BAB II

1297 Words
Terdengar suara seseorang di atas jembatan. “Halo … halo, Ansel, halo.” Seorang pria berusaha tetap terhubung dengan panggilan telepon bersama keaksihnya. Sesekali pria itu mengetuk-ketuk ponselnya. “Aneh. Kenapa telponnya tidak terhubung.” Pria itu melirik layar ponselnya. “Padahal, sinyalnya penuh. Jaringan data dan pulsa juga masih tersedia. Ah … sudah lah. Aku cari tempat lain.” Pria itu mengeluh sembari berlalu pergi meninggalkan posisinya saat itu. Keluhan pria itu sempat terdengar di telinga Ben. Tak hanya pria itu, beberapa orang yang berlalu lalang di atas jembatan mengeluhkan hal yang sama. Ben mulai merasakan sesuatu yang ganjil terjadi di tempat itu. Karena takut akan terjadi hal-hal buruk, Ben akhirnya pergi meninggalkan lokasinya. Dia pergi berjalan-jalan ke kota untuk menenangkan pikirannya. Di kota, keadaan tak jauh berbeda dengan yang ia rasakan ketika berada di kolong jembatan. Setiap orang yang tengah menelpon, akan mengalami gangguan ketika melewatinya. Ben yang menyadari itu sempat bertanya-tanya dengan dirinya sendiri. “Apa yang sedang terjadi. Apa kota ini sedang dilanda bencana?” gumamnya dalam hati. Pria kecil itu mempercepat langkahnya. Ben merasakan keanehan lain ketika dia melewati beberapa toko elektronik. Televisi yang tengah menayangkan tayangan di layar mendadak hilang berganti layar hitam tanpa suara. “Hei, NAK. Ada yang aneh denganmu!” teriak salah satu pemilik toko yang memaki Ben. Ben tak menggubrisnya, dia tetap melangkah untuk mencari tempat berlindung. Tiba-tiba, perutnya keroncongan. Pria kecil itu berbelok ke sebuah restoran yang ada di sekitar sana. Sebelum masuk, Ben merogoh kantong-kantong bajunya. Hanya seutas tali yang ia temukan. “Duh, lapar. Aku tak membawa uang,” keluhnya dalam hati. Ben pun harus puas melihat orang-orang makan melalui sebuah jendela kaca besar yang terpasang disekeliling restoran. Dari kejauhan, berdiri seorang wanita menggunakan pakaian perawat. Wanita itu melirik ke sudut restoran. “Ben!” ujarnya. “T-tapi, bagaimana dia di sini?” Hati wanita itu terus bertanya-tanya. Hingga pada akhirnya, dia berjalan menghampiri pria kecil yang duduk meringkuk di pelataran restoran. “Ben!” sapa wanita itu dari kejauhan. Ben menoleh. “Bibi Tamara?” ucapnya dalam hati. “Gawat!” Pria itu berusaha lari saat melihat bibinya. “Ben. Tunggu!” Bibi Tamara menegejar Ben hingga akhirnya berhasil menangkapnya. Wanita itu tersenyum saat memeluk Ben. “Hei, kau dari mana, dan … bagaimana kau bisa sampai di tempat ini?” Bibi Tamara mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. Ben tak bisa berkata-kata lagi. Pria kecil itu akhirnya jujur pada bibinya tentang apa yang dia lalui hari itu. Mendengar pengakuan keponakannya, Bibi Tamara merasa iba. Dia membawa Ben untuk makan bersama di restoran itu. Di dalam sana, terjadi keanehan lain. Televisi yang ada di sudut ruangan tiba-tiba hilang sinyal ketika Ben memasuki ruangan. Beberapa pengunjung restoran merasa heran, sebagian mengeluhkannya pada manajemen restoran. Saat itu, Ben dan bibinya langsung menempati tempat duduk tanpa menghiraukan keanehan yang terjadi di sana. “Aneh, kenapa bisa begini ya … padahal televisi tetap menyala, tapi … semua kanal tidak bisa diakses,” keluh seorang karyawan restoran yang mencoba menganalisa gangguan televisi mereka. Duduk dekat dengan televisi membuat Ben bisa mendengar apa-apa saja yang dikeluhkan karyawan-karyawan restoran. “Coba, kau hubungi layanan pengaduan televisi ini!” perintah salah seorang karyawan pada koleganya. Berkali-kali, karyawan yang memegang ponsel itu tak bisa terhubung dengan layanan pengaduan. Sesekali, dia mengecek keadaan di ponselnya. Layar ponselnya menunjukkan sinyal penuh, serta pulsa yang memadai layaknya kondisi normal. Namun, tak sekalipun bisa tersambung dengan layanan pengaduan. Bahkan, tak ada bunyi memanggil saat pria itu mendekatkan ponselnya, hanya suara bising tak karuan yang ada di sana. “Aneh, kenapa bisa seperti ini.” Pria itu mengeluh. “Han, coba kau hubungi layanan pengaduan. Mungkin, ponselku sedang mengalami gangguan,” ucap pria itu pada koleganya. Ben hanya terdiam kebingungan di tengah percakapan antar karyawan di dekatnya. Tak lama, Bibi Tamara kembali dengan membawa beberapa makanan. “Nah, Ben. Sekarang. Makanlah.” Senyum hangat terpatri di wajah Bibi Tamara sembari mengulurkan senampan penuh makanan. “Oh, tidak, Wilson. Ponselku juga tidak bisa menghubungi layanan pengaduan,” keluh Han, salah satu karyawan yang ada di dekat Ben. “Um, maaf, permisi Nyonya,” sapa Han pada Bibi Tamara. Merasa terpanggil, Bibi Tamara akhirnya menoleh. “Ya, Pak. Ada yang bisa kubantu?” “Maaf, Nyonya. Kalau boleh, saya ingin bertanya.” Han merasa gugup saat meminta bantuan pada wanita di depannya. Bibi Tamara mengangguk. “Tentu. Dengan senang hati, katakanlah, Pak.” “Begini, apakah ponsel Nyonya juga mengalami gangguan? Um, maaf. Hanya untuk memastikan saja, sepertinya ponsel kami berdua tidak bisa berfungsi. Kami ragu kalau sekarang sedang ada gangguan masal untuk layanan komunikasi,” papar Han. Bibi Tamara mengeluarkan ponsel dari tasnya. Dia mencoba memeriksa apa yang disampaikan karyawan restoran itu dengan menghubungi Ashley. “Aneh, kenapa tidak terhubung ya,” gumamnya dalam hati. Bibi Tamara kembali menengok kedua karyawan di sampingnya. “Benar, Pak. Ponsel saya juga tidak bisa digunakan untuk menelpon.” Beberapa pengunjung yang ada di sekitar lokasi mendengar ucapan Bibi Tamara. Mereka mengecek ponsel mereka masing-masing hingga tak sampai hitungan menit, keributan terjadi di restoran tersebut. Orang-orang riuh mengeluhkan kondisi ponsel mereka. Beberapa di antaranya bahkan memilih meninggalkan restoran itu untuk mencari tempat lain yang mungkin bisa mengatasi solusi gangguan yang mereka alami. Merasa ada yang tidak beres dengan kondisi restoran, pihak manajemen akhirnya menutup sementara restoran. Mereka mempersilakan para pengunjung untuk meninggalkan lokasi setelah menghabiskan makanan mereka. Merasa bertanggung jawab dengan keributan di sana, pihak manajemen restoran menggratiskan semua makanan yang telah dipesan pengungjung tanpa syarat. Selesai menyantap makanan di restoran itu, Bibi Tamara membujuk Ben untuk kembali pulang ke rumah. Ben sempat menolak karena takut dengan ayahnya, serta, pria itu masih belum bisa menerima ucapan yang disampaikan ibunya. Dengan gigih, Bibi Tamara terus mengajak Ben. Wanita itu berjanji pada Ben akan membantu berbicara pada ibunya. Setelah Ben pergi jauh meninggalkan lokasi, televisi di restoran itu kembali menyala. Para karyawan dan manajemen kebingungan dengan kondisi itu. Mereka merasa, ada sesuatu yang tidak beres dengan pengunjungnya, terutama Ben dan bibinya yang saat itu sebagai pelang-*gan terakhir yang meninggalkan restoran. Manajemen restoran dan karayawannya berusaha mencari tahu data mengenai kedua pengungjung restoran mereka. Melalui tangkapan kamera pengawas di lokasi, pihak manajemen restoran yang merasa dirugikan berusaha melaporkan apa yang mereka alami ke pihak kepolisian setempat. Tidak adanya bukti-bukti nyata terduga melakukan pelanggaran, pihak kepolisian menolak laporan manajemen restoran. Pihak kepolisian setempat menganggap apa yang dialami restoran itu hanya sebatas gangguan alami yang bisa saja terjadi kapanpun dan dimanapun. Dengan begitu, pihak manajemen harus pulang ke restoran mereka dengan tangan kosong. Di tengah rapat yang dilakukan internal manajemen restoran, salah satu karyawan menyeletuk tentang organisasi pengelola dan pemburu manusia super. “Desas-desus yang beredar, belakangan ini banyak sekali laporan manusia super yang terjadi setelah bencana hujan asteroid beberapa tahun lalu.” Karyawan itu mencoba menjelaskan apa yang dia ketahui. “Tapi, aku ingat. Ada sebuah organisasi yang mulai berdiri untuk menangani permasalahan seperti yang kita alami, Pak.” Dengan gigih, pria itu berusaha meyakinkan atasannya. “Apa kau yakin, Toby?” Manajer restoran itu meragukan ucapan karyawannya. “Sepertinya, benar kata polisi. Mungkin saja, yang kita alami hanya masalah gangguan biasa.” Karyawan bernama Tobbias itu merengut mendengar respon dari atasannya. Dia memilih diam untuk mencari tahu sendiri tentang obsesinya yang meyakini ada manusia super yang berperan dalam kejadian yang baru saja terjadi di tempat kerjanya. “Oke, baik semuanya. Hari ini, rapat kita akhiri. Tidak ada peran manusia super dalam kejadian kita hari ini, dan satu lagi … kuharap kasus ini selesai dan anggap kerugian yang kita alami sebagai bonus bagi pengunjung kita. Terimakasih.” Manajer restoran langsung menutup jalannya rapat. Hari itu, beberapa karyawan memilih pulang setelah mendapat instruksi dari atasannya. Sebagian lain, memilih tinggal di lokasi dengan berbagai alasan. Mereka yang tinggal, merasa penasaran dengan apa yang diucapkan Tobbias mengenai peran manusia super. ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD