POV Reza
Namaku Reza Alfarizy, saat ini aku baru saja naik ke kelas tiga SMA. Aku anak ke empat dari empat bersaudara. Kakak paling besar, Kak Andy sudah menikah dengan Teh Wulan. Mereka tinggal bersama ayah dan ibuku. Kakak kedua Kak Erwan sudah menikah dengan Teh Lina, tinggal di rumahnya yang tidak jauh dengan rumahku. Sementara Kakak ketiga Teh Wati sudah menikah ikut dengan suaminya Jawa Tengah.
Dulu ayah bekerja di sebuah pabrik tekstil, karena faktor kesehatan, beliau pensiun dini, lalu membuka warung kecil-kecilan di depan rumah. Sedangkan ibuku PNS di Kantor Kecamatan.
Diantara kami berempat, Kak Andy paling besar sekaligus paling berengsek. Dia terkenal sangat playboy bahkan hingga tiga kali menikah. Nikah pertama saat dia duduk di bangku kuliah hingga akhirnya semuanya berantakan. Dan hanya dia yang tetap tinggal dengan orang tua.
Dari kedua istrinya terdahulu Kak Andy memiliki tiga orang anak yang kesemuanya ikut dengan ibunya. Selama menduda Kak Andy sering membawa perempuan ke rumah. Aku pun sering memergokinya sedang bercinta di kamarnya. Kalau sudah begitu maka dia segera memeberiku uang tutup mulut.
Ketika aku memasuki SMA, Kak Andy menikah dengan Teh Wulan. Seorang perempuan yang aku pikir sangat berbeda dengan dua mantan istri Kak Andy sebelumnya. Dalam kesehariannya Teh Wulan tampil lebih sederhana, santun, ramah dan mau berbaur dengan kami seluruh keluarga, bahkan mau mengurusi ayah yang sakit.
Tahun pertama pernikahan Kak Andy dengan Teh Wulan berjalan baik, harmonis dan kami semua bersyukur karena kakakku tidak lagi seperti dulu. Dia betah berlama-lama di rumah dan pulang kerjanya pun tak pernah telat. Ibu sangat merasa senang, meski Teh Wulan juga bekerja, tapi dia selalu membantu pekerjaan rumah seperti menyiapkan makanan, bahkan membersihkan rumah.
Jika Teh Wulan masuk pagi, biasanya sore hari dia mencuci pakaian suaminya. Bahkan kadang pakaianku pun ikut dicucinya. Jika bekerja siang, paginya selain mencuci, dia juga membantu menyiapkan makanan. Hal itu membuat ibu senang. Kehadiran Teh Wulan sebagai menantunya benar-benar memperingan pekerjaan rumah.
Aku pun biasa membantu Teh Wulan menimbakan air jika dia sedang mencuci, seperti yang biasanya aku lakukan jika ibu sedang mencuci. Teh Wulan pun sangat pandai menempatkan diri dalam keluargaku. Dia sangat menyenangkan semua orang dan mudah akrab. Aku yang sedikit kurang gaul dan pemalu pun bisa dengan mudah akrab dengannya.
“Rez, kamu mesti banyak makan dan olah raga, sekarang udah mau kelas tiga SMA badannya jangan kurus begini, kurang bagus laki-laki terlalu kurus.” Teh Wulan bahkan sangat perhatian dengan postur tubuhku.
Ya, tubuhku memang agak kurus, apalagi tinggi badanku yang lumayan jangkung, membuat kelihatan agak ringkih. Tapi aku sendiri tidak begitu peduli, toh menurutku tidak kurus-kurus amat. Jika sudah gajian Teh Wulan juga sering mengajakku makan di luar atau juga memberiku uang jajan.
Perhatian Teh wulan bukan hanya sebatas itu, dia bahkan sering menyuruhku untuk bermain atau gaul dengan teman-teman di kampungku. Selama ini aku jarang gaul karena sepulang sekolah harus menjaga dan merawat ayah sampai ibu pulang dari tempat kerjanya.
Sebenarnya ada seorang lagi, kakak ipar yang suka membantu merawat ayah saat di rumah tidak ada siapa-siapa. Teh Lina istrinya Kak Erwan, namun ayah sering mengeluh karena Teh Lina seperti ogah-ogahan mengurusnya. Dia memang sibuk dengan dirinya, padahal belum punya anak dan suaminya yang sopir tangki BBM, kadang jarang di rumah juga.
Kehadiran Teh Wulan di rumahku benar-benar memberi warna berbeda dan membuatku betah di rumah. Selain seisi rumah menjadi lebih rapi bersih dan terawat dia juga senang memasak dan membuat kue. Ayah pun terawat dengan baik. Kami semua sangat sayang pada Teh Wulan.
Ketika pasangan itu sama-sama libur kerja, mereka menghabiskan waktu dengan jalan-jalan atau di kamar seharian. Jika sedang di kamar, mereka terkadang lupa jika di rumah ada aku lelaki muda yang mulai beranjak dewasa. Suara-suara mereka ketika sedang bercinta kadang terdengar jelas ke kamarku.
Perjalanan rumah tangga Kak Andy dengan Teh Wulan, sepertinya mulai tidak baik-baik saja. Kak Andy yang bekerja sebagai staf pemasaran pada sebuah perusahaan mulia sering telah pulang dan jarang di rumah, bahkan ketika libur sekalipun. Dan kalau sudah begitu, maka Teh Wulan sering menjadikan aku sebagai teman ngobrol atau terkadang curhat.
Karena kesibukan Kak Andy, Teh Wulan pun sering memintaku untuk mengantarnya ke berbagai tempat tujuannya, termasuk antar jemput kerja, belanja ke mall atau sekedar menemui beberapa teman-temannya. Hubunganku dengan Teh Wulan semakin dekat dan akrab, laksana saudara kandung. Kepada beberapa teman dan kenalannya, dia juga selalu mengatakan jika aku adik kandungnya.
Semakin lama hubungan kami semakin akrab nyaris tanpa batas. Saat Teh Wulan mengajakku jalan atau saat kami sedang berdua di rumah, sikap dan tingkahnya terkadang sedikit aneh. Bicaranya sedikit manja dan genit seperti yang biasa dia lakukan pada Kak Andy suaminya. Dia juga mulai berani memegang bagian-bagian tubuhku yang sensitif, walau tidak sengaja, namun berulang pada lain kesempatan.
Tak terasa Teh Wulan sudah hampir dua tahun Teh Wulan menjadi bagian keluargaku. Karena rumah kami cukup luas dan untuk menghemat biaya, bapak dan ibu melarang Kak Andy dan Teh Wulan pisah rumah. Ibu masih belum percaya dengan Kak Andy akibat masa lalunya yang selalu bermasalah. Ayah dan ibuku terlanjur sayang pada Teh Wulan. Dan sepertinya Kak Andy juga tidak pernah kepikiran untuk pisah rumah atau mencicil rumah. Entahlah.
Siang itu hari begitu panas. Pulang sekolah aku langsung makan dan selanjutnya mandi. Karena bak mandi kosong, aku pun langsung menimba dengan tidak mengenakan pakaian sama sekali. Hal ini sudah sangat biasa. Kamar mandi dan sumur menyatu dalam satu ruangan, jadi sangat aman dan tak akan ada yang melihatku nimba dalam keadaan seperti itu.
Ketika sedang menimba, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Ternyata aku lupa mengunci pintu kamar mandi. Aku benar-benar kaget karena ternyata yang membuka pintu dan langsung masuk adalah Teh Wulan. Tanpa basa-basi dia langsung mengangkat rok dan menurunkan celana dalamnya lalu berjongkok tepat di depanku.
"Eh maaf, kirain gak ada orang di dalam!" ucapannya dengan seulas senyum malu-malu namun ada genit-genitnya. Aku agak sedikit heran dengan alasannya. Suara timbaan sebegitu berisiknya masa tidak kedengaran? Dan dia tahu hanya aku yang biasa nimba air di rumah ini.
Setelah rasa terkejut dan terpanaku berkeruang, aku segera mengambil handuk yang digantung di kapstok. Dengan gerakan sedikit cepat aku melilitkan ke pinggangku, menyembunyikan bagian tubuhku yang paling pribadi. Saat itu juga aku menyaksikan mata Teh Wulan nyaris tak berkedip memandangi sekujur tubuhku.
"Teteh memang mau apa?" tanyaku berusaha santai setelah menguasai diri.
"Ini teteh kebelet pipis!" jawabnya dengan tetap tersenyum, tatapan matanya tetap tidak beranjak dari handuk yang menyembul di bagian depan tubuhku.
"Ya udah, saya keluar dulu,” kataku sambil berjalan menuju pintu kamar mandi dan keluar.
“Gak usah Rez, hanya pipis doang, sebentar kok!” cegah Teh Wulan, namun aku tak menggubrisnya.
Aku pun akhirnya hanya berdiri mematung hingga Teh Wulan selesai melaksanakan hajatanya. Namun yang membuat aku tak mengerti, kakak iparku justru berlama-lama di kamar mandi. Saat merapikan kembali pakaiannya, sengaja perlahan-lahan hingga bagian tubuhnya yang paling pribadi nyaris terlihat, untung saja aku segera memalingkan wajah.
Setelah kejadian itu, tak ada hal yang luar biasa, walau sikap Teh Wulan terasa semakin berani. Jika sedang aku bonceng, dia selalu memelukku dengan erat dan mulai sedikit berani menyentuh bagian-bagian tubuhku yang sangat sensitif. Aku semakin tak karuan dengan sikap Teh Wulan yang mulai aneh dan sedikit mengganggu karena risih.
Seperti kejadian yang terjadi pada suatu siang berikutnya. Ketika aku selesai mandi, aku sedikit dikejutkan dengan keberadaan Teh Wulan yang sedang duduk di kursi ruang keluarga. Setahuku dia tadi berangkat kerja sesaat setelah aku pulang sekolah dan semestinya dia baru pulang di atas jam sembilan malam.
"Teteh kok sudah pulang?" tanyaku sedikit basa-basi sambil merapikan handuk yang melilit di pinggangku.
"Iya Rez, teteh minta ijin pulang duluan, lagi kurang enak badan,” jawabnya ringan.
Tanpa banyak bertanya lagi, aku segera bergegas masuk ke kamarku, sekilas aku kembali menatap wajah Teh Wulan yang justru terlihat segar bugar, tidak ada tanda-tanda orang yang sedang sakit atau terganggu kesehatanannya.