BAB III

1031 Words
Hamparan ladang gandum yang menguning terbentang di sepanjang perjalanan Ben bersama Tamara. Duduk di sebelah kanan bibinya itu, Ben mendekatkan wajahnya ke jendela melihat-lihat pemandangan di sekitarnya. Mobil van tua yang dikendarai Tamara berjalan begitu pelan menambah kenikmatan tersendiri bagi Ben sembari memikirkan ucapan orang-orang yang telah menyakitinya. "Nah, Ben." Bibi Tamara menepuk pundak Ben hingga pria kecil itu menoleh. "Apa kau bisa mendengar suaraku dengan jelas?" sambungnya seraya memeragakkan bahasa isyarat dengan kedua tangannya. Sesekali, Tamara mengajak Ben mengobrol saat jalanan terlihat sepi dengan laju lurus tanpa kelokan. Wanita itu masih berusaha membantu Ben agar keponakannya itu dapat berkomunikasi lancar dengan semua orang. "Aku bisa mendengar dengan jelas, suaramu, Bibi." Dengan suara lirih serta terbata-bata, Ben mulai mengucapkan suaranya lebih jelas dari sebelumnya. Tak lupa, pria kecil itu masih menggunakan kedua tangannya sebagai bahasa isyarat pendukung. Rasa haru dan bahagia tercampur menjadi satu terlihat dari senyuman di raut wajah Tamara. "Tak kusangka, kau sangat cepat beradaptasi." Wanita itu mengusap kening Ben dengan lembutnya. Langit kelabu mulai menyingkap birunya langit di sekitaran ladang. Melalui kaca depan mobil, Tamara melirik ke atas untuk melihat keadaan di luar. "Sepertinya, akan segera turun hujan." Lanjut wanita itu dalam hatinya. Gemuruh guntur mulai terdengar dari kejauhan hingga ke dalam mobil. Kilatan cahaya menyilaukan muncul silih berganti seolah memberikan isyarat akan datangnya badai yang dahsyat. Dengan tergesa-gesa, wanita itu menginjak pedal gas untuk mempercepat perjalanan tiba di rumah. Tak sampai hitungan jam, dia segera menginjak pedal rem. Begitu mendadaknya tindakan tersebut membuat kepala mereka membentur dashboard mobil itu. Tamara terkejut saat melihat badai petir sudah menghadang di depan mereka. Jalanan basah diguyur derasnya hujan. Petir menyambar di hamparan ladang yang begitu luas disertai suara guntur yang menggelegar. Tamara menoleh melihat keadaan Ben. "Sayangku, apa kau baik-baik saja?" Suara lirih terlontar seraya menahan rasa sakit di kepalanya. Ben menoleh. "Apa yang terjadi, Bibi." Wajah pria kecil itu nampak memerah dengan sedikit luka akibat benturan yang cukup kuat. "Ben. Ayo! Kita harus mencari tempat berlindung." Tangan Tamara melepas sabuk pengaman Ben dengan tergesa-gesa. "Kita tidak bisa di dalam sini, atau sesuatu yang buruk dapat menimpa kita," tandasnya. Ben yang masih merasakan kepalanya pening membuatnya mengangguk menuruti permintaan bibinya. Keduanya bergegas meninggalkan mobil dan berlari menuju ke sebuah lumbung yang tidak jauh dari tempat mobilnya berhenti. "Nah, Ben berlindunglah." Di bawah pohon besar yang berada tepat di samping lumbung, Tamara mendekap tubuh kecil Ben yang meringkuk di sampingnya. Tangannya mengusap-usap pundak keponakannya yang masih merasa pusing. "Hei!" Suara seseorang dengan nada tinggi terdengar dari kejauhan. "Sedang apa kalian?" Tamara menengok ke sana kemari mencari sumber suara itu. "Kemarilah, berbahaya berlindung di tempat itu." Seorang pria terlihat melambaikan tangannya dari balik jendela rumah kayu yang tak jauh dari lokasi lumbung. Tamara mulai menyipitkan matanya. Wanita itu berusaha memastikan apa yang dia lihat. "Cepatlah. Badai ini bisa menghantam kalian!" Kini, nada bicara pria itu semakin meninggi bersamaan dengan deru angin kencang yang mulai menyapu dedaunan kering disekitar ladang. Tamara mulai menuntun Ben melewati hembusan angin kencang yang membawa tanah kering menuju rumah pria yang memanggilnya. Tangan kanannya terus berusaha menutup mata Ben agar tidak ada benda asing yang mengenai matanya. "Mari, cepatlah