"Jangan berteman dengan dia, Titan tidak punya ibu." seru si anak perempuan dengan wajah mungilnya.
"Memangnya kenapa kalau aku tidak punya ibu?" tanya anak perempuan dengan rambut berkepang dua.
"Kita tidak boleh berteman dengan dia. Kalau begitu mending kita bawa dia kedalam kamar mandi saja!" usul anak perempuan dengan rambut panjang sepinggang. Yang diangguki oleh kedua temannya.
"Tidak. Aku hanya ingin berteman dengan kalian bukan malah membawaku kekamar mandi." ada rasa takut dalam setiap kata yang ia ucapkan, bahkan anak yang tadinya dipanggil titan tadi kini menggigil ketakutan.
"Ayo selly, kita bawa." seru perempuan dengan rambut berkepang tadi.
Anak yang dipanggil selly tadi kini memegang lengan Titan, mengikut dengan kedua rekannya.
"Beola, kamu pegang tangan yang satunya lagi." Beola, kini memegang lengan kiri Titan dengan erat menggunakan tangan mungilnya.
"Ayo ketrina kita bawa Titan kedalam kamar mandi." Selly menyeret Titan dengan tangan mungilnya sedang Beola hanya mengikut saja sambari tangan mungilnya mengenggam tangan Titan.
Anak perempuan bernama Ketrina berjalan angkuh didepan ketiganya dengan langkah kaki kecilnya.
"Nah, kamu itu tidak boleh berteman sama kami. Kamu itu tidak punya ibu." suara manja ketrina bersuara setelah mereka sampai didalam kamar mandi.
"Kita masih kecil Ketrina, sebaiknya kita berteman saja. Bukankah itu lebih baik?" Selly dan Beola tertawa kecil dengan suara khas anak-anaknya.
"Justru itu, sejak kecil kita memang tidak boleh berteman." ujar Ketrina lagi.
"Plak.. Plak.. Plak.."
"Kamu itu engga pantes temenan sama kita." titan memegang pipinya bahkan air matanya sudah datang mengaliri pipi kecilnya.
"Kita sudah seperti di dalam televisi yang biasa mamaku nonton. Si anak-anak memukul wajah temannya dan dia menangis." seru Selly yang dibalas anggukan kedua temannya sedangkan Titan masih memegang pipinya.
"Kamu mending tinggal di kamar mandi ini. Ihh gelap lagi." Titan gelagapan merasa takut mendengar ucapan Selly barusan.
"Aku sering nonton di TV seorang teman mengurung orang yang dia tak suka dikamar mandi. Terus mematikan lampu kamar mandinya lalu memasang suara hantu. Ihhh takut." mata Ketrina berbinar mendengar cerita Selly mengenai film yang biasa temennya itu tonton. Ia jadi ingin melakukan hal seperti itu.
"Jangan lakukan itu kumohon. Jangan lakukan itu. Aku takut gelap. Aku janji, aku tidak akan mengajak kalian berteman lagi!"
"Ayo kita keluar, lalu matikan lampunya." Beola bersuara tidak peduli rengekan kecil Titan disampingnya.
Ketiganya keluar, sebelumnya Ketrina mendorong Titan hingga terjatuh. Mengunci kamar mandi dan menekan tombol seklar lampu untuk mematikan lampunya
"Disini gelap... Kumohon buka pintunya. Maafkan aku... Kumohon... Maafkan aku..."
Ketiganya hanya tertawa tidak perduli bagaimana besarnya ketakutan Titan didalam sana.
"Selly, bukankah tadi kamu mengatakan ada suara hantunya?" tanya Ketrina pada anak perempuan mungil itu.
"Tapi ponsel ini milik ibuku." Selly mengeluarkan ponsel kecil tanpa tombol. Snagat sederhana tetapi terkenal pada masanya.
"Coba kita periksa apakah punya suara hantu!".ketiganya memfokuskan pandangannya pada ponsel itu.
"Nah dapat." seru Ketrina kemudian menyetelnya dengan suara keras,
"Ayo kita tinggalkan perempuan sok kenal tanpa ibu itu." Seru Selly dengan wajah cerianya.
"Selamat berbahagia Seperti di film itu Titania.", Ketiganya berlalu dengan suara tawa yang sangat bahagia,
Sedang didalam sana, anak perempuan itu hanya bisa menangis dengan bantuan lengan mungilnya ia menutup telinganya agar tidak mendengar suara menyeramkan itu. Matanya juga ia pejamkan dengan erat karena gelapnya tempat yang ia tempati saat ini.
"Memangnya kenapa kalau Nia engga punya ibu?" gumamnya pada diri sendiri dengan suara bergetar bahkan tersendat-sendat.
"Aku kan punya eyang, ayah dan bang Derta. Memangnya kenapa kalau aku tidak punya ibu?" tanyanya lagi dengan badan yang semakin bergetar menahan takut.
"Bang Derta, tolong.. " gumamnya lirih, tangannya memegang keningnya ternyata disana berdarah mungkin karena saat didorong oleh Ketrina benturan dahinya dan lantai cukup keras.
"Kepalaku berdarah ayah, tolong..." Kepalanya terasa pening.
"To-" ucapannya terhenti, anak perempuan itu terjatuh dan terbaring lemah dilantai.
****
"Nia sayang, bangun!" Hendrik rasanya ingin menangis melihat betapa lemahnya ekspresi wajah Titania saat ini padahal anaknya itu sedang tertidur entah sedang memimpikan apa.
"Nia!" panggil Hendrik lagi tetapi Titania masih gelisah dalam tidurnya bahkan anaknya refleks menutup telinganya sendiri bahkan semakin memejamkan matanya. Sebenernya apa yang putrinya ini impikan? Hingga harus seperti ini?
