Citra sama sekali tak ada pilihan selain menuruti kemauan dari warga yang memintanya untuk menghubungi kedua orangtua. Jujur saja, dia keberatan. Apalagi saat membayangkan betapa murkanya kedua orangtuanya jika termakan isu tak sedap dari para warga.
Dan benar. Apa yang ditakuti malah itu yang terjadi. Ayahnya, Ferry datang dengan wajah murka lekas menampar pipi sang anak sampai lebam dan keluar darah dari sudut bibir.
“Pa.” Citra mengiris. Tentu saja pemandangan itu membuat semua orang kaget.
“Sini Papa tampar lagi. Dasar anak durhaka. Memalukan.” Ferry sudah gelap mata. Tangannya tergerak untuk menampar Citra lagi tapi ditahan oleh istrinya, Ratih.
“Sabar, Pa.” Tangan lembut itu menyentuh d**a suaminya yang naik turun.
“Papa cukup bersabar atas kelakuan kamu selama ini. Tapi kali ini Papa benar-benar kecewa sama kamu. Papa menye−” Ferry mengusap gusar wajahnya. Tak mampu lagi berkata.
“Papa, menye apa? Menyesal udah punya anak kayak aku? … Ayo Pa, tampar lagi,” pekik Citra menepuk-nepuk pipinya dengan penuh kekecewaan karena kedua orangtuanya tidak mempercayai penjelasannya saat di telpon tadi.
Keributan itu memancing Zayn untuk bangkit dari kursi dan menghampiri mereka.
“Assalamu’alaikum,” ucap Zayn membuat semua orang terdiam. Bahkan tak terdengar lagi bisik-bisikan gosip yang menerpa.
“Wa’alaikum salam.” Ferry dan Ratih menoleh, sontak terkejut melihat guru kajinya.
“Pak Ustadz.”
Zayn tersenyum kecil. “Pak, Bu, saya minta maaf atas kekacauan ini. Ini semua bukan salahnya Mbak ini, tapi semuanya murni hanya kesalahpahaman,” jelas Zayn dengan lembut. Aura kemarahan mereka seketika padam.
“Kita tunggu apalagi? Ini penghulunya sudah datang.” Ternyata Romy sudah tak sabaran sampai sudah menjemput penghulu tanpa disuruh.
“Siapa yang menjadi pengantin prianya?” tanya Ratih masih kebingungan.
“Saya, Bu.” Jawaban dari Zayn mampu membuat kedua orangtua Citra terperanjat.
“Jadi Pak Ustadz yang menolong anak kami?”
Zayn membalasnya dengan senyuman dan anggukan kepala. Padahal masalah semakin pelik tapi Zayn tetap tersenyum seolah tak terbebani dan ini membuat Citra kesal.
“Ma, please! Aku gak mau nikah.” Citra mengatup tangan di d**a, memohon agar ibunya bisa mencegah pernikahan yang tak diinginkan itu. Tapi sayang, ibunya malah mendukung, menarik Citra ke kamar untuk dipakaikan kebaya yang dibawa dari rumah.
“Jadilah istri yang baik, Nak! Mungkin ini terlalu cepat, tapi Mama yakin, kamu bisa bahagia bersama dengan ustadz Zayn. Dia pria baik, Mama lega menyerahkan kamu padanya.” Ratih mengucapkan ribuan rasa syukur dalam hatinya. Meskipun dengan cara tak elegan tapi setidaknya Citra sudah berada di tangan yang tepat.
“No. Aku gak cinta dia. Dan kupastikan ini gak akan bertahan lama,” tekan Citra tak main-main.
“Jaga ucapanmu, Nak! … tapi tidak apa-apa, Mama yakin kamu akan jatuh cinta dengan ustadz Zayn.” Ratih tersenyum penuh percaya diri dan itu membuat Citra kesal.
Tak berbeda jauh dengan Ratih yang tengah menasihati anaknya, Ferry juga menyampaikan permohonan maaf dan harapannya pada Zayn.
“Dialah anak yang sering saya ceritakan pada Pak Ustadz. Keras kepala, terseret pergaulan bebas dengan teman-temannya. Saya malu menyerahkan putri saya yang banyak kurangnya pada Pak Ustadz yang sempurna ini.”
“Saya hanya manusia biasa, tak sempurna dan banyak dosa. Hanya saja saya beruntung karena Allah menutupi aib saya.”
Ferry mengangguk-anggukkan kepala. “Saya harap dengan pernikahan dadakan ini, Pak Ustadz bisa membimbing Citra ke jalan yang benar. Andaipun Pak Ustadz tak sanggup dan ingin menyerah, boleh dikembalikan pada saya.”
Zayn terkekeh pelan. “Pernikahan bukan untuk dipermainkan, meskipun alasan pernikahan menjadi sebuah permainan. Insya Allah, apapun yang terjadi hari ini akan saya terima dengan ikhlas. Saya akan berusaha menjadi suami yang baik untuk Citra, membimbingnya ke jannah-Nya.”
Sama sekali tak bisa menolak, hanya bisa pasrah. Itulah yang dilakukan Zayn—menerima takdir yang sungguh membuat dadanya sesak. Terlalu cepat sampai membuatnya syok.
Obrolan mereka usai ketika Citra keluar dari kamar di dampingi ibunya. Mereka berjalan menuju ruang tengah yang akan dijadikan tempat berlangsungnya akad.
“Saya terima nikah dan kawinnya Citra Humaira binti Ferry Muhammad dengan mahar cincin emas dibayar tunai,” ucap Zayn dengan lancar dalam satu tarikan napas.
SAH … Kata itu terdengar nyaring di telinga semua orang. Banyak yang tersenyum lega atas pernikahan mereka dan ada juga yang menangis pilu karena tidak memiliki harapan lagi untuk bisa bersanding dengan Zayn.
Hanya akad dan doa. Tak ada salam takzim seorang istri pada suaminya ataupun doa dari suami yang dibaca ketika memegang ubun-ubun istri. Citra langsung bergeser, enggan berdekatan.
Bukan pernikahan siri, melainkan pernikahan yang terdaftar di negara. Keduanya menggoreskan pena pada berkas yang sudah disiapkan penghulu lalu diserahkan buku nikah.
Akad sudah selesai, satu persatu dari warga kembali ke rumahnya. Citra yang tak sabaran ingin ikut orangtuanya pulang malah ditinggalkan begitu saja.
“Sialan.” Citra mengumpat kesal melihat mobil orangtuanya menghilang.
“Ayo masuk! kita makan. Kamu pasti lapar,” ucap Zayn merasa kasihan pada istrinya.
Citra terdiam memegang perutnya yang keroncongan. Dia membalik badan lalu berjalan melewati Zayn menuju ke meja makan. Di sana, sudah ada Ahmad dan tiga nasi bungkus di atas meja.
“Buat gue?” tanya Citra pada Ahmad.
“Iya. Sok atuh di makan!” Ahmad bersikap ramah padanya, meskipun dalam hati kecil kesal. Demi menghargai majikannya.
Citra mengambil sendok lalu membuka nasi bungkus. “Gak ada yang lain yang layak di makan?” Dia melihat nasi uduk dengan lauk telur balado, sedikit bawang goreng, kacang gorang, bihun dan kerupuk. Sama sekali bukan selera dia. Biasanya tiap pagi makan roti dengan segelas s**u dan sekarang nasi. Ok juga, tapi lauknya sama sekali tak etis.
“Makan saja yang ada! Gak perlu menatap dengan jijik seperti itu. Kalau tidak mau, sini biar saya yang makan.”
Citra berdengkus, tangannya menggerakkan sendok layaknya seperti ayam tengah mengaruk tanah.
“Hargai makanan kenapa?” Lagi Ahmad berkomentar.
“Ada apa?” Zayn duduk di sisi Citra. Suaranya sangat lembut.
“Bini kota, lidahnya tidak terbiasa dengan makanan kampung,” seru Ahmad.
“Tak ingin makan?” Citra menggeleng. “Mau saya suapi?” Mengangkat wajah menatap Zayn dengan lekat.
“Ada roti?”
“Nanti saya belikan. Sekarang makan yang ada dulu! Kasihan perutmu terus berbunyi.”
Citra tersentak, lekas memegang perutnya yang bersuara. Tak ada lagi drama dia pun kembali menyendoki nasi uduk lalu menyuapi mulutnya tanpa membaca basmallah.
“Baca doa dulu, baru makan,” titah Zayn lembut. Citra melirik Zain sekilas, lalu memutar bola matanya dan kembali menikmati sarapannya.
Zayn hanya menggeleng kepala seraya beristigfar dalam batinnya.
Semoga hamba bisa sabar ya Allah.