masuk." Seorang Wanita separuh baya mulai membukakan pintu pada Ben dan bibinya. Dia mengarahkan keduanya untuk menuruni ruang bawah tanah bersama dengan pria yang memanggil mereka. "Siapa kalian? Berbahaya berlindung di luar saat badai seperti ini datang," celetuk pria yang memanggil mereka. "Kami tinggal beberapa ratus meter di depan sana." Tamara menunjuk arah rumah mereka. "Namun, melihat pekatnya langit di depan sana, membuat kami memutuskan untuk meninggalkan mobil," jelas Tamara. Suara guntur semakin terdengar dengan jelas. Jendela dan pintu yang bergetar terhembus angin membuat orang-orang yang berada di rubahan sesekali terkejut dengan suaranya. Dinginnya angin dengan suara hujan turun semakin menambah suasana mencekam di dalam sana. "Oh, iya aku Rick, Ricardo Malla." Pria di depan Tamara mengulurkan tangannya untuk berkenalan. "Oh, iya. Aku Tamara ...." Tamara menjabat tangan pria itu. "Tamara Kosovic. dan ini, Ben." Wajahnya menoleh pada Ben yang tengah duduk berpangku tangan. "Dia keponakanku." Ricardo mengangguk. "Tunggu." Kini, dia mengerutkan keningnya. "Tunggu, apa kalian juga petani gandum seperti kami?" tanyanya penasaran. "Ya, aku tinggal bersama keluarga Sanders, orang tuanya." Tangan Tamara menunjuk Ben. "Rick, bersikap wajarlah dengan tamu kita," celetuk wanita separuh baya yang tengah duduk di sebuah kursi. "Maafkan aku, Nek. Aku hanya berusaha membantunya." Dengan nada lirih, Ricardo menjawab ucapan neneknya. Ricardo menoleh pada Tamara. "Maaf, ya untuk sikapku sebelumnya." Dia mengusap bagian belakang kepalanya seraya tersenyum penuh harap. "Tamara!" panggil Nenek Ricardo. Tamara menengok. "Iya, Bu?" "Cucuku memang tak biasa jika berbincang dengan seorang wanita. Tapi, dia orang yang baik. Tadi itu, aku yang memintanya untuk memanggil kalian datang kemari," ujar Nenek Ricardo. Ricardo tersipu malu mendengar ucapan neneknya. Tamara tersenyum. "Iya. Aku memaafkanmu." Tak berselang lama, Ben mulai kejang-kejang. Keadaan itu membuat Tamara dan kedua orang yang tinggal di rumah tersebut panik. "Ben, Ben!" panggil Tamara, seraya melakukan pertolongan pertama pada keponakannya. Sebuah guntur terasa menyambar titik tertinggi yang ada di sekitar rumah. Sontak, suara dan getaran yang dihasilkan, membuat ketiga orang di sekitar Ben terkejut. Reflek, Tamara meringkuk di dekat Ricardo. "Mm, maafkan aku." Tamara segear melepas pegangan tangannya. "Aku tak bermaksud demikian." jelasnya. "Santai saja, aku tidak keberatan dengan itu." Ricardo dengan nada lembut menerima permintaan Tamara seraya berjalan menghampiri neneknya. "Nek! Nenek." Ricardo terus menerus memanggil wanita yang terduduk tak sadarkan diri. Tamara bangkit dari posisinya, dia meninggalkan Ben sejenak untuk memeriksa keadaan nenek Ricardo. "Nek. Bangunlah. Kumohon!" ucapnya seraya melakukan pertolongan pertama. Melihat tidak ada tanda-tanda kehidupan dari nenek Ricardo membuat Tamara berupaya semaksimal mungkin menyadarkan wanita yang telah membantunya. "Maafkan, aku. Rick. Tapi, dia sudah tidak ada." Tamara menepuk pundak Ricardo untuk menyemangatinya. Tamara teringat kembali dengan keponakannya. Dia melirik ke arah Ben. "Ben!" ucapnya terkejut. Wanita itu melihat keponakannya tergeletak lemas setleah selesai kejang-kejang. Untuk memastikan, dia memeriksa beberapa bagian tubuh Ben. "Oh, syukurlah kau masih hangat." Tamara menghela nafasnya sejenak, sesaat setelah merasakan kehangatan dari kening Ben. "B-bibi. A-apa yang terjadi," ucap Ben sembari membuka matanya perlahan. "Nak, beristirahatlah." Tamara menahan tubuh Ben yang berusaha bangkit dari tempatnya berbaring. "Bi. Apa yang sebenarnya terjadi. Aku baru saja meraskaan energi besar memaksa masuk ke tubuhku," ujar Ben.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD