarir kembali. Masa sudah mau menikah saja?
***
Biasanya sepulang kerja, Ryan akan datang. Jarum jam sudah menunjuk ke angka tujuh, tapi lelaki itu tak kunjung muncul batang hidungnya. Mungkin Ryan masih marah soal kejadian tadi siang.
Perut Zanna sudah lapar. Dia hanya memiliki beberapa lembar uang untuk ongkos besok pagi ke kantor. Di kulkas mininya cuma ada roti tawar yang hampir kadaluwarsa. Kalau malam ini Ryan tidak datang membawa makan malam, terpaksa dia akan makan roti itu.
Zanna menjatuhkan kepala di atas meja seraya memegangi perutnya. Dia tidak mau menerima uang Ryan tapi mengharap makanan dari lelaki itu. Miris.
Sebuah ketukan membangunkannya. Zanna bergegas menuju pintu dan membukanya. "Aku tahu kamu pasti datang." Dia sudah sangat percaya diri mengatakan itu. Namun, yang terlihat bukanlah sosok Ryan. Melainkan seorang lelaki berjaket hijau yang tersenyum lebar, seraya mengacungkan kantong makanan.
"Delivery order, Mbak," katanya.
"Tapi aku nggak pesan, Mas. Salah kirim." Zanna hampir menutup pintu ketika lelaki itu bersuara lagi.
"Mbak Zanna kan?" tanya orang itu.
"Iya."
"Ini pesanan atas kiriman Mas Ryan buat Mbak Zanna."
Zanna mematung sesaat. Ryan tahu kalau Zanna tidak mau menggunakan uangnya. Maka dari itu dia mengirim makanan. Hanya itu yang mau Zanna terima.
"Oke, terima kasih." Zanna mengambil kantong itu dan menutup pintu kembali. Kemudian dia beranjak duduk di sofanya lagi.
"Dia marah, tapi masih ingat mengirimiku makanan. Kurang baik apa sih dia sama kamu, Za?" Zanna bertanya pada diri sendiri.
Tangannya lantas meraih ponsel, dan menghubungi nomor Ryan. Tersambung, tapi lelaki itu tidak mengangkat panggilannya. Sepertinya Ryan benar-benar marah.
Zanna menghela napas, dan meletakkan ponselnya kembali. Dia membuka makanan dari Ryan. Sekotak nasi dengan ayam katsu lengkap dengan sayurnya. Menu makan malam yang lumayan mengenyangkan. Tanpa pikir panjang lagi, dia langsung menyantapnya.
__________***__________
Huh, tak tahu diri sekali kau Za.