Sudah beberapa hari ini, Cinta tetap tidak mau bicara dengan Darma, meski Darma sudah berusaha memulai bicara dengannya.
Tapi meski begitu, Cinta tetap mau ikut sholat berjamaah, bersama Darma, dan kedua anaknya.
Setiap pagi Azwa datang untuk menjemput si kembar, dan sarapan bersama mereka. Setiap hari pula, Cinta menolak untuk sarapan bersama mereka. Cinta memilih untuk tetap di kamar, sampai Azwa, dan si kembar pergi ke sekolah.
Pagi ini Cinta sudah siap untuk pergi kuliah, ketika Darma masuk ke dalam kamar.
"Duduklah, Cinta. Kita harus bicara," ujar Darma lembut.
"Tidak ada yang harus dibicarakan, kita hanya dua orang asing, yang menginap di tempat sama, dan akan segera berpisah, jadi ...."
"Cinta, aku minta maaf, kalau ada kata-kataku yang melukai perasaanmu. Sungguh aku tidak bermaksud untuk itu, berdamailah denganku, Cinta. Kita memang hanya akan tinggal satu atap untuk sementara, tapi setelah ini berakhir, kita akan tetap jadi keluarga, karena kamu akan menikah dengan Guna, dan menjadi saudara iparku," ucap Darma dengan suara lembut, yang membuat hati Cinta luluh juga akhirnya.
Cinta duduk di tepi ranjang, dekat dengan kepala ranjang, sementara Darma duduk di tepi ranjang, bagian ujung lainnya.
"Baiklah aku akan berbaikan denganmu, tapi kamu tidak boleh melarang apapun yang aku lakukan," kata Cinta dengan suara ketus.
"Aku tidak akan melarangmu, selama yang kamu lakukan tidak menyimpang, Cinta."
"Tidak menyimpang? Apa maksudmu?" Suara Cinta terdengar dengan nada tinggi.
"Kamu pintar, kamu pasti mengerti maksudku. Terimakasih sudah mau berbaikan denganku. Aku harus bekerja sekarang, Assalamuallaikum, Cinta." Darma berdiri dari duduknya, lalu meraih jas yang tergeletak di atas tempat tidur, dekat dengan tempatnya duduk tadi. Ia melangkah ingin ke luar kamar, meninggalkan Cinta yang diam terpaku, bagai terhipnotis mendengar 'Assalamuallaikum Cinta' yang diucapkan Darma.
"Menjawab salam itu wajib, Cinta, Assalamuallaikum." Darma yang tidak mendengar jawaban Cinta, berhenti di ambang pintu, menunggu jawaban salamnya dari mulut Cinta.
Cinta tergeragap mendengar ucapan Darma.
"Waalaikumsalam," jawabnya cepat.
Darma tersenyum, tatapan, dan senyumannya sama teduhnya dengan wajahnya, membuat Cinta tidak bisa mengalihkan mata dari wajah Darma.
Darma sudah ke luar dari kamar, tapi Cinta masih diam di tempatnya.
"Assalamualkaikum, Cinta," gumamnya pelan.
Plaaakkk!
Dipukul jidatnya sendiri.
'Kenapa aku bisa berpikir, kalau kata Cinta yang diucapkannya, bukan Cinta namaku, tapi Cinta ... Cinta.
Ya ampun ....
Sepertinya aku harus minum obat penjernih otak, biar pikiranku tidak error seperti ini. Errrr ... Raja Tukang itu kenapa bisa membuat aku terhipnotis, dengan kata sederhana yang ke luar dari mulutnya?
'Assalamuallaikum Cinta'
Errrr ....
Tukang hipnotis!
Tukang pelet!
Eeeeh ... tukang pelet?
Apa aku merasa kepelet? Kalau ya, itu artinya aku su ... no! Tidak, cuma Radyt yang aku suka! Mereka mirip, jadi wajar kalau aku ada perasaan suka, iya kan? Betulkan? Betul dong yaa! Aarrgghhh ....
Lupakan Si Tukang itu sekarang Cinta!
Fokus pada masa depanmu bersama Radyt saja.'
Batin Cinta terus bergejolak tak menentu.
--
Cinta sengaja pulang ke rumah, setelah Isya sudah lewat, ia ingin tahu apa yang akan dikatakan Darma kepadanya.
Bibik yang membukakan pintu rumah.
"Non Cinta mau Bibik siapin makan malam?" Tanya Bibik.
"Tidak Bik, saya sudah makan terimakasih."
"Ya sudah Bibik kembali ke kamar Bibik ya Non."
"Ya, Bik silakan."
Cinta menaiki tangga menuju kamar tidur. Dibukanya pintu kamar, ia tidak sabar ingin melihat reaksi Darma. Tapi Darma tidak ada di dalam kamar. Cinta langsung menuju musholla, tidak ada siapa-siapa di sana. Cinta membuka pelan pintu kamar si kembar. Si kembar sudah tidur dengan nyaman, di atas tempat tidurnya masing-masing.
"Kemana dia? Apa belum pulang dari kantor? Atau ... ya ampun apa peduliku dia kemana," gumam Cinta pada dirinya sendiri.
Cepat Cinta mandi, dan berpakaian, lalu segera naik ke atas tempat tidur, dan menyelimuti tubuhnya, dari kaki sampai ke atas d**a.
Matanya terpejam, tapi pikirannya tidak tenang. Keberadaan Darma menjadi pertanyaan besar di dalam benaknya.
'Ya ampun ....
Apa aku benar sudah kena pelet dia?Dasar tukang pelet!'
Cinta berusaha melenyapkan pengaruh Darma di dalam pikirannya, dan berusaha untuk mengingat saat indahnya bersama Radyt.
Tapi Radyt dalam bayangannya, bermata biru tua, sedang mata Radyt biru terang.
'Aargghh! Tukang pelet, kamu sudah menginvasi khayalanku juga ternyata! Maafkan aku, Radyt, maafkan aku, karena Si Raja Tukang kembaranmu itu, sudah mengguna-gunai aku, sampai wajahmu dalam khayalanku pun tergeser oleh wajahnya.'
Cinta mengibaskan rambut di kepala, seakan bayangan wajah Darma, adalah kutu yang harus dimusnahkan dari atas kepalanya.
Setelah bersusah payah mencari cara agar bisa tidur, akhirnya Cinta bisa terlelap juga.
***
Cinta terbangun saat mendengar handel pintu diputar.
Ia mengintip dari balik bulu matanya, Darma masuk ke dalam kamar, dengan pakaian yang berbeda, dari yang tadi pagi dipakainya.
Cinta memejamkan mata, saat Darma menatap ke arahnya, kemudian mengintip lagi, saat ia yakin Darma tidak menatapnya lagi.
Darma masuk ke dalam kamar mandi, dengan piyama di tangannya, lalu terdengar suara air yang jatuh ke lantai kamar mandi.
Pintu kamar mandi terbuka, dan Cinta kembali mengintip dari balik bulu matanya.
Darma ke luar dengan pakaian lengkap di tubuhnya, dan Cinta baru sadar kalau selama ia tinggal di sini, ia belum pernah melihat Darma bertelanjang d**a.
"Tidak perlu mengintip seperti itu, Cinta, aku tidak akan memintamu untuk membayar, atas apa yang ingin kamu lihat pada diriku," ucapan Darma sungguh membuat Cinta malu bukan kepalang. Wajahnya jadi merah padam, tanpa bisa ia cegah.
"Siapa yang mengintip? Ngapain mengintip? Nggak penting tahu! Lagi pula aku sudah tidur dari tadi kok!"
Darma tersenyum.
"Kalau kamu sudah tidur, bagaimana bisa kamu mendengar kata-kataku?"
"Eehh ... itu, itu ... enghhh, iissh, pembicaraan tidak penting tahu!" Cinta yang merasa kalah, langsung memutar tubuhnya untuk berbaring memunggungi Darma.
BERSAMBUNG