IBARAT

1231 Words
Saat ibu Ida, Kia, dan Lingga sudah masuk kamar, maka Alkaff dan Hendra menerangkan soal apa yang kai sebutkan tentang Tiara tentu saja Hessa bergabung dengan para lelaki itu. “Jadi dia bukan mencintai kamu Ndra?” kata Rudi. “Menurut pandangan kai seperti itu. Dia tidak pernah mencintai siapa pun kecuali Kia karena Kia adalah idolanya sejak dia kecil. Dia sangat mencintai Kia. Tidak ada makhluk lain yang dia cintai sedemikian besar seperti cinta pada Kia. Karena Kia menikah sama aku dia ingin menyingkirkan aku dengan cara pura-pura cinta sama aku. Lalu nanti dia akan membuat aku hilang dari peredaran. Entah dengan cara dibunuh secara langsung misalnya kecelakaan, pura-pura membela dia sehingga aku mati, atau juga dengan ilmu teluhnya.” “Pokoknya targetnya adalah supaya aku tiada. Sehingga dia akan bisa menghibur Kia.” “Rupanya kita berpendapat terbalik kan? Kita pikir Tiara memang sangat mencintai Hendra,” kata Alkaff. “Itu sebabnya sejak pertama kali datang Tiara langsung mencari yang mana yang namanya Hendra. Saat itu kan ada Hessa ada Adit ada Joko dan juga ada Wahyu selain aku,” kata Hendra. “Oalaaaaaah. Untung Kia ke sini sehingga kita bisa tahu. Jadi kita tidak salah sasaran,” kata Rudi. “Bener banget, kita pikir dia memang mencintai Hendra sampai setengah mati,” kata Alkaff. “Tapi nggak apa-apa kok. Apa pun jalan yang harus kita hadapi ya terjang saja. Mohon maaf, ibaratnya aku harus membunuh Tiara dengan tanganku sendiri, Mama bilang lakukan saja. Dia sudah membuang nyawa mama dan papa secara bersamaan. Jujur mamaku, kalau tidak aku larang kemaren langsung bunuh diri. Makanya aku wanti-wanti kalau mama sampai bunuh diri Kia pasti akan kecewa dan Kia tidak akan memaafkan mama sampai kapan pun Walau Mama sudah meninggal.” “Mama depresi banget, mengetahui Kia yang sudah menyelamatkan nyawa kami berempat malah dibuat seperti itu oleh Tiara. Jadi kan ibaratnya dua dibanding satu. Maksud mama, dua nyawa mama dan papa ditukar jiwa Tiara.” “Mama tidak hitung nyawaku, karena mama bilang aku harus bayar nyawa sendiri ke Kia.” “Itu maksud perkataan Mama, cuma dia tidak jabarkan. Di pesan yang buat Kia. Mama hanya bilang mama rela kalau Tiara memang harus ditiadakan. Sebenarnya waktu bilang sama aku kalau memang aku harus membunuhnya dengan tanganku sendiri, mama rela.” “Itu ibarat ya! Bukan aku beneran ngebunuh, pasti nanti malah jadi beban Mama kalau aku di penjara karena membunuh, itu hanya ibarat.” “Sangat berat sebetulnya beban mamamu ya,” kata Alkaff. “Wajar sih seperti itu. Bayangin dia bisa bertahan melihat papa yang sudah sekarat dengan obat-obatan dari Kia, hingga bertahan dua tahun. Itu sudah kebahagiaan tersendiri buat mama.” “Belum lagi sehabis papa meninggal, mama juga sakit. Semua biayanya dari Kia. Dan biaya makan kami juga ditanggung Kia. Kami benar-benar tak punya penghasilan. Aku masih SMA belum ada uang sama sekali. Jangankan buat sekolah, buat makan saja kami sudah tertatih-tatih dan tiap hari Bu Ida mengantarkan makanan pada kami. Paling tidak dua hari sekali bu Ida antar bahan makanan.” “Saat Mama sakit memang tiap hari karena bu Ida mengantarkan makanan matang tapi ketika Mama sudah sembuh Mama tidak mau diantar makanan matang sehingga Bu Ida mengantar bahan mentah. “Belum lagi biaya sekolahku, biaya sekolah Tiara, biaya pengobatan Tiara itu nggak kecil loh. Aku jadi kuli panggul di pasar, tapi tentu tak cukup untuk memenuhi semuanya. Itu biaya lain ditanggung Kia.” “Bagaimana mama bisa nggak marah kalau Dewa penolongnya dibuat seperti itu oleh Tiara?” “Tanpa Kia, kami berempat sudah sejak lama tiada, bisa jadi aku survive jadi preman pasar, dengan ilmu karateku, aku bisa malakin semua orang dan masa depanku tak ada sama sekali dan mama juga