Darma hanya tersenyum saja melihat tingkah Cinta. Darma berbaring di sisi tempat tidur yang lain.
Dan itu membuat tubuhnya tepat berada di.depan pandangan mata Cinta.
Darma menautkan kedua tangan di atas d**a, mulutnya berkomat kamit membaca doa.
"Baca mantra apa sih, mantra pelet ya?" Tanya Cinta tiba-tiba.
Darma tertawa pelan mendengar pertanyaan Cinta, dan ini tawa pertama yang didengar Cinta, sejak mereka tinggal bersama.
"Mantra pelet? untuk apa? Ehmmm ... apa kamu merasa aku pelet Cinta?" Pertanyaan Darma langsung menembus masuk, dan mengacak-ngacak hati Cinta.
Emosinya langsung naik seketika.
"Jadi benar kamu sudah pelet aku?" Tanyanya sengit.
Darma tertawa lagi.
"Aku tidak perlu pelet untuk membuat wanita jatuh cinta, Cinta, tapi sayangnya aku bukan orang yang mudah jatuh cinta, jadi buat apa pelet?"
"Terus mantra yang kamu baca tadi?"
"Itu amalan sebelum tidur, Cinta ...."
Darma menjelaskan tentang amalan yang dibacanya, setiap sebelum tidur.
Cinta menyimak apa yang dijelaskan Darma, dengan mata tidak lepas dari wajah Darma, yang terasa tidak pernah bosan untuk dipandang.
"Jadi jangan pernah berpikir, kalau aku menggunakan ilmu pelet, untuk membuatmu tertarik padaku. Karena perasaan tertarikmu itu, datang dari dasar hatimu sendiri pastinya."
"Apa? Aku tertarik padamu? Iisshh, tidak akan pernah ya!"
"Aku juga berharap, kamu tidak akan pernah tertarik padaku, karena hal itu akan jadi masalah nantinya. Guna bisa memancungku, kalau tahu pacar manjanya jatuh cinta kepadaku."
"Apa? Pacar manja? Aku tidak manja, jangan sembarangan kalau bicara ya!" Cinta yang kesal, memukul Darma dengan guling pembatas wilayah tempat mereka tidur.
Darma berusaha merebut guling dari tangan Cinta, tarik menarik guling terjadi, sampai akhirnya Cinta, dan Darma jatuh dari tempat tidur, ke atas lantai kamar berlapiskan karpet tebal.
Posisi Cinta tepat di atas Darma, wajah mereka menempel satu dengan lainnya.
Darma membawa tubuh Cinta berguling, hingga tubuh Cinta ada di bawahnya.
Darma segera bangkit dari atas tubuh Cinta, diulurkan telapak tangannya, untuk membantu Cinta berdiri.
"Bangunlah, maaf sudah menyentuhmu," katanya lirih, namun masih bisa terdengar dengan jelas oleh telinga Cinta.
Cinta menyambut uluran tangan Darma, dan segera berdiri.
Darma melepaskan tautan tangan mereka.
"Ehmm ... aku mau melihat anak-anak dulu" ujarnya.
"Eh iya, aku mau ke kamar mandi" sahut Cinta.
Darma bergerak, Cinta bergerak berulang kali mereka hampir bertubrukan.
Akhirnya Darma mengalah.
"Silakan" katanya sopan.
"Terimakasih" jawab Cinta kaku.
Cinta melangkah masuk ke dalam kamar mandi, sementara Darma ke luar kamar, menuju kamar tidur si kembar.
--
Sejak kejadian malam itu, hubungan mereka jadi terkesan kaku.
Bicara hanya seperlunya saja, dan itu tidak luput dari penglihatan si kembar.
Usai sholat Isya, setelah seminggu kejadian malam itu.
"Abi cama Umi malahan ya?" Tanya Anggi.
"Tidak! Kenapa Adek tanya seperti itu?" Darma balik bertanya.
"Abi cama Umi enggak pelnah ngomong beldua" sahut Angga.
"Tidak ngomong berdua, bukan berarti marahan Sayang" jawab Darma, dicubi pipi Angga, dan Anggi dengan gemas.
Keduanya beringsut naik, duduk di atas paha kiri, dan paha kanan Darma yang tengah duduk bersila.
Darma mengecup pipi kedua anaknya.
"Abi, pipi Umi na nggak dicium juga?" Tanya Anggi.
Darma, dan Cinta langsung saling pandang.
"Cium Uminya, nanti di kamar tidur saja" jawab Darma.
"Cium cekalang Abi, kita mau lihat" rengek Anggi.
"Umi malu, kalau kalian lihat Abi cium Umi" jawab Darma lagi.
Anggi langsung berdiri, lalu duduk di atas pangkuan Cinta, tanpa diduga oleh Cinta sebelumnya.
"Umi malu ya kalau dicium Abi di depan kita?" Tanyanya, dengan kepala mendongak memberikan tatapan mata polosnya kepada Cinta.
"Iya" Cinta mengangguk.
"Kalau begitu, Umi aja yang cium Abi" kata Angga seakan ingin memberikan solusi.
Darma tersenyum mendengar perkataan putranya.
"Abi cium Umi, dengan Umi cium Abi itu sama saja Sayang" kata Darma lembut.
"Beda dong Abi!" sahut Anggi cepat.
"Beda apanya?" Tanya Darma.
"Kalau Abi cium Umi, hidung Abi kena pipi na Umi, kalau Umi cium Abi, hidung na Umi kena pipi na Abi" sahut Anggi, membuat Cinta tak bisa menahan senyumannya.
"Ayo dong Abi, cium pipi Umi na, Mamah cama Papahnya Diah, nggak malu cium pipi di depan cekolah, kalau Papah na ngantal Diah cama Mamah na ke cekolah" desak Anggi.
"Iya, Abi kan cayang Umi na kan, cepelti Abi cayang kami, ayo dong, Abi Umi!" Angga ikutan mendesak juga.
Darma, dan Cinta saling pandang lagi.
"Ehmmm ... iya, tapi nanti ya jangan sekarang" Darma masih berusaha mengelak dari permintaan si kembar.
"Cekalang Abi!" rengek Anggi.
Cinta menghela nafas panjang.
"Anggi turun dulu ya" pintanya, sambil mengangkat Anggi, dan mendudukan di sebelahnya.
"Umi mau ke mana?" Tanya Anggi, dan Angga berbarengan.
"Katanya mau lihat Umi cium Abi kan?" Tanya Cinta.
"Heengh" angguk keduanya.
Tanpa disangka sama sekali oleh Darma, Cinta mendaratkan kecupan bibirnya di pipi Darma dengan suara 'cup' yang terdengar nyaring.
"Nah sudah kan, ayo sekarang kalian tidur ya" bujuk Cinta.
"Abi lagi cium Umi, ayo Abi, ayo!" desak si kembar.
Darma yang masih belum kembali jiwanya, setelah mendapatkan kecupan tak terduga di pipi dari Cinta, diam tak menjawab desakan anak-anaknya.
Sekali lagi tanpa terduga, Cinta kali ini mendekatkan pipinya ke bibir Darma, dengan suara kecupan dari bibirnya sendiri.
"Sudah kan, ayo tidur yuk!" Cinta meraih tangan si kembar, sementara Darma masih diam tak bergerak, ataupun bersuara.
Angga, dan Anggi mengikuti Cinta menuju kamar mereka.
"Umi bica baca dongeng cepelti Abi nggak?" Tanya Anggi.
"Cerita barbie mau?"
"Mau, mau!" sahut keduanya cepat.
Cinta mulai menceritakan tentang Rapunzel, putri berambut panjang yang hidup di atas ketinggian menara, pada si kembar.
***
Cinta masuk ke dalam kamar tidurnya, setelah si kembar tertidur pulas. Darma tidak ada di dalam kamar, membuat Cinta kembali melangkah menuju musholla.
Di musholla, tampak Damar duduk bersila dengan tasbih di tangannya. Ia melapalkan bacaan berulang kali, seirama dengan jentikan jarinya pada tasbih. Sesekali punggungnya yerlihat ditegakan, seakan ingin mengusir sesuatu yang menyeskan dadanya.
Saat punggungnya tegak, suaranya terdengar nyaring namun berat.
"Astaghfirullah al adzim," itu yang dapat ditangkap pendengaran Cinta, ke luar dari mulut Darma.
Cinta duduk di sebelah Darma, namun Darma tidak menyadari kehadirannya.
Suara Darma terdengar semakin berat, seakan ia tengah menyesali sesuatu kesalahan yang telah diperbuat, dan tengah memohon ampunan dengan apa yang dilapalkannya berulang kali itu.
Cinta masih duduk diam, menunggu Darma menyadari kehadirannya.
Kepala Darma tertunduk dalam.
"Ampuni hambamu ya Allah, aku tahu pernikahan ini salah, aku tahu semua ini salah, aku tahu ... tapi tetap aku lakukan. Ampuni aku ya Allah, Astaghfirullah al adzim ... Astaghfirullah al adzim ...." suara Darma seperti sebuah rintih kesakitan, terdengar di telinga Cinta.
Cinta tidak tahu apa arti dari gumaman lirih Darma.
Cinta beringsut mundur, menjauhi Darma yang belum juga menyadari keberadaannya.
'Sepertinya Darma benar, tidak baik memasuki wilayah pribadinya terlalu dalam, karena baru begini saja sudah membuatku pusing,' batin Cinta.
'Radytia Darmawan, ada misteri apa yang kamu sembunyikan?
Seperti apa masa lalumu, sebelum menikahiku?
Radytia Darmawan, kenapa dirimu membuatku sungguh penasaran?
Radytia Darmawan ....
Si Tukang tambal ban.
Si Tukang sapu jalanan.
Si Tukang ... tukang, hhhhh ....'
Cinta kembali ke kamar tidurnya, dengan nama Darma memenuhi pikirannya.
BERSAMBUNG