Scandal Reza 5

1657 Words
Entahlah sejak kejadian dua minggu yang lalu aku benar-benar sudah kehilangan sebagain otak warasku, ketika hasrat sudah tak bisa lagi tertahankan, aku paksakan untuk mengintip kakak iparku saat sedang mandi atau sedang tidur sendiri. Sungguh perbuatan yang sangat konyol dan memalukan. Kulit mukaku tiba-tiba panas membara dan suhu tubuhku mendadak naik drastis. Teh Wulan malah tersenyum penuh misteri mendapati diriku yang salah tinglah tak karuan. Sekujur tubuhku serasa bergetar laksana seorang yang sedang dilanda demam mendadak.   “Nan..nan..nanti…ti Kak Andy atau ibu bangun, Teh. Gak enak kalau mereka tahu teteh dalam keadaan begini, duduk berdua dengan saya!” Aku mencoba menguasai diri dan entah mengapa saat itu adik kecilku mendadak menggeliat dan berdiri dengan sombongnya. “Kakakmu dari tadi sudah molor, mungkin dia sudah puas dengan wanita lain.” Teh Wulan menjawab dengan sangat ketus. “Hah! Teteh jangan ngarang. Kak Andy gak punya istri lain selain, Teteh!” Aku mengklarifikasi sesuai pengetahuanku. “Iya memang, tapi selingkuhannya ada dimana-mana. Buktinya sekarang dia sudah jarang memberikan nafkah batin sama istrinya, karena sudah puas dengan jably di luar sana!” Teh Wulan makin nyolot walau suaranya masih terkendali. Namun demikian penekanannya cukup jelas menandakan jika dia sedang marah besar pada suaminya. “I… i..iya tapi teteh jangan ma..ma..marah sama saya,” balasku terbata-bata. “Kamu mau menggantikan kakakmu, Rez?” tanya Teh Wulan yang sukses membuatku kembali menggeser dudukku semakin menjauhinya. “Maksudnya?” tanyaku dengan suara yang makin bergetar. Perasaan kalut, panik, takut dan terkejut bercampur menjadi satu. “Kamu mau menggantikan kakaku memberikan nafkah batin pada teteh?” Teh Wulan menggeser duduknya mendekatiku dan sontak aku bangkit dari duduk. “Ti… ti…tidak mau!” sergahku sambil berdiri dan sekian detik kemudian aku sudah berada di dalam kamaku dengan pintu yang terkunci. Jantungku benar-benar berdebar tak karuan. Apa asesungguuhnya yang sedang terjadi antara kakakku dengan istrinya. Mengapa Teh Wulan jadi berubah seperti ini. Dan malam itu aku benar-benar tak bisa tidur. Ini sungguh pengalaman yang sangat menakutkan. Sebagai lelaki normal yang sedang dilanda birahi tinggi, ajakan atau tawaran dari kakak iparku tentu saja sangat menggiurkan, tetapi dia adalah istri dari kakak sendiri. Bagaimana jika ketahuan dan itu akan menjadi kiamat bagiku. Aku bukan hanya akan diusir dari rumah ini, lebih buruknya mungkin dibunuh oleh kakakku sendiri. Aku benar-benar kehilangan akal, harus bagaimana menghindar dari godaan kakak iparku yang sudah mulai kehilangan akal sekatnya. Haruskan aku mengadu pada ibuku dan meminta saran darinya. Ini tentu saja bukan hal baik. Ibuku begitu menyayangi dan mengagumi Teh Wulan. Ibu tidak akan percaya dengan pengaduanku. Salah-salah dia malah akan menganggapku halu dan mengada-ada. Hari terus berlalu dan sepertinya keadaan mulai kembali normal. Lebih tepatnya seperti normal. Aku senantiasa menghindari berada berdua di rumah saat Teh Wulan ada di rumah. Walau di depan ibu sikapku pada kakak iparku biasa-biasa saja. Namun sesungguhnya aku sedang sedikit membangun benteng pertahanan. Kali ini aku benar-benar tak berani bercerita pada siapapun termasuk pada Andri atau Gingin. Ini adalah aib keluarga yang sangat tidak layak dikonsumsi oleh siapapun walau mereka masih ada ikatan saudara denganku. “Rez, teteh bisa minta tolong gak?” tanya Teh Wulan pada suatu sore, kebetulan aku dan ibuku sedang duduk berdua menonton tv. Sementara Teh Wulan baru selesai menyiapkan makan malam untuk kami. “Minta tolong apa, Teh?” tanyaku dengan