tentu pasti terluka kalau anaknya jadi orang yang tidak benar. Jadi Mama benar-benar menganggap Kia adalah dewa penolong. Yang mama sedih yaitu Dewa penolongnya ditikam oleh anak kandung mama.” “Kalau secara logika, ya mama memang lebih berat belain Tiara. Tapi nggak seperti itu pemikiran mama. Kalau tadi Mama bilang dua banding satu karena mungkin aku dipertimbangkan bisa mikir sendiri. Mama bilang cuma dia dan papa yang tergantung ke Kia. Sebenarnya bukan dua banding satu, empat loh. Empat banding satu. Kia menghidupi kami berempat dan harus hancur oleh satu orang Tiara! Kan kelewatan.” “Aku bisa membayangkan sakit yang mamamu rasakan. Mungkin itu juga sakit yang Kia rasakan ketika ditendang oleh Mamaku sejak dia bayi. Itu sebabnya Kia selalu mau menolong orang siapa pun itu. Dengan semua kemampuannya sejak kecil, dia sudah menolong orang. Jujur aku baru tahu tentang sepak terjangnya sejak di SD. Bu Ida benar-benar perempuan hebat yang bisa mendidik menjadi orang. Kalau tanpa bu Ida mungkin Kia juga seperti layangan putus.” Alkaff menyadari kehebatan Kia dan peran penting bu Ida. “Jadi kita tidak bisa menilai seseorang dari wajah. Dengan wajah yang seperti itu, bu Ida malah punya hati peri. Terbalik sama Tiara yang wajahnya super cantik tapi hatinya hati ib-lis.” Wajah bu Ida memang sangat jauh dari cantik, bahkan bukan wajah biasa, taapi wajahnya buruk. Hanya Umar dan almarhum suami pertama yang bisa menilai Ida dan mau menikahi bukan karena kecantikan wajah, tapi kecantikan hatinya. ”Ya benar, wajah seseorang bukan menjamin bagaimana tingkat kebaikan hatinya,” kata Hessa. “Jadi kamu setuju tentang langkah kai yang akan membuat kalian terpisah?” “Apa aku punya pilihan, bila pilihannya adalah keselamatan anak dan istriku?” tanya Hendra balik membalas pada Rudi. “Kalau begitu aku akan menempatkan dua orang di sini untuk menjaga Kia.” “Tidak. Tolong kamu buat empat orang buat jaga di sini. Nanti aku yang bayar bulanannya, jadi mereka tetap di sini dengan shift, sehingga mereka tidak terlalu lelah. Mereka tidak insidentil tapi menetap kerja di sini.” “Baik aku akan atur siapa personal yang bisa aku tempatkan di sini dengan penuh tanggung jawab. Aku juga tidak mau sembarangan orang aku pilih,” kata Rudi. “Bagaimana dengan pemeriksaan kandungan rutinnya?” tanya Alkaff. “Pemeriksaan kandungan rutin akan dilakukan saat aku di sini, kecuali kalau ada insidentil, tentu tak perlu menunggu kedatanganku. Tapi kalau untuk yang rutin akan aku temani dan mungkin aku langsung ke kota besar, sehingga mendapat pemeriksaan yang akurat. Semoga saja semuanya bisa selesai sebelum waktu kelahiran. Kasihan Kia kalau jauh dari mama saat melahirkan nanti, karena dia ingin sekali melahirkan didampingi Mamaku,” kata Hendra. “Kalau segala obat dan vitamin serta susunya ready kan?” “Aku bisa bawakan semuanya setiap aku datang. Aku yakin aku nggak bisa lama-lama. Mungkin dua minggu atau paling lama tiga minggu aku sudah balik ke sini. Di sini nanti seminggu, baru aku kembali lagi. Rasanya seperti itu sih. Sebenarnya pengennya tiap minggu, bukan masalah biaya tapi Kia melarang karena nanti konsentrasi kerjaan kami terganggu.” “Kia bilang dia tetap akan bekerja dari sini. Besok kunjungan berikutnya aku akan bawakan laptop dan semua berkas yang dia butuhkan. Mungkin mulai besok dia pakai HP dan nomor baru saja di sini.” “Hessa. Besok pagi kamu beli handphone dan nomor baru sini. Handphone dan nomor baru nomor lamanya akan aku bawa pulang. Jadi kalau dilacak posisinya handphone ada di Jakarta. Aku akan taruh di rumah mama di Jakarta, bukan di Bekasi di rumahku.” “Taruh kantorku saja, lebih aman,” kata Hessa. ”Oh iya benar … benar, kamu benar. Taruh di kantormu saja.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD