"Tolong mengertilah posisiku, Yu."
Aku membuang napas keras. Begitu terus yang dikatakannya. Aku sudah bosan mendengarnya. Mas Ferdi memandangku. Aku menyentak napas keras. Sepanjang perjalanan, aku memilih membisu seribu bahasa begitu pun Mas Ferdi. Sampai akhirnya kami masuk ke lestoran dan duduk di kursi yang dihias bunga-bunga segar pun, kami tetap gak saling bicara. Aku jengkel, merasa hanya dipermainkan jadi ogah ngomong. Mas Ferdi juga sepertinya sengaja mendiamkanku. Mungkin, kami akan terus diam-diaman seperti orang gak kenal jika aku tidak berdeham-deham kecil. Kelemahanku adalah gak bisa marah terlalu lama.
"Lebih baik, aku pergi saja."
"Jangan begitu."
"Kamu yang memulainya, Mas! Kamu ingin bobok denganku, tapi kamu gak mau nikahin aku! Apa Mas hanya ingin permainkan aku?" Todongku tanpa basa-basi. Dia menggeleng cepat.
"Kalau Mas gak segera nikahin aku, mendingan kita putus aja! Karena hubungan ini hanya akan membuang-buang waktuku!" Sentakku.
"Tolong beri aku waktu, Yu. Aku akan memikirkannya."
"Kamu selalu saja bicara gitu, Mas! Katamu dulu, kamu berniat ceraikan Ana. Tapi kamu kasihan sama anak-anakmu jika orang tuanya sampai pisah. Jadi, aku gak nuntut banyak, aku gak masalah kamu gak ceraikan Ana! Dalam Islam gak papa kok laki-laki punya dua istri! Jadi, apa masalahnya?" Aku menatapnya. Aku ingin selalu mengerti posisinya seperti biasanya, tapi kali ini, hatiku begitu sakit. Mas Ferdi seperti sengaja mengulur-ulur waktu. Aku semakin merasa, dia hanya permainkan aku.
Kalau dia benar-benar cinta padaku, kenapa sulit sekali bilang pada Ana bahwa dia akan nikahi aku? Katanya, dia sudah gak cinta pada Ana jauh sebelum mengenalku. Mas Ferdi bilang, hanya aku yang bisa membuatnya senang. Tapi, kenapa gak mau segera nikahi aku? Kalau dia sudah ingin banget tidur denganku, kenapa gak sungguh-sungguh denganku?
Aku menatap Mas Ferdi dan tiba-tiba saja aku merasa sangat sedih. Ini adalah hari ulang tahunku, kupikir aku akan bahagia karena pergi kencan dengan kekasihku tapi nyatanya, aku gak bahagia. Mas Ferdi juga terlihat gak bahagia. Entah penyebabnya karena melihatku sedih, entah karena aku gak mau turuti permintaannya pergi ke hotel, atau karena aku mendesaknya nikah.
"Aku minta maaf. Lupakan sejenak yang tadi dan mari kita berbahagia." Mas Ferdi memandangku. Aku balas memandangnya.
"Apa Mas akan memikirkan permintaanku?" tanyaku, gak berkedip memandang wajahnya yang tampan. Hidungnya yang bangir dan bibirnya yang merah alami sama sekali gak tersentuh rokok. Tangan Mas Ferdi merayapi pipiku dan dengan pelan, dia mengangguk.
"Aku memberimu waktu satu minggu, Mas. Kalau dalam satu minggu Mas gak kunjung bilang pada Ana dan melamarku, lebih baik, kita putus. Jujur aku lelah, Mas."
Mas Ferdi sejenak tampak ragu-ragu, tapi akhirnya mengangguk.
"Mungkin ini memang saatnya kita bersama, Sayang," katanya dengan lirih. Diambilnya gelas di depannya lantas mengangkatnya ke udara. Aku tersenyum dan mengangkat gelasku.
Tuk. Gelas bertubrukan di udara. Aku tersenyum dan menatap lampu hias memancarkan cahaya warna-warni di ruangan ini.
"Terima kasih, Mas. Terima kasih telah menyiapkannya untukku. Aku sangat senang. Senang sekali!" Aku menggeser kursi dengan keras dan mencondongkan badanku, perlahan mencium keningnya. Mas Ferdi menatapku dengan bibir tersenyum lebar. Dua lesung pipitnya yang timbul membuatnya terlihat amat memesona, rambut jabriknya agak acak-acakan, matanya indah dan cemerlang. Ganteng tiada duanya.
HP Mas Ferdi tiba-tiba berbunyi. Aku kembali duduk di kursi, dalam diam memperhatikan kekasihku yang sedang mengangkat telepon.
"Halo? Iya, iya. Ini lagi di jalan. Iya, segera sampai."
HP dimatikannya dan dia memandangku.
"Kita harus segera pulang. Asam lambung Ana kambuh, katanya. Dia muntah-muntah terus."
"Ta ... tapi, Mas."
Aku memandang kudapan di meja yang bahkan belum tersentuh sama sekali.
Tanpa menghiraukan perkataanku, Mas Ferdi berdiri. Aku mengikutinya berdiri sambil menelan ludah dengan susah payah. Rasa sakit menyeruak ke dadaku. Katanya, dia sudah lama hilang rasa pada Ana, tapi kenapa begitu mengkhawatirkan Ana? Apa artinya aku bagi Mas Ferdi? Apa dia hanya ingin mempermainkanku saja?
***
"Kamu terlihat sangat sedih," lirih Lila saat aku masuk ke dalam kontrakan.
"Sangat sedih," gumamku. Masih kuingat jelas wajah Mas Ferdi yang begitu cemas dalam perjalanan pulang tadi. Dia bercerita tiap asam lambung Ana kambuh, seringnya Ana jatuh pingsan. Fisik Ana sangat lemah, katanya.
"Kenapa lagi-lagi aku selalu nomer dua? Dia bilang bahwa dia udah lama hilang rasa pada Ana, tapi kenapa selalu Ana yang dia utamakan?"
"Itu resikomu jadi simpanan suami orang, Yu."
"Tapi Mas Ferdi bilang, dia udah gak cinta pada Ana, La. Gak cinta, tapi begitu cemas saat tadi Ana meneleponnya. Padahal kami sedang kencan, tapi Mas Ferdi buru-buru pergi, seolah aku gak ada harganya sama sekali bagi Mas Ferdi jika dibandingkan Ana."
"Lebih baik, akhiri saja hubunganmu dengan Ferdi itu, Yu. Cari lelaki singel yang menawarkan masa depan, bukan Ferdi."
Aku membuang napas. Dadaku terasa berat. Aku begitu jengkel dan stres.
"Aku lagi bete banget. Main, yuk?" Ajakku.
"Ke mana?" tanya Lila sambil menutup bukunya.
"Metro. Yuk?"
"Ok deh, aku juga lagi bete. Yuk?"
Aku dan Lila pun keluar dari kontrakan. Aku menuju mobil dan naik. Mobil ini kubeli setelah satu Minggu kerja di klub. Tiap berangkat ke klub, aku lebih senang naik taksi online. Lila menutup pintu kontrakan lalu dia melangkah cepat kemari. Aku menurunkan pintu jendela saat melihat Naya dan Dini memasuki gerbang.
Tin tin! Aku membunyikan klakson. Begitu Lila naik, aku mengendarai mobil ke arah Naya dan Dini. Kami sama-sama semester 3, tapi beda kampus. Naya ngontrak persis di sebelahku sementara Dini anak Ibu pemilik kontrakan yang tinggal persis di seberang kontrakan, berada dalam satu gerbang yang sama.
"Ikut, yuk?" Ajakku sambil melongokkan kepala keluar jendela.
"Ke mana?" tanya Naya.
"Nyore, lah, jalan-jalan, beli es boba di taman. Yuk?"
"Tapi anterin ke supermarket nanti, ya?" Pinta Naya. "Ada yang mau kubeli."
"Siip, yuk, naik."
Naya dan Dini pun naik. Aku segera mengendarai mobil ke jalanan yang ramai kendaraan.
"Tadi malam katanya kamu mau pergi kencan. Gak jadi?" tanya Dini.
"Udah pulang," sahutku malas. Teringat kejadian tadi membuat moodku kembali buruk. Katanya udah gak cinta pada Ana, tapi dikabari asam lambung Ana kambuh, wajahnya cemas banget. Lihat saja jika satu Minggu dia gak melamarku, aku akan putuskan dia!!
Mobil berhenti di lampu merah. Mataku melebar saat melihat motor yang dikendarai Om Reyhan berhenti persis di sebelah mobilku. Aku tertawa kecil saat tiba-tiba saja dia melepas helmnya lalu membenarkan tatanan rambutnya.
"Liat tuh, Nay. Cowo ganteng," kataku sambil menurunkan kaca jendela, aku tersenyum lebar saat bertemu tatap dengan Om Reyhan yang memandangku kaget.
"Hay, Ooom?" Sapaku sambil tersenyum sok manis.
Dia hanya memandangku sekilas dengan ekspresi biasa saja, lalu tatapannya ke jalanan di mana mobil dan motor berhenti menunggu lampu berubah hijau.
"Hay, Ooom." Sapaku lagi. Dia memandangku dengan ekspresi malas.
"Emmmmmmuach," kataku sambil mengerucutkan bibir, sengaja menggoda Om Reyhan. Tatapannya yang dingin membuat aku jadi ingin menggodanya.
"Om lupa sama aku?" tanyaku. "Ayu Dewi Anggraeni mantan adik ipar Kak Rama. Ingat?"
Dia terus saja berlagak cuek. Masa baru tadi siang bertemu dia sudah lupa padaku? Dia sendiri yang bilang bahwa Kak Rama lah yang nyuruh dia nguntit aku. Sepikun itukah dia?
"Om."
"Om."
"Om." Panggilku lagi.
Dia noleh.
"Emmuaaaach," kataku lagi sambil mengerucutkan bibir, lalu tersenyum sok manis yang lagi-lagi dia tanggapi dengan dingin. Enggak normal kali, yaaa? Kalau normal, pasti tergoda sama aku yang cantik jelita.