sikap yang aku usahakan senatural mungkin. “Teteh rencananya mau kredit motor buat kerja, udah disetujui sama Mas Andy juga.” ucap Teh Wulan sambil duduk di samping ibuku. “Terus?” tanyaku tak sabar. “Teteh kan belum bisa bawa motor, boleh minta tolong diajarin gak?” Teh Wulan bicara seraya memijat-mijat lembut tangan ibuku. “Emang kapan motornya datang?” tanyaku lagi. “Kemungkinannya sih minggu depan. Besokkan ibu libur, jadi bisa pinjem motor ibu dulu buat belajar?” tanya Teh Wulan sambil menatap ibuku. “Pake aja, itukan motor bersama. Ibu hanya pakai kalau kerja doang,” balas ibuku dengan wajah sumringah. “Gimana, bisa kan besok kita belajar motor, Rez?” Teh Wulan balik tanya lagi padaku. “Udah ajarin aja, ibu juga dulu diajarin Reza, cuma tiga hari langsung lancar,” timpal ibu yang membuatku bungkam.  Walau hatiku sebenarnya ingin menolak mentah-mentah, namun tidak ada pilihan lain. Ketika ibu sudah ikut campur maka aku tidak memiliki kuasa lagi untuk menolak. Lagian memang apa salahnya mengajari kakak iparku sendiri naik motor. Daripada diajari sama lelaki lain bisa lebih berbahaya. Semenatara Kak Andy tidak mungkin juga mengajari istrinya naik motor. Dia terlalu sibuk akhir-akhir ini dengan tugasnya. Namun di sini lain ada juga merasa senang. Jika benar Teh Wulan mau kredit motor, itu artinya aku akan bebas kembali memakai motor seperti dulu. Teh Wulan belum tentu bisa lancar mengendarai motor dalam waktu singkat, itu pula artinya aku bisa meminjam motor itu untuk ke sekolah, setelah mengantar dia kerja. Yes! Aku mulai bisa sedikit bergaya. Bisa seperti dulu sekolah pakai motor dan pulangnya bisa jalan-jalan dulu. Dulu aku punya motor sendiri, namun karena penyakit ayah membutuhkan banyak biaya untuk pengobatannya, akhirnya aku harus merelakan motor itu dijual. Daripada motor ibu yang dijual. Kasihan beliau kalau pulang dan pergi bekerja naik ojek. Aku tak rela ibuku digodain tukang ojek tetanggaku yang rata-rata mata kerjanjang dan genit. “Tenang aja, uang lelahnya juga sudah teteh siapkan, kok,” bisik Teh Wulan saat aku akan masuk ke kamarku. Aku hanya membalas dengan anggukan dan senyuman. Tak diragukan lagi, jangankan mengajari dia naik motor, gak membantu apa-apa  pun aku sering diberi uang jajan. Itulah salah salah sifat baik Teh Wulan yang membuat ibuku makin sayang padanya. Untuk urusan makanan dan uang jajan, Teh Wulan juaranya. Berbanding terbalik dengan Teh Lina yang super pelit atau bahkan dengan mantan-mantan istri Kak Andy  yang terdahulu. Pagi hari berikutnya aku dan Teh Wulan sudah siap-siap berangkat ke lapangan sepak bola yang lokasinya lumayan jauh dari rumahku. Di lapangan tersebut suasanan sangat lengang dan sepi jika pagi hari. Ketika aku sedang memboncengnya, tiba-tiba pikiran kotor kembali merasuki dan menguasai isi kepalaku. Apalagi Teh Wulan memakai pakaian yang sangat ketat dan seksi. Selama dibonceng dia memelukku dengan mesra. Orang lain tidak curiga karena bukan baru kali ini aku membonceng Teh Wulan. Selama perjalanan menuju lapangan otakku terus berandai-andai. Jika selama latihan aku memelukknya dari belakang dan tak tahan menahan godaan birahi, apa yang akan yang terjadi? Sedangkan lapangan itu posisinya relaif terlindung oleh pohon-pohon besar di sekelilingnya dan kemungkin hanya ada kami berdua nantinya. Sebelumnya aku tidak pernah menerima tawaran seperti ini, kecuali dari ibuku. Sepertinya Teh Wulan sengaja membuat alasan belajar motor agar dia bisa lebih dekat lagi denganku. Seingatku Kak Andy belum pernah ngomong ada rencana kredit motor. Atau mungkin dia sedang malas membahasnya. Kita lihat saja minggu depan, apakah Teh Wulan benar-benar memiliki motor baru atau ini benar-benar hanya akal bulus saja. “Mau langsung sendirian atau berdua dulu?” tanyaku pada Teh Wulan. “Berdua dulu dong Rez, nanti kalau teteh kaget bisa-bisa terus-teruan narik gas, kan bahaya,” rengek Teh Wulan manja dan genit. Betul dugaanku, lapangan ini benar-benar sepi. Aku segera turun dari motor sementara Teh Wulan bergeser ke depan pada posisi pengendar. Kemudian aku memberikan beberapa petunjuk cara mengoperasikan motor. Beberapa menit kemudian motor mulai jalan pelan dan sedikit oleng seperti mau jatuh karena kehilangan keseimbangan. Aku segera membantu dan membimbingnya dengan memegang stang motor, sehingga dengan sangat telak aku menjadi memeluk tubuh kakak iparku dengan sangat rapat. Setelah aku membantu memegang stang, motor dapat berjalan dengan stabil dan kini konsentrasiku justru yang buyar. Perlahan lahan suhu tubuhku mulai naik dan kehangatan tubuh kakak iparku sontak membakar ghairah dan birahiku hingg adik kecilku tak bisa lagi dikendalikan. Dia berdiri dengan tegaknya dan langsung menyentuh p****t orang yang duduk rapat di depanku. Entah dari mana datangnya keberanianku. Setelah motor benar-benar stabil jalannya, aku pun mulai mengusap-usap tangannya. Teh Wulan sama sekali tidak bereaksi dan dia semakin menggeser duduknya merapatkan tubuhnya ke belakang. Bagian tubuhku yang sudah berdiri tegak kini benar-benar menekan bongkahan indah bagian belakang tubuh kakak iparku. “Rez, kamu kenapa?” tanya Teh Wulan setengah berbisik, motor melaju pelan namun sangat stabil. Saat itu aku baru menyadari ternyata kakak iparku ini sudah bisa mengendarai motor. “Gak kenapa-kenapa Teh,” balasku dengan suara yang mulai bergetar. Hidungku aku dekatkan ke belakang telinganya. Tercium aroma tubuhnya yang makin menusuk hidungku dengan lembut. Aku semakin terangsang dan sekujur tubuhku kembali memuai karena terserang panas dingin. “Ade kamu berdiri ya, Rez?” tanya Teh Wulan dengan nada menggoda. Sepertinya dia bicara sambil menahan tawa. Entahlah dia merasa geli atau justru merasa puas karena telah sukses menggoda dan membawaku dalam jebakan batmannya. “I..i..iya, hehehehe,” balasku sedikit malu-malu. “Kenapa bisa begitu?” susul Teh Wulan. “Gak tahu. Teteh sebenarnya udah bisa bawa motor ya? hehehe.” Aku merespon pertanyaannya dengan mengalihkan pertanyaan. Dengan maksud hendak membuatknya mengaku kalau dia sebenarnya sedang mengerjaiku. “Udah bisa tapi belum lancar banget, Rez.” Teh Wulan memberi alasan membela diri, namun sama sekali aku tak percaya. Dia sudah sangat stabil membawa motor dalam kecepatan rendah. “Kalau gitu, teteh bisa sendirian dong, saya nunggu di pinggir lapang aja ya,” usulku. Aku  benar-benar sudah tak tahan duduk di belakangnya. Rasa sakit di bagian bawah tubuhku benar-benar cukup menyiksa, sementara bongkahan hangat dan empuknya terus-terusan menggeseknya.     “Ih jangan dong Rez, kan teteh belum lancar banget, gimana kalau motornya jatuh terus rusak, nanti kita kena damprat ibu dong. Reza juga pasti disalahin sama ibu.” Teh Wulan keukeuh dengan argumentasinya. “Hmmm,” gumamku. Aku benar-benar berada dalam posisi serba salah dan terjepit. Jika aku biarkan dia mengendarai motor sendirian, aku khawatir dia pura-pura menjatuhkan motor. Jika sampai motor rusak atau kenapa-kenapa dengan Teh Wulan, tentu aku akan menjadi sasaran omelan Ibu. Tetapi kalau terus-terusan begini, akan sangat berbahaya. Bagaimana mungkin aku bisa mengendalikan diriku sementara Teh Wulan makin sengaja menggerak-gerakan tubuh bawahnya yang menempel denganku. Imanku mungkin kuat untuk bertahan tetapi si imin mulai gak bisa diajak kompromi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD