26 juli 2020
Fransis Lonenlis
Episode 1
Mentari bersinar terang menghangatkan tubuh, menyejukkan hati dan menyehatkan tubuh, tapi tidak untuk tubuh seorang gadis SMA yang masih sibuk dengan selimut yang menutupi tubuhnya, matanya bahkan masih tertutup rapat enggan keluar dari alam mimpi indahnya, mimpi bertemu dengan pangeran pujaan hatinya, hingga dia tidak menyadari seorang pria memandang geram dirinya karena sudah siang waktunya berangkat sekolah tapi masih molor, dasar kebo.
“Sonia…!!! Bangun!”teriaknya. Bagaikan Guntur membela bumi hingga gadis yang Namanya dipanngil itu terlonjak kaget dan seakan ditarik dengan paksa dari alam mimpinya. Sonia terduduk di atas ranjang dengan mata terbuka lebar, pria itu memandang puas hasil kerjanya, membangunkan kebo dari tidurnya. Gadis itu melotot tajam melihat kakaknya dengan seenaknya membangunkannya dengan acara berteriak seakan mereka berada di tengah hutan.
“Apa?! Kau tidak terima aku membangunkanmu?!” tanya pria itu galak. Sonia mencebik, bukannya memintak maaf, kakaknya itu justru memberikan tantangan padanya, pria itu bukannya tidak tau Sang adik yang lagi kesal karena mimpi indahnya terganggu, tapi ia kesal karena baru bangun matanya sudah mencari sesuatu, tepatnya seseorang, dia yakin pasti yang dicari pria yang sudah disukainya sejak kecil.
“Kak Fransis mana?” Tuh kan benar, adiknya sedang mencari pria yang sudah diincarnya, seorang pria yang usianya 11 tahun lebih tua darinya, memiliki kasta lebih tinggi darinya, ia memandang jengah adiknya itu.
“Baru bangun sudah mencari kakak tercintanya,”cibirnya. Gadis itu memicing tajam mendengar sindiran dari kakak laki-lakinya, tapi dirinya sama sekali tidak ambil pusing baginya itu sudah biasa, syirik tanda tak mampu. Sonia segera beranjak dari dari posisi duduknya, dia segera turun dari ranjang dan pergi kekamar mandi tanpa perduli Sang kakak yang masih mencibirnya. Pria itu mengangkat bahunya tidak perduli melihat sikap adiknya yang selalu tidak menghiraukannya kalau sudah menyangku nama pria kesayangannya, dirinya selalu diacuhkan, dia lebih memilih untuk bergabung bersama kedua orang tuanya di ruang makan dari pada menunggu Sang adik yang mandi.
Seorang pria paruh baya terlihat duduk disalah satu kusri meja makan, di tangannya terdapat sebuah koran yang entah apa isinya, disana juga terlihat seorang wanita berusia 50 tahunan yang terlihat sibuk menyiapkan hidangan untuk sarapan, pemuda itu menarik salah satu kusri yang ada disamping ayahny, ia mendudukkan dirinya disana. Tak lama kemudian, Sonia ikut bergabung dengan seragam sekolah yang sudah rapi di tubuhnya, setelah selesai menyipakan sarapan, sang ibu menyajikannya di meja makan. Mereka menikmati makanan dengan suasana hikmat, Sang ibu memandang putra sulungnya yang terlihat begitu lahap dalam menyantap makanannya, seakan dia tidak pernah makan selama setahun.
“Rosi, nanti kamu bawakan makanan ini untuk tuan muda Fransis, ya, sayang?”pinta Sang ibu bernama Ezra lembut. Pria itu mengerutkan keningnya mendengar permintaan ibunya yang tidak masuk akal, pria bernama Fransis itu bukan orang miskin yang setiap harinya hanya memakan oseng kangkong dengan gorengan tempe atau telur goreng, tapi makanan berkelas yang menurutnya sangat tidak menyenangkan. Ia juga berpikir apakah ibunya itu memintanya untuk pergi kekantor dengan membawa rantang makanan? Ini lebih tidak masuk akal lagi, apa jadinya dirinya yang memiliki mimpi menjadi seorang direktur malah mengantarkan makanan menggunakan rantang makanan.
“Maksud ibu, aku harus membawanya menggunakan rangtang makanan begitu?”tanyanya tidak ingin percaya. Ia berharap pemikirannya itu tidaklah benar, bisa kehilangan muka jadinya di depan para karyawan lain. Tapi sepertinya harapannya tidaklah terkabul, wanita itu justru mengangguk sebagai jawabannya, pikirannya langsung mengembara membayangkan kejadian memalukan apa yang nanti akan diterimanya, pastinya tatapan yang berbeda dari mulai mencibir hingga merendahkan akan diterimanya, sungguh memalukan.
“APA?!”teriaknya heboh sukses membuat tiga manusia disitu hampir terkena serangan jantung dadakan, Sang ayah mengelus d**a sangking terkejutnya, sedang Sang ibu menggeleng gemas melihat sikap putranya yang kelawatan lebaynya, Sonia melotot tajam pada kakaknya, dipikir rumahnya berada di tengah hutan berteriak sesukanya, dipikir mereka semua tuli.
“Ibu yang benar saja, ibu lihat-lihat dong! Aku ini seorang direktur, masak bawa rantang,”protesnya tidak terima. Sonia sweet drop mendengar Sang kakak menyebut dirinya sebagai seorang direktur, sejak kapan kakaknya itu menjadi seorang direktur? Yang ada dia hanyalah seorang cleaning service di perusahaan Lonenlis Corporation, hayalanmu terlalu tinggi kakak, pikirnya. Ezra memandang putra sulungnya prihatin, seakan dia ingin mengatakan”Kasihan kamu, nak. Bermimpi disiang bolong jadi seorang direktur.
“Direktur tukang khayal, lulus kuliah saja belum. Cleaning service ngekunya direktur, kasihan banget kakakku ini,”sindirnya pura-pura dengan wajah sok sedih, padahal dalam hati sedang menertawakan Sang kakak. Rosi merengut sebal mendengar cibiran adiknya, tidak bisakah dia sedikit memberikan motivasi padanya, apa salahnya bercita-cita menjadi seorang direktur? Kenapa pula harus mendapatkan cibiran?.
“Maksudku calon,”ralatnya. Sebel deh punya adik menyebalkan seperti itu, keluarganya juga begitu tidak ada yang memberikan dukungan padanya. Sonia tersenyum geli mendengar balasan jawaban kakaknya yang meralat ucapannya sendiri, sedang Ezra tersenyum penuh pengertian melihat sikap putranya yang ngambek hanya karena cibiran adiknya, sementara itu Sang ayah memilih tidak ikut terlibat dalam perdebatan mereka, dia lebih memilih menikmati sarapan paginya.
“Sudalah Rosi, lagi pula tidak mungkinkan ibu menyuruh Sonia yang mengantarkannya, sayang. Dia,’kan, harus sekolah, jadi kau tidak boleh menolaknya, kau tidak ingin jadi anak durhaka,’kan?” Hibur Ezra berusaha menengahi perdebatan kedua anaknya, sekaligus sedikit memberi peringatan pada putra sulungnya agar bersedia menuruti perintahnya. Air muka Rosi benar-benar tidak bisa ditebak, dalam hati ia sungguh dongkol, bisa-bisanya ibunya menggunakan kata’anak durhaka’ agar dirinya bersedia melakukan peritah ibunya, dengan terpaksa ia pun mengangguk, dan berakhir dengan senyuman tulus dari Ibunya.
“Sekarang berangkatlah! Nanti kalian telat,”perintah Ezra lembut. Setelah itu, Sonia dan Rosi beranjak dari tempat duduknya tentunya setelah mereka berdua menyelesaikan sarapan. Sebelum kedua anaknya pergi, Ezra terlebih dulu menyerahkan rantang makanannya yang harus mereka bawa kepada putra sulungnya, meski dengan berat hari Rosi tetap menerimanya.
“Ibu, kami berangkat,”pamit Sonia. Gadis itu mewakili kakaknya pamit kepada kedua orang tuanya, matanya melirik Sang kakak yang terlihat sudah berada di dalam mobil CRV putih miliknya, mobil itu adalah hadiah dari pria tercintanya sebagai hadiah ulang tahunnya. Semua orang juga tahu kalau keluarga Sonia bukan keluarga kaya yang kelebihan uang hingga mampu membeli sebuah mobil, bisa dikatakan mereka adalah keluarga sederhana dengan gaji pas-pasan.
Suasana hening menjadi pemandangan perjalanan mereka, Sonia sibuk memandangi jalan raya sedangkan Rosi masih manyun karena membayangkan harus datang kekantor sambil membawa rantang makanan. Gadis itu mengalihkan perhatiannya pada Sang kakak, rasanya ia ingin menertawakan sikap kekanakan kakaknya, kenapa pria itu tidak berpikir positif dan mencari cara lain untuk memberikan makanan itu tanpa harus datang kekantor.