"Kamu belum pulang semesta?"
"Belum, yang jagain kamu siapa kalau misalkan aku pulang?"
"Yang lain pada kemana? Kok ninggalin kamu sendiri disini? Sama aku lagi!"
Abani tersenyum mendengar nada protes Titania, ekspresi wajahnya sangatlah lucu menurut abani. Menggemaskan.
"Ditanya kok malah senyum-senyum sih!" kesalnya, abani tidak tau saja bagaimana cepatnya jantungnya berdebar didalam sana karena hanya berdua dengan abani di dalam ruangan perawatan ini.
"Emang kanapa kalau aku senyum? Kamu engga suka? Atau kenapa?" Titania membuang pandangannya menatap kearah jendela mengabaikan pertanyaan abani beberapa detik yang lalu.
"Ayah kamu lagi pulang sebentar, kalau eyang kamu katanya ada keperluan yang harus diurus. Dan yang terakhir abang Derta lagi ke... "
"Dia bukan abang kamu ya!" tanpa sadar Titania mengerucutkan bibirnya menatap kesal kearah abani.
"Kamu kok gemesin banget sih!" ujar abani spotan tetapi kemudian mengatupkan bibirnya setelah sadar apa yang baru saja ia ucapkan.
Titania diam, bahkan debaran jantungnya semakin menggila bisa-bisa jika salah satu keluarganya belum datang juga maka titania tidak bisa mengendalikan dirinya lagi. Titania akan memperlihatkan salah tingkanya dan Juga wajah meronanya.
Tentu saja titania tidak ingin itu terjadi, bisa-bisa abani akan ilfill padanya karena sikap lebay-nya itu. Apa jadinya jika seorang Titania bersikap malu-malu seperti itu? Bersikap seperti orang kurang waras hanya karena berada disekitaran orang yang dia sukai?
Tidak, itu bukan tipikal seorang titania, batinnya.
"Aku sangat berharap kamu ingin menjadi langitku Titania!"
Lamunan titania tersentak, sedikit linglung dan bingung. Kenapa abani harus membahas tentang itu lagi? Apakah kejelasan hubungan sangatlah berarti untuknya? Bukankah laki-laki berkacamata ini tau jika titania sudah menyukainya bahkan memiliki perasaannya? Apakah semua itu belum cukup?
"Terkadang bagimu hubungan itu tidak perlu bahkan mungkin sangat tidak penting dihadirkan. Aku hanya ingin kejelasan karena disini sikapmu terka-"
"Kamu masih meragukan perasaanku?" tanyanya langsung.
"Tidak Titania, kamu kadang memperlihatkan sikap yang seakan mendorongku jauh dari kehidupanmu, kamu memperlihatkan sesuatu yang membuatku berfikiran sebenarnya aku hanyalah penghias syairmu bukan pengisi hatimu." ujar abani, tadinya ia ingin pulang tetapi ayah Titania meminta tolong padanya untuk menjaga ataupun menemani anaknya sejanak. Saat masuk ia menemukan Titania terlelap dan beberapa menit kemudian terbangun dan berbincang.
"Itu sama saja. Kamu meragukan perasaanku semesta, aku bukan mereka yang memperlihatkan perasaannya secara gamblang apalagi blak-blakan itu bukan tipeku sekali. Aku bukan perempuan yang selalu mengatakan syair-syair Cinta padamu semesta. Yang aku perlihatkan hanyalah apa yang ingin aku perlihatkan." tatapan Titania hampa memandangi jalanan kosong diluar sana melalui jendela didekatnya.
"Tetapi setidaknya kamu tidak mendinginkan sikapmu padaku kan?"
"Aku sedang berusaha semesta, tidak semua hal terjadi begitu cepat. Aku memerlukan proses untuk menerima kamu sebagaimana yang kamu mau." balasnya.
"Apa sebuah beban hingga menerimaku saja kamu harus memerlukan banyak waktu? Bukankah perasaan kita sudah seimbang. Lalu dimana letaknya kamu memerlukan waktu untuk itu Titania? Apa kamu menganggap aku hanya main-main tentang hal ini? Kamu menanggap ini ajang perlombaan untuk saling mengalahkan melalui perasaan? Aku hanya meminta kejelasan. Apa menjadi langiku rumit kamu terima?" katakan abani egois karena memaksakan kehendaknya dalam hal ini apalagi terkesan tergesa-gesa tetapi ini mengenai kejelasan bukan permainan antar dua pihak.
"Aku tidak menganggap ini permainan Abani, aku juga memerlukan waktu untuk beradaptasi dalam hal ini. Kamu baru tiba beberapa waktu bahkan memakan waktu setahun pun belum sama sekali. Aku hanya ingin kita membiarkan takdir berjalan sesuai apa yang ia inginkan. Kita tidak perlu tergesa-gesa abani cukup nikmati dan pahami."
Apa Titania adalah perempuan egois? Yang tidak menghargai seseorang dan selalu berbuat seenaknya. Tetapi mereka baru saja dekat Titania mana mungkin langsung menerima abani dan menjadi langit abani seperti yang laki-laki itu inginkan darinya.
"Setelah wisuda nanti aku harus ke aceh Titania, ada toko kecil keluarga yang harus aku kembangkan dan aku ambil alih karena ayahku tidak bisa lagi pulang-pergi karena kesehatannya tidak memungkinkan." ini adalah salah satu alasan Abani kenapa ia begitu kukuh menginginkan kejelasan dengan perempuan dingin dan judes itu karena jika nantinya ia kesana masih ada kesempatan karena mempunyai hubungan akan tetapi jika tidak memiliki apapun sama saja tidak ada kesempatan bahkan mungkin tidak ada sama sekali.
"Kamu ingin meninggalkan perasaanku disini, semesta?" mendengar perkataan abani tadi membuat rasa takut dalam diri Titania muncul.
Bagaimana jika disana abani menemukan perempuan lain? Bagaimana jika perasaan abani padanya menghilang bahkan tergantikan dengan adanya perempuan lain? Bagaimana jika disana ada perempuan cantik nan anggun yang memikat hatinya hingga akhirnya abani melupakan Titania dan perasaan keduanya harus berakhir, Titanialah yang harus menanggung rasa sakit itu sedangkan abani bahagia dengan perempuan barunya.
"Jangan membawa pemikiranmu terlalu jauh Titania, karena itu sama saja melukai perasaanmu sendiri." mengerti arah pemikiran Titania abani segera bersuara membuat segala fikiran negatif Titania buyar.
"Aku tebak pemikiranmu sedang berkelana tentang hal negatif. Aku hanya meminta kejelasan hubungan akan perasaan ini bukan membahas hal yang sangat tidak pantas untuk kamu fikirkan."
"Apa itu sangat penting untukmu?"
"Bukan untukku tetapi untuk kita berdua Titania."
Titania diam, bingung ingin bersuara apa lagi.
"Kapan kamu kesana?" tanyanya
"Kemana?" abani mengerutkan keningnya bingung karena pertanyaan Titania sangatlah ambigu.
"Aceh. Bukankah kamu mengatakan itu tadi."
"Bukankah juga sudah kukatakan jika aku pergi kesana selepas wisuda, kamu tidak mendengar perkataanku?"
"Ak-"
"Assalamu'alaikum, eyang datang bersama para sahabat-sahabat kamu Bintang." perkataan Titania terpotong dengan pintu ruangan perawatan yang terbuka dan memperlihatkan sosok eyangnya disusul kedua sahabatnya.
"Wa'alaikumussalam." jawab abani, ia berdiri dari tempat duduknya kemudian berjalan menuju sofa. Membiarkan kedua sahabat Titania berbicara bebas dengan perempuan itu.
"Kamu disuruh Hendrik jagain Titania?" abani menoleh menemukan eyang Titania sedang duduk tak jauh dari posisinya.
"Iya tante." jawabnya diiringi dengan senyuman menenangkannya.
"Panggil eyang saja. Kamu sudah semester berapa?" tanyanya dengan wajah antusias.
"Semeter 7 eyang, sebentar lagi masuk semester akhir." Fiona mengangguk-anggukan kepalanya, merasa puas dengan jawaban anak muda itu.
"Kamu menyukainya?"
"Siapa eyang?"
"Bintang, kamu menyukainya?"
Abani menggaruk tengkuknya pelan merasa bingung dengan jawaban perempuan peruh baya didepannya, siapa Bintang itu? Ia pernah mendengar Derta membahas tentang hal ini bahkan mungkin beberapa waktu lalu tetapi spertinya abani belum terlalu paham akan itu.
"Oh iya eyang lupa! Kamu kan engga tau kalau eyang selalu manggil Titania dengan sebutan Bintang, maaf ya!" Fiona tertawa pelan menertawakan sikap pelupanya mungkin perkara umur yang sudah tidak memungkinkan dalam berfikir dengan baik.
Sejenak fiona memperhatikan penampilan abani yang cukup enak dipandang ternyata tipe cucunya itu ya seperti ini, padahal Fiona kira sosok seperti Derta yang agak ceria dan blak-blakan tetapi ini cukup membuat Fiona paham akan hal itu.
"Engga papa eyang, kenapa harus meminta maaf! Kan memang aku-nya aja yang engga tau soal hal itu." hati fiona menghangat melihat sikap abani yang begitu sopan dalam berbicara bahkan santun. Tidak salah jika Hendrik langsung setuju dalam hubungan mereka bahkan mempercayai abani untuk menjaga Titania beberapa saat lalu.
Padahal fiona hanya keluar sebentar untuk mencari makanan sekitaran sini sekalian menenangkan pemikirannya tentang Titania. Tetapi saat di koridor rumah sakit ia bertemu kedua sahabat Titania yang Sedang bingung mencari ruang perawatannya.
Walaupun awalnya fiona tidak mengenal mereka tetapi merekalah yang menyapanya duluan bahkan langsung Salim padanya, fiona tak pernah tau jika cucunya mempunyai teman sesopan itu.
"Apa keluargamu menerima Titania?" tanyanya hati-hati takutnya laki-laki itu malah tersinggung dengan pertanyaannya. Karena takutnya keluarga abani tidak menerima Titania tetapi bukankah pihak laki-laki yang harus merasa risau dengan kata diterima atau tidak? Apakah akan direstui atau tidak.
"Aku tidak tau eyang, tetapi yang pertama kali yang ingin kulakukan adalah meyakinkan Titania akan perasaannya sendiri." karena yang menjadi prioritas bagi abani adalah Titania yang harus yakin untuk dirinya sendiri. Siap akan perasaannya sendiri tanpa ada Bayang-bayang ketakutan.
"Titania mempunyai trauma Nak! Dia mempunyai bayang-bayang yang akan selalu membuatnya ragu bahkan mungkin tidak percaya akan dirinya sendiri. Ia akan terus terhalangi oleh hal itu karena disini dialah masalah utamanya. Dia terjebak pada dirinya sendiri." selama ini Fiona tau apa yang Derta dan Hendrik tidak tau, ia memilih tidak mengungkapkannya dan membiarkan berjalan sebagaimana mestinya.
"Eyang tau kalau Titania sering melukai dirinya sendiri? Bermimpi buruk?" tanya abani cepat, jadi selama ini ada orang lain yang lebih tau mengenai Titania dan orang itu adalah eyangnya sendiri
"Bahkan aku tau apa yang membuatnya menjadi seperti ini? Kita bicara diluar"
"Kenapa bukan disini saja eyang?" sebagai jawaban Fiona menggeleng pelan,
"Apakah eyang takut jika kedua sahabat Titania mendengarnya?" abani menoleh kearah bankar disana Titania dan kedua sahabatnya sedang bercerita bahkan perempuan itu memperlihatkan wajah malasnya saat Aloka berceloteh didepannya.
"Mereka memang sahabatnya, tetapi jika Titania belum menceritakan apapun pada mereka lalu untuk apa kita memberitahu?" ia mengikuti arah pandang abani, perempuan yang memakai kacamata sedang bercerita sedang yang satunya sedang tersenyum lembut. Titania? Hanya menampakkan wajah datarnya seakan jenuh mendengarnya.
"Kenapa wajah Bintang seperti itu?"
"Titania ekspresi wajahnya memang seperti itu eyang,jika dikampus juga seperti itu. Jarang senyum! Apalagi jika sudah memperlihatkan tatapan tajamnya kedua temanku saja takut." mengingat wajah takut Keno bahkan sempat mengatai Titania adalah hantu, belum lagi Saputra yang mengakui didepannya jika Titania memanglah menyeramkan.
"Padahal dirumah ia selalu ceria bahkan manja padaku." manja katanya? Abani jadi berfikir bagaimana Titania jika sedang manja pada seseorang karena yang ia tau tidaklah seperti itu.
"Kita keluar membicarakan masalah itu, karena sepertinya Titania sudah ada yang menjaga." setelah mengucapkan hal itu fiona berjalan kearah bankar.
"Sayang, eyang keluar dulu sama dia. Kamu dijaga sama kedua sahabatmu ya." aloka yang tadinya ingin berbicara lagi mengatupkan bibirnya membiarkan eyang Titania bersuara.
"Eyang mau kemana?" tanya Titania
"Keluar sebentar, titip Titania ya!" perempuan paruh baya itu berjalan keluar di ikuti abani dibelakangnya.
"Widihh. Kalian udah di restuin ya?" ujar Aloka saat pintu ruangan itu tertutup. Titania hanya memutar bola matanya malas mendengar hal itu karena ucapan Aloka tadi sungguh pembahasan yang tidak masuk akal.
"Eyang kamu deket sama abani Tan?" pertanyaan Deliana menghadirkan dengusan kesal dari Titania.
"Berhenti bahas itu. Merusak keadaan!" desisnya, aloka hanya tertawa pelan kemudian berjalan kearah sofa.
"Kita kan cuman nanya Titania muka datar." malas menanggapi ucapan Aloka,Titania membaringkan tubuhnya merasa lelah karena sadari tadi ia hanya duduk.
"Kamu istirahat saja." melihat tak ada sahutan dari Titania, Deliana berjalan kearah sofa duduk disamping aloka yang kini sedang memainkan ponselnya.