"Rian. Turunin gue gak! Cepet. Lepasin, lepasin Iih." Kuat Manda memukul bahu Rian. Tapi Rian tidak berkutik. Sedikitpun
Ia masih terus membopong Manda setidaknya sampai ke tempat yang aman.
"Lo mau apa sih gendong gue gini?"
"Bisa diem gak?!" sarkas Rian.
"Iyah, tapi kenapa gue gak boleh disana? Ada apa emangnya?!" Manda masih ingat desis-desis Rian dan kawan-kawannya. Sebagai mantan siswa nakal, ia terlalu hafal sama gelagat mencurigakan seperti Rian. Kalau gak bolos. Yah, tawuran.
"Gue gak mau jawab."
"Eeeggh!" Manda memukul bahu Rian. Kali ini lebih kencang. Rahangnya bahkan mengeras karena geram.
'Aahh, gak bisa tenang banget sih!' rancau Rian dalam hati.
"Tu-ru-nin gue!" Peringatan terakhir dari Manda di tambah mata melotot.
"Ntar," sahut Rian meski cukup kepayahan karena Manda terus menggoyangkan kakinya.
"Turunin.., turunin!" Manda mengamuk. Ternyata damage-nya lebih serem daripada ancaman Robby bagi Rian.
Cowok itu menyipitkan matanya. Bingung gimana caranya bikin Manda gak marah.
"Jangan gerak-gerak dulu. Gue berat nih," jujurnya.
Rian harus menyeimbangkan langkahnya yang menggendong Manda. Ditambah tangannya mencengkram punggung dan paha Manda kuat.
"Lagi siapa suruh lo gendong gue?!" jawab Manda berani. Rian seakan menulikan pendengarannya. Ia terus berjalan. Melangkah sampai ke taman.
"Kalau kamu gak mau turunin aku. Aku bakal laporin kamu ke kepala sekolah!" Manda gak main-main. Ia betul-betul akan melaksanakannya jika saja Rian tidak menurut.
"Nih! Gue turunin."
Rian menurunkan bagian belakang Manda di bangku taman. Hentakkan itu cukup keras bagi Manda.
"Auww!!"
"Kenapa lo turunin gue disini?!"
"Tadi lo bilang minta turunin," jerit Rian. sambil menghapus peluh di dahi. Belum berkelahi dengan Robby, ia sudah kehilangan separuh tenaganya.
"Iyah tapi,'kan lo bisa lembut dikit sama gue. Sakit tau b****g gue," cicit Manda sambil meringis.
"Ciih!" Rian menatap nyalang ke Manda.
"Jadi masalahnya karena gue kurang lembut sama lo?!"
Manda terlonggo. Bukan gitu. Siapa juga yang mau dilembutin sama cowok ini.
"Bu-bukan juga sih," gumam Manda jadi bingung.
"Tadi lo maksa minta diturunin. Gue turunin lo ngomel. Terus minta gue lembut tapi bilang lagi bukan gitu. Lo tuh aneh. Cewek itu aneh. Makanya gue gak suka." Rian bergerutu. Tapi Manda malah fokus sama kalimat akhir, bagian Rian bilang gak suka cewek.
'Gak suka cewek. Apa jangan-jangan dia! Iih,' Cewek itu sampai merinding.
"Lo gak bisa gitu. Tanpa seorang wanita lo gak akan ada di dunia ini," tekan Manda.
"Tapi tanpa bantuan cowok juga lo gak akan jadi." Manda diam. Dalam hati
'Iyah juga. Kenapa sih punya anak didik nakal tapi pinter. Susah tau, kalau ngbalikin suka bener.'
Saat sadar Rian sudah jauh dari titik pandangnya.
"Hhaah.., tuh anak kemana?!"
***
Rian kembali ke belakang..,
"Lama banget lo. Pasang diapers dulu?" ucap Robby meledek.
"Gak usah banyak bacot lo," hina Rian.
"Yang loser gue apa lo. Gue cuma undang lo. Ngapain dua anak buah lo ngintilin. Mau lo suruh gantiin softex lo" balas Rian lagi.
"Dasar sialan!"
"Bagi gue, lo cuma punya mental tempe. Buat apa lo bakar baju gue. Kalau gak suka, bilang langsung hadapi gue secara laki-laki."
"Devid Bram pegangi dia!" titah Robby marah. Tak ada lagi ampun untuk Rian. Ia bahkan sudah menggulung rantai sepeda di tangannya dan mengepalnya kuat.
Secara bersamaan Rian diserang kedua teman Robby. Memegangi kiri dan kanan tangannya.
"Ahhkk!" Rian berusaha melerai pegangan, tapi Bram mengambil balok dan memukul ke punggung Rian. Bunyi hentakkan kayu mengenai punggung Rian cukup kencang, sesaat mereka menunggu reaksi Rian.
***
Sementara itu Selly masih menimbang apa harus menegur Ibas atau pulang dan merelakan cowok itu. Sewaktu ia masih bimbang, Ibas sudah pergi bersama yang lainnya menuju kelas mereka.
"Gimana?!" tegur Ibas.
"Aman. Kep-Sek dan guru-guru lainnya pasti gak mungkin tahu sama keributan ini. Lagi jugakan Rian cuma duel sama Robby jadi gak mungkin menimbulkan kegaduhan," ucap Zero yakin.
"Kalau gitu mending kita masuk kelas aja. Biar gak ada orang yang curiga," tanggap Dika.
Ketiganya mengangguk setuju "Ayok."
***
Setelah ditinggalkan di taman. Manda berniat mencari Rian di kelas. Tapi sayang disana cuma ia temui tiga teman pemuda itu.
Manda langsung mengintrogasi Dika, Ibas dan Zero.
"Cepet bilang sama aku. Apa rencana kalian?!"
"Rencana apa sih, Bu?!" sahut Dika pura-pura gak tahu.
"Gak usah alasan. Aku tahu. Ada sesuatu yang mau teman kalian lakukan di belakang sekolah. Katakan apa yang mau ia kerjakan. Ooh, Rian mau bolos pastinya," duga Manda berapi.
Ibas menggebrak meja. Matanya melotot marah
"Jangan jelek-jelekin, Ian!" tekannya membuat Manda berjinjit kaget.
***
"Ahk!" teriak Rian berusaha merapatkan tangannya sehingga tubuh samping Bram dan Devid saling bertubrukkan terdengar hentakkan tulang rusuk keduanya. Sampai menimbulkan ringis dari bibir Devid dan Bram.
Saat Bram masih kesakitan, Rian langsung menghadiahi pipi kirinya dengan bogem mentah.
Buugh..!
Rian tidak mungkin memaafkan Bram yang memukul punggungnya dengan balok.
"Hahh.., haah!" Tangannya yang memukul Bram bahkan terasa kebas. pongkol lengannya lemas setelah tadi juga ia gunakan untuk menggendong Manda. Sampai Rian jadi sedikit mundur membelakangi Robby. Robby yang melihat peluang, langsung mengalungkan rantai ke leher Rian
Ia melilitkan rantai itu berharap Rian mati dan pada akhirnya ia berhasil membalaskan kepergian Dinda.
"Hahaha!" Robby terdengar sangat puas.
Rian merasa pasokkan oksigennya hilang. Matanya terasa gelap. Robby menekan tepat di jakunnya. Perutnya mual. Dadanya sesak. Ia ingin muntah karena merasa kehabisan nafas tapi Robby juga tak gentar untuk terus mencekiknya.
"Lo bakalan nyusul Dinda," bisik Robby di telinga Rian.
Rian sudah tidak tahan. Sampai kapan ia terus disalahkan dengan kejadian yang bahkan tak pernah terlintas di otaknya. Bahkan jika waktu bisa diputar Rian bersedia menerima cinta Dinda supaya wanita itu tidak melakukan hal nekat. Namun, sebanyak apapun perandaian yang muncul di benaknya, tetap saja kenyataan Dinda sudah pergi selamanya dengan cara yang ia pilih.
Rian menaiki kakinya, menendang Robby dari belakang tepat mengenai milik Robby.
"Ahk, ahk!" Pemuda itu berteriak sangat keras. Rian menatap nyalang. Kalau Robby bisa pakai cara licik dengan menyerang bagian vital-yaitu lehernya kenapa Rian gak bisa?
Rian kembali menyerang Robby. Ia menarik kerah bajunya lalu melempar Robby ke tanah.
Tubuh Robby tersungkur menabrak balok yang tadi mereka pakai untuk memukul Rian.
"Aargghh!" Suara ringisannya semakin kencang merasakan tulangnya retak. Rian langsung menindih Robby. Ia duduk di atas perut Robby sambil menarik kembali kerah baju Robby.
"Bukan gue yang bunuh dia!" Satu pukulan mengenai pipi kanannya.
Salah Robby, ia sudah mengingatkan Rian dengan luka yang mati-matian ingin ia obati.
"Lawan gue!" murka Rian dengan seluruh wajahnya yang sudah memerah.
"Lawan gue dengan benar. Jangan selalu bilang gue pembunuh!" Pukulan lain juga mengenai pipi kanan
"Lo sebetulnya ada masalah apa sama gue?!" Lagi, Rian memukul seolah tidak pernah puas.
"Jawab gue jangan diem aja!" teriak Rian. Robby cuma bisa terpejam, kepalanya berputar. Pipi kanannya terasa mati rasa karena terlalu banyak mendapat pukulan dari Rian.
Robby bahkan merasa bibirnya berdarah terkena kepalan tangan Rian yang bertubi-tubi.
'Ahk, Aahk! Pengecut. Nyali kecil selalu salahin gue tentang kematian Dinda. Emang gue yang minta dia bunuh diri. Enggak.., enggak!' Suara hati Rian menyangkal semua tudingan yang selama ini di sematkan olehnya.
"Jawab gue b*****g!"
"Apa gue gak punya hak nolak dia?!"
Tangan Rian masih cukup kuat untuk menonjok pipi Robby.
"Apa salah kalo gue nolak sepupu lo?!"
kembali Rian memukuli seolah tangannya diciptakan untuk menghajar Robby bertubi-tubi.
"Gue, gue cuma." Tiba-tiba air matanya turun perasaan marah yang meluap, penyangkalan dan berusaha membela dirinya yang justru membuat bathinnya 'lelah'.
Rian menghapus airmatanya kasar. Kepalan tangannya di kerah baju Robby sedikit mengendur.
Jika ditanya siapa yang paling terluka akibat kematian Dinda setelah kedua orangtua gadis itu, maka jawabannya tentunya Rian. Ia terluka bukan karena Dinda wanita yang ada di hatinya
Tetapi cara gadis itu meninggalkan dunia ini yang membuat hidupnya berkelimpangan pekatnya prasangka
Rian ingin bebas, bebas dari tuduhan, bebas menjadi dirinya yang dulu.
Yang bisa dengan santai mengobrol dengan semua kawan-kawannya tanpa perlu 'di segani'.
Rian bangun dari tubuh Robby. Devid yang sejak tadi memegang pisau belati hanya bisa terangga.
Mungkin ia memang memiliki senjata. Sedang Rian melawan dengan tangan kosong
Tetapi siapa juga yang bisa melawan honey badger*) ketika sedang marah.
.