"Memangnya kenapa kalau Nia engga punya ibu?" Napas Hendrik Tercekat mendegar gumaman pelan itu bahkan sang empu masih memejamkan matanterulelap dan wajah gelisah.
"Aku kan punya eyang, ayah dan bang Derta. Memangnya kenapa kalau aku tidak punya ibu?" Hendrik memejamkan matanya sejenak. Mencoba tegar karena ini yang ia takutkan selama ini.
"Bang Derta tolong.." Hendrik mematung, ada satu kejadian yang sedang ada dalam pemikirannya. Apa anaknya kini memimpikan kejadian itu lagi?
Hendrik melihat tangan Titania memegang dahinya sendiri bahkan itu terjadi secara berulang-ulang.
"Kepalaku berdarah ayah, tolong..."
Badan Titania bergetar bahkan menggigil layaknya orang yang sangat ketakutan. Hendrik berdiri dari tempat duduknya yang ada disamping bankar Titania. Memeluk putrinya dengan erat bahkan tanpa sadar Hendrik menangis
"Ayah disini sayang, engga papa. Engga papa." seolah mantra Titania kembali tenang kini kembali terlelap damai dalam mimpinya.
Melihat Titania sudah tenang kembali, Hendrik membaringkan tubuh Anaknya kembali. Menatap sendu putrinya yang harus menanggung semua hal yang tak seharusnya ia tanggung selama ini.
"Apa dia selalu seperti itu om?" Hendrik menoleh kebelakang menemukan kedua sahabat Titania yang bangun dari tidurnya.
"Kalian bangun? Ayo lanjut tidur lagi ini baru jam 2 malam.", bukannya menjawab pertanyaan Deliana,Hendrik memilih mengalihkan pembicaraan karena menurutnya biarkan itu menjadi privasi keluarganya.
Kedua sahabat anaknya memang memutuskan untuk bermalam katanya tidak papa tidur di sofa asalkan bisa menjaga Titania. Sedang Hendrik memilih menjaga Titania didekatnya dengan modal kursi saja. Sedang Derta belum memperlihatkan Batang hidungnya sama sekali. Sedang ibunya, Fiona. Memilih pulang mengistirahatkan badannya yang mudah lelah diusia tuanya.
"Om? Aku dan Aloka adalah sahabatnya Titania om. Kami dengar apa yang ia ucapkan tadi. Bahkan sejak dia bergumam beberapa puluh menit yang lalu kami sudah terbangun." suara Titania yang terdengar ketakutan membuat Deliana yang memang mudah terbangun membuka pejaman matanya. Mendengar kata demi kata yang sahabatnya itu ucapkan.
Sedang Aloka baru membuka pejaman matanya saat Titania sudah berada dalam pelukan Hendrik. Bahkan saat ini perempuan sebahu itu masih bingung dengan keadaan yang sedang terjadi sekarang ini.
"Dia korban bully pas masih sd. Dan bayang-bayangnya terbawa dalam mimpi seperti tadi. Kadang saya berfikir anak sekecil itu sudah pandai membully di usia seperti itu.," ujarnya pelan sambari tangannya mengelus pelan rambut Titania dengan kasih sayangnya.
"Mereka semua masih sangat kecil. Bahkan saya sangat ingin memarahinya karena melakukan hal seperti itu pada Nia! Tapi saat melihat wajah ketiganya naluri saya sebagai ayah muncul. Mereka melakukan itu karena katanya pernah melihat adegan seperti itu didalam film yang mereka tonton padahal semasa kalian kecil televisi masih langka tetapi pada dasarnya memang mereka orang kaya makanya bisa melihat hal itu." Hendrik membuang napasnya berkali-kali saat mengingat bagaimana mengenaskannya Titania saat ditemukan.
"Saya hanya bungkam karena ketiga anak itu juga korban film yang mereka tonton. Awalnya eyangnya Titania tidak terima tetapi setelah saya jelaskan dia memahami. Beberapa waktu setelah kejadian itu kami pindah kesini tetapi ternyata kejadian itu tak pernah hilang dalam ingatan Titania padahal sudah memakan waktu lama." Hendrik memutuskan duduk kembali setelah melihat Titania benar-benar tenang.
Deliana menatap iba Titania yang harus mengalami semua itu. Walaupun kehidupan mereka hampir sama yaitu kehilangan kasih sayang salah satu orang tua tetapi Deliana masih beruntung karena yang menghilang adalah ayahnya bukan bundanya sedangkan Titania sebaliknya.
Deliana memiliki keluarga yang cukup harmonis, mempunyai keluarga yang menerimanya dengan bahagia. Saudara-saudara bundanya bahkan sepupunya semuanya menganggap Deliana sempurna tidak seperti Titania yang bahkan harus mengalami bullying dimasa kecilnya bahkan menjadi bayang-bayang ketakutan dalam tidurnya.
"Kadang aku ingin marah om atas ketidakadilan yang Titania alami." Hendrik tersenyum lembut merasa sedikit tenang karena anaknya kini mempunyai sahabat ataupun teman dekat yang benar-benar peduli padanya bukan untuk mengejeknya.
"Kalau boleh saya tau, siapa nama ketiga anak perempuan yang dulu membully Titania om?" Deliana kembali bersuara sedang Aloka malah kembali terlelap karena semalam dia susah tertidur. Perempuan yang kacamata penghiasnya masih melekat diwajahnya itu kini kembali mengarungi mimpinya.
"Selly, ketrina dan Beola."
Deliana mematung mendengar salah satu nama yang disebut oleh ayah sahabatnya. Nama seseorang yang kini harus menjalani hidupnya di panti asuhan sejak kecil karena orangtuanya mengusirnya setelah kejadian yang Deliana tidak tau.
Apakah mungkin karena pembullyan itu?,batinnya.