Ka-mu?!

1134 Words
Dia memalingkan muka dengan cepat. Hu-uuuh! Aku mengembuskan napas kuat, kesal karena terus dicueki olehnya. Heran aku, orang kok sombong banget. Atau ... masa dia lupa, sih? Baru juga beberapa jam bertemu denganku masa udah pikun. Sungguh membuatku jadi penasaran dia itu lupa atau memang sombong. "Apa Om lupa sama aku?" tatapku. Bibirku melekuk senyum tipis. Yang kuajak bicara terus menatap lurus ke depan, membuatku gedek banget. Lampu tiba-tiba berganti hijau. Motor yang dikendarai Om Reyhan langsung melesat pergi dengan cepat. Aku mengepalkan tangan, lalu meninju udara dengan kuat. Sungguh aku kesal dengan sikap Om Reyhan. Aku yakin dia itu enggak normal. Masa gak tergoda sama kecantikan parasku, sih? Dan seenggaknya kalau dia gak tergoda, nyahut lah sapaanku bukannya diam saja macam orang yang gak pernah kenal aku. Dasar sombong banget! Huh! Aku kembali mengembuskan napas, buru-buru melajukan mobil saat terdengar bunyi klakson bertubi-tubi dari arah belakang mobil yang kukendarai. TIN! TIN! TIN! TIN! Sungguh gak sabaran banget orang lagi kesal, juga. "A-paaa?!" kataku sambil sedikit mendelik saat melihat Naya dan Dini senyum-senyum kecil di jok belakang. "Gak papa, ya kamu lagian, iseng banget jadi manusia." Naya menggeleng sambil senyum. "Es ka es de sok kenal sok dekat banget," imbuh Lila yang sejak tadi sibuk mantengin HP di tangannya. Aku juga mendelik padanya. "Siapa juga yang SKSD, aku itu emang kenal sama dia tau, Lil. Namanya itu Reyhan. Mungkin dia lupa, atau mungkin dia ingat tapi pura-pura gak kenal. Sombong. Sok kegantengan. Padahal--" "Emang ganteng!" Potong Lila cepat. "Iya sih ganteng, tapi sombong banget!" Huh! Aku membuang napas lagi, jangkel tingkat dewa karena tadi terus dicueki Om Reyhan. Sok kegantengan banget disapa gak mau nyahut padahal dia punya mulut. Mulut untuk bicara tapi dia ditanya eh bungkam saja. "Punya mulut tapi diajak ngomong gak nyahut. Moga jadi bisu amiiiiin," kataku yang disambut tawa oleh teman-temanku. Naya dan Dini lagi-lagi tertawa. Aku mendelik jengkel pada keduanya lewat spions dalam. "Doa jelek gak akan dikabulin," kata Naya. "Bener tuh," sambung Dini. "Yup benar." Sambung Lila ikut-ikutan. "Aku heran, deh, ngeliat ekspresi dia yang datar banget. Masa dia gak tertarik sama aku, sih? Gak normal mungkin, ya?" kataku sambil terus mengendarai mobil ke arah taman. "Bisa jadi dia gak normal, juga bisa jadi, kamu kurang cantik baginya, Yu," sahut Dini yang diiringi tawa kecil oleh Naya, aku membuang napas dengan berlebihan. Dini, Naya dan Lila kompak tertawa. Aku mengerucutkan bibir dengan ekspresi sebal, mereka terus saja tertawa, sengaja sekali buat aku tambah kesal. "Kita ke Chandra dulu cari camilan, baru deh ke taman. Naya juga katanya mau beli cokelat. Benar kan, Nay?" Aku menatap Naya lewat spion dalam. Naya mengangguk. "Yup. Si Andika yang ngeselin itu, ada-ada aja permintaannya, sungguh ngerepotin aku. Ingin rasanya kusihir dia jadi patung kecil buat nakut-nakutin nyamuk di kontrakanku deh." "Enak aja kembaranku mau dijadiin patung buat ngusir nyamuk!" Huh! Dini membuang napas dengan wajah ditekuk. Naya tertawa kecil. Naya dan Andika, saudara kembar Dini memang gak pernah akur. Naya, Andika dan Dini di kelas yang sama. Kata Naya, Andika itu ngeselin, selalu buat dia kesal sejak cintanya dia tolak. "Makanya, terima aja gih cinta Andika. Kujamin dia gak iseng lagi," kata Dini. "Nanti bulan dua," sahut Naya. "Wah, beneran? Serius, kan?" Dini terdengar antusias. "Iya, tunggu aja sampai bulan ada dua, baru deh aku mau jadi pacar Andika." "Gak logis banget!" ketus Andini dengan wajah pura-pura kesal. "Nah, semustahil itu aku jadi pacar Andika," sahut Naya tanpa pikir panjang. Aku sesekali tersenyum menyimak obrolan mereka. Sementara Lila sejak tadi fokus dengan HP di tangannya, memandang ke arah Naya dan Dini. Akhirnya, aku menghentikan mobil di depan Chandra. Teman-temanku lekas keluar, aku meraih cermin dari tas tangan, merapikan rambutku yang tergerai dan akhirnya menyusul mereka keluar. Dengan membawa tas tangan mewah yang dibelikan oleh Pak Arjuna, aku berjalan masuk Chandra menyusul Naya, Dini dan Lila, mereka tengah mengambil keranjang belanjaan yang ditumpuk dekat kasir. "Bi-biiiiiiiii." Suara yang familier itu membuatku seketika menoleh ke sumber suara. Semyumku merekah lebar saat melihat Shelin melambaikan-lambaikan tangan. Shelin itu adalah anak Kak Rama, mantan kakak iparku dengan Mbak Lina, kakak pertamaku. Keponakanku yang lucu dan menggemaskan itu berlari kemari. Aku sedikit membungkuk merentangkan kedua tangan lebar, menyongsong Shelin dengan bibir mengulas senyum. Akhirnya, Shelin memelukku, aku mengangkatnya. "Shelin ke sini dengan Nenek apa Papa?" tanyaku dengan tatapan ke wajahnya. Shelin langsung menoleh ke belakang. "Ama, Om." Dia menuding ke arah lelaki yang membuat mataku seketika membola. Dia bersidekap, berdiri gak jauh dariku. "Kamu!" Aku menudingnya. Dia menatapku malas. Seringaian sinis terukir di bibirnya. Apa hidupnya kurang bahagia sampai sinis terus kerjaannya. "Ayo, Shelin, Om antar ke papamu," katanya pada Shelin yang masih kugendong. "Ke mana papanya?" tanyaku ingin tahu. Tangan Om Reyhan menuding ke luar. "Warung padang. Warung sangat ramai. Shelin saya ajak ke sini karena papa dan mamanya ikut bantu melayani pembeli," jelasnya tanpa ekspresi. "Oh, begitu rupanya," kataku sambil menurunkan Shelin. "Apa Om ingat aku?" tanyaku sambil menuding dadaku sendiri. "Aku Ayu. Semalam, kita bertemu di klub." Aku mencoba mengingatkannya. Dia memicingkan sebelah mata. "Tadi siang, aku pinjam uang Om," sambil aku merogoh tas tangan, mengambil dompet lantas mengulurkan selembar seratus ribu masih baru pada Om Reyhan. "Kembaliannya ambil saja," kataku dengan sombong. Dia menyeringai sinis, tanpa mengambil uang dariku, dia menuntun Shelin menuju kasir, mengantre dibarisan paling belakang. Aku langsung membuntutinya. "Kenapa Om gak mau terima? Om udah kaya, kah?" Dia menoleh, ekspresinya tak senang. "Jangan mengikuti saya seolah saya lelaki gampangan." Dia memandangku dengan tatapan merendahkan. Orang-orang yang berbaris mengantri untuk membayar belanjaan mereka menoleh kemari. Sungguh malu, aku, mendengar perkataan Om Reyhan yang asal nyeplos saja. Seenaknya sendiri dia berpikir aku mendekatinya untuk merayu. Padahal, aku mau bayar yang tadi. Sungguh ingin kusepak kakinya dengan kuat hingga dia jatuh. "Aku hanya mau kembalikan uang yang aku pinjam tadi, Om. Ini." Kuulurkan uang padanya. Tapi dia diam saja. Apa dia gengsi karena banyak orang? Aku memutar bola mata. Sepertinya sih begitu, dia malu. Aku bergerak mendekat lalu menjulurkan tangan ke arah saku di bagian d**a Om Reyhan, dia dengan cepat melangkah mundur. "Ada apa denganmu? Sungguh membuat saya takut," katanya, menatapku gak senang. "Aku mau masukin ini ke saku Om." Aku mengulurkan uang padanya. Dia mengembuskan napas, memandang uang di tanganku dan akhirnya menerima uang yang kuulurkan. Aku melipat tangan di d**a, memandangnya dengan penuh ejekan. "Begitu kan enak, jadi aku gak perlu paksa-paksa. Aku tau, kok, cari uang itu susah, apalagi cari uangnya dengan cara menguntit orang dulu baru dibayar." Dia membuka bibirnya seolah hendak bicara, tapi gak bicara. Aku mengibas rambut dengan elegan, melangkah dengan anggun mendekati keranjang belanjaan dan melangkah menjauh. Saat aku menoleh ke belakang, ternyata Om Reyhan gak memperhatikanku. Sepertinya dia memang gak normal. Disaat beberapa lelaki lain memperhatikanku penuh kekaguman, masa dia gak? Aku yakin banget dia itu gak normal. Iya aku yakin dia gak normal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD