KELIRU SIZE BUAH KELAPA SAWIT DAN BUAH COKLAT

1411 Words
“Ada yang mau jalan-jalan?” tanya seorang pengawal. “Kali saja ada yang mau lihat-lihat suasana pedesaan sini daripada bengong. Kan sore ini enggak ada kegiatan.” “Memang kamu mau ke mana?” tanya Ida. “Ini Kai mencari banyak bahan untuk pagar yang besok dibawa ke Jakarta atau Bekasi. Saya nggak tahu tapi ditulisnya Jakarta sih. Itu ternyata ada beberapa yang kehabisan.” “Oke saya bikin list juga ya,” kata Ida. ”Apa kamu mau ikut juga?” “Tidak saya tidak mau ikut. Saya lebih baik masak untuk makan malam.” “Tolong carikan banyak ikan haruan dan ikan lain karena kalau di warung terdekat agak sulit mencari ikan yang sesuai dengan kemauan nona Kia saya akan bikin list.” “Kita ikutan yuk?” ajak Hessa kepada Lingga. “Boleh. Masa kita sudah sampai sini nggak tahu tentang lingkungan sini,” Lingga setuju. Mereka pun akhirnya menerima list dari Ida juga dari kai untuk mencari bahan baku yang diperlukan. Satu mobil hanya berisi empat orang. Hessa dan Lingga duduk di belakang, dua orang pengawalnya Rudi di depan. Mereka orang sini jadi hafal dan tak ada halangan buat masuk keluar kampung. “Aku sejak dulu membayangkan kelapa sawit itu besarnya seperti kelapa sayur atau kelapa muda yang sering kita minum. Baru saat SMA aku tahu bentuknya dia itu kecil-kecil dan berumpun. Aku seriusan berpikir dulu tuh besar terlebih dia adalah bahan bakunya minyak kan?” kata Hessa melihat hamparan kebun kelapa sawit yang mereka lewati. ”Ha ha ha ha, sama Kak. Aku juga dulu pernah berpikir salah tentang buah coklat. Aku beberapa kali melihat buah kopi di perkebunan kakek di Majalengka. Aku hafal harum bunga kopi, karena itulah aku berpikir bahwa buah coklat itu sama dengan buah kopi. Bentuknya kecil-kecil seperti itu dan bunganya pun harum. Cuma mungkin sedikit beda. Dulu aku pikir buah tanjung itu adalah buah coklat.” “Buah tanjung itu apa? Aku malah belum tahu,” kata Hessa. Hessa merasa nyaman bertukar cerita dengan Lingga. “Buah pohon tanjung itu bentuknya sama seperti melinjo yang buat masak sayur asem atau lodeh. Bahan utama bikin emping. Mungkin kalau di Jakarta dulu masih banyak pohon tanjung di sepanjang jalan protokol. Bunganya sangat harum. Karena itu aku pikir, itu adalah pohon coklat. Lalu kakek aku bilang itu pohon tanjung bukan pohon coklat. Bunga tanjung sangat harum. Buahnya seperti melinjo, besar dan merah kulitnya sama. Akhirnya saat SMA aku baru tahu, karena kami camping di perkebunan coklat. Aku malu sendiri kalau ingat itu.” “Memang kita ini sering banyak tidak memperhatikan hal-hal yang kita anggap tidak penting yaitu kelapa sawit. Kita pikir buahnya besar-besar seperti kelapa pada umumnya yang biasa kita buat minum di pinggir jalan. Kelapa muda yang besar-besar itu atau setidaknya ya sama dengan kelapa gading lah, kuning kecil begitu, tidak berpikir bahwa kelapa sawit itu tak sampai sebesar kepalan tangan anak kecil sekali pun.” “Ya benar Kak. Kita sering tak memperhatikan alam sekitar. Kita pikir hal-hal tersebut adalah hal-hal remeh,” jawab Lingga. Mereka tak sadar bisa bercerita pada lawan bicara tanpa kaku. Padahal keduanya jauh dari sifat seperti itu. “Benar. Aku penasaran sama buah tanjung. Besok akan aku cari buah tanjung itu dan aku juga ingin mencium bau harumnya,” kata Hessa. “Loh kok berhenti di sini Pak? Kenapa?” tanya Lingga saat si sopir menghentikan mobil di pinggir jalan. “Tuan Hessa, tolong turun sebentar,” kata driver. “Ada apa Pak?” tanya Hessa bingung. “Itu di bawah banyak loh buah tanjungnya jatuh dan coba cari bunganya yang pendek dan cium biar enggak penasaran,” sahut si driver. Rupanya mereka sedang melewati jalan desa yang pinggirnya penuh dengan pohon tanjung. “Wah ini beneran seperti buah melinjo! Kalau nggak tahu aku pikir ini bisa dibuat emping loh,” kata Hessa. “Coba kita ketik yuk bunganya biar aku tahu harumnya bunga tanjung,” ujar Hessa berikutnya. Pengawal yang satu mencari kayu, dia menyogok bunga agar terjatuh. Bunga yang baru jatuh masih bunga segar sehingga harumnya bisa tercium, kalau mengambil bunga yang sudah lama jatuh tentu tidak keras harumnya. “Wooooooooow benar! Sangat harum,” Hessa kagum akan ciptaan Ilahi itu. Harum khas bunga tanjung sangat menawan. “Apa Kakak tahu bunga kopi dan harumnya seperti apa?” “Kalau bunga kopi dan harum bunga kopi aku sudah tahu. Itu banyak di kebun belakang rumah nenekku di Cirebon maupun di Bandung. Aku juga suka baunya,” jawab Hessa. Mereka melanjutkan perjalanan ke kota terdekat dari desanya Bu Ida. Mereka mencari toko rempah yang akan dituju untuk mencari semua keperluan kai Dehen. Perjalanan itu memang tidak ada yang spesial, mereka tidak punya memori manis atau special apa pun. Hanya ngobrol biasa sambil menemani jalan. Lingga maupun Hessa senang karena mereka lihat pedesaan yang benar-benar indah. Setiap kota pasti beda ciri khasnya. Mereka senang melihat ciri khas kota ini dan mereka jadi semakin akrab. Tak ada rasa cinta pada keduanya. Mereka merasa sebagai teman seperjalanan yang mengasyikan saja. Tapi masing-masing tak punya perasaan lebih, Lingga masih trauma berhubungan dengan lelaki, sedang Hessa sendiri belum menemukan poin pas bahwa Lingga itu adalah perempuan yang dia cari. Dia masih ingin perempuan tangguh seperti Kia tentunya. ≈≈≈≈≈ “Loh kok kamu datang malam ini?” tanya Hendra saat jam sembilan malam Rudi sudah tiba. Padahal janjinya Rudi akan datang besok pagi. “Aku percepat keberangkatanku, takut Tiara ikut pulang ke sini, sehingga aku bilang sama mama aku kembali ke Jakarta buru-buru. Yang aku dengar Tiara akan pulang ke rumah mama setelah mendapat surat PHK dari Hessa.” “Bagaimana tanggapan mamamu atas apa yang kamu laporkan?” tanya Alkaff. Semua sedang ngobrol malam. Kai baru saja pulang diantar Alkaff. “Tadinya mama ingin dia bisa bicara dengan Kia, walau by phone atau video call. Tapi aku bilang Kia belum ketemu. Aku tidak mau dari mulut mama akan ketahuan bahwa kita sudah tahu di mana Kia berada. Pasti mama akan marah dan mengatakan gara-gara kamu Kia jadi mengungsi di sini bla bla bla, akhirnya ketahuan kan?” “Jadi aku sengaja bilang kita belum ketemu Kia. Mama hanya mengirim voice note. Nanti kita dengarkan. Yang pasti mama sangat malu dan marah dengan kelakuan Tiara. Dia merasa sangat tak berguna sebagai ibu. Mama merasa gagal. Dia depresi dan sangat ingin bertemu Kia. Dia ingin minta maaf dengan bersujud pada Kia. Aku sudah katakan Kia tak butuh sujudnya mama, karena mama tak bersalah dan aku katakan pada mama Kia akan marah bila mama punya perasaan bersalah seperti itu. Cukup lama aku membujuk mama agar tak merasa bersalah padamu.” “Ayo kita dengarkan pesan mama agar semua jelas,” Rudi menyeruput kopinya sambil mengutak utik ponselnya untuk mencari voice note yang mamanya buat. ”Assalamu’alaykum ya anak mama yang cantik. Semoga sehat ya.” “Mama kedatangan Rudi, dia menceritakan tentang semua kelakuan Tiara. Mama sangat menyesal, mama baru tahu kalau dia mempunyai penyimpangan kejiwaan seperti itu. mama mohon maaf terlebih karena persoalan ini kamu jadi menjauh dan suamimu kalang kabut di Bekasi sana. Kembalilah Nak, kasihan suamimu. Kalian kan seharusnya bersama.” “Anak dan papanya juga harus bersama. Mama mohon maaf, kalau memang harus Mama gantikan dengan nyawa mama, mama bersedia memberikan nyawa tua mama.” “Pengorbanan kamu itu sudah sangat besar buat papa, buat mama, buat Rudi, terlebih-lebih lagi buat Tiara. Sejak pengobatan dia dari TK sampai kuliah, semua adalah biaya dari tanganmu. Tetapi dia malah seperti itu.” “Rasanya Mama nggak bisa bertemu kamu, mama sangat malu dengan kondisi Tiara seperti itu. Mohon maafkan Mama. Kalau saja boleh, kalau saja di agama kita bunuh diri tidak dilarang, Mama lebih baik bunuh diri.” “Mama sangat malu, sangat malu. Maafkan Mama Nak. Maafkan Mama yang tidak bisa mendidik Tiara. Mama tidak mau meminta maaf untuk dia. Biar dia yang menanggung semuanya.” “Mama minta maaf atas nama mama, papa dan Rudi. Benar-benar kami sangat berterima kasih atas semua bantuanmu. Maafkan Mama, maafkan mama,” kata mama Rudi sambil terisak. Kia tak sanggup mendengar semuanya itu. “Dan terakhir, Mama sekali lagi berharap kamu dan anakmu juga suamimu selalu sehat dan bahagia. Mama percaya Rudi bisa membantu agar kalian tetap aman. Pesan Mama terakhir untuk kamu, mama rela bila Tiara harus dipenjara atau bahkan nyawanya ditukar dengan kebebasan kamu. Mama nggak ingin kamu yang terluka. Mama rela nyawanya dihilangkan. Yang penting kamu tidak terluka.” Kia menangis mendengar kata-kata kerelaan dari mamanya Tiara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD