"Sap! Gue mau kasi tau lo tentang kebenaran yang fakta tanpa hoax abal-abal atau bahan ghibahan anak-anak kampus." ujarnya sembari duduk disamping temannya dan merangkulnya.
"Sap sap sap. Emang gue sapi apa!" bantahnya cepat dan tangannya menepis rangkulan itu.
"Yaelah kayak cewek lo ngambekan. Beneran engga mau tau nih?" laki-laki berkaos Biru navi itu menghentikan aktivitasnya dan menoleh kearah sang pengoceh.
"Kalau yang lo bilang engga menarik, nih bakso semangkuk bakal gue tumpahin di wajah sok ganteng lo itu!."
"Abani suka sama cewek bro! Mantep engga?"
"Alah. Engga mungkin."
"Gue beneran. Serius."
"Buktinya apaan Coba?"
"Semalam dia...."
"Ken! Kamu bercerita seakan-akan aku tidak ada disini." sedang laki-laki yang dipanggil Ken itu hanya tertawa terbahak-bahak ditempat bahkan sampai memegang perutnya.
"Saraf nih anak! Engga ada yang lucu malah ketawa kayak kuntilanak penjaga lorong kampus." Saputra yang sedaritadi diganggu oleh Keno hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tidak habis pikir dengan kegaringan sahabatnya.
"Lo bukan sahabat gue Ken! Malu-maluin." bukannya tersinggung Keno hanya tertawa ditempat tetapi tidak seberisik tadi.
"Sorry Ab! Soalnya si Saputra engga mau percaya. Gue kan tadi awalnya bilang ini bukan Hoax apalagi bahan ghibahan." Abani hanya mengangguk pelan kemudian melanjutkan makan siangnya.
"Nama ceweknya siapa?" Melihat Abani yang sudah tidak tertarik menanggapi ucapan Keno, kini Saputra kembali bersuara karena yang dia tau selama ini Abani jarang dekat dengan perempuan atau bisa dikatakan perempuanlah yang mendekatinya.
Tadinya mau langsung pulang saja tetapi Abani mengatakan ada rapat dan mau ditemani makan takutnya ada perempuan yang sok dekat dengannya. Yang datang lebih awal Saputra bahkan sudah memesan bakso semangkuk dan tentu saja yang membayarnya adalah Abani karena ia yang memanggil kemari untuk ditemani. Sedang sang perusuh, Keno. Ia baru tiba karena ada pertemuan antar anak sastra tadi.
"Lo tau ketuanya anak Sastra engga?" bisiknya pelan pada Saputra agar tidak didengarkan oleh penghuni kantin karena yang Keno lihat sedaritadi ada beberapa perempuan yang curi-curi pandang kearah meja mereka saat ini.
Saputra mengerutkan keningnya mencoba berfikir nama ketua anak sastra saat ini, ia sempat mendengar namanya tetapi sedikit lupa dengan namanya.
"Astaga, tipe lo kayak gitu Ab!" serunya sambari memukul meja kantin setelah beberapa lama berfikir, ia berdecak kagum tidak menyangka ternyata Tipe perempuan seorang Abani seperti itu dan tentu saja seisi kantin kini menatap mejanya dengan pandangan rasa ingin tau yang lebih besar.
"Kamu jangan berisik Saputra, lihat seisi kantin pada ngeliatin meja kita." Saputra yang kini sudah terduduk kembali kini mengedarkan pandangannya menatap seisi kantin dan membenarkan ucapan Abani.
"Sorry semua, silahkan lanjutkan makan siang kalian." teriaknya dan itu ditanggapi dengan berbagai macam respon. Ada yang merasa terganggu dan ada yang masih penasaran dengan pembahasan ketiganya apalagi samar-samar tadi mereka sempat menangkap perkataan Saputra tentang 'tipe Abani'
"Namanya siapa coba?" Tanya Keno setelah melihat seisi kantin tenang kembali
"Titania, perempuan yang terkenal judes dan cuek di angkatan kita. Lagian siapa lagi ketua eskul sastra kalau bukan dia, gue bener kan?" mendengar nama itu Abani menghela napas lelah. Apakah kata judes dan cuek tidak bisa dipisahkan dari perempuan itu?
"Kenapa Ab? Kok kayak frustasi gitu?" Saputra bisa melihat sahabatnya itu terlihat gelisah bahkan tertekan.
"Titania kayaknya udah terkenal dengan kata judes dan cuek ya?"
Saputra dan Keno sontak tertawa terbahak-bahak. Kini ketiganya menjadi pusat perhatian untuk yang kedua kalinya.
"Kalian ini ya! Aku mau bayar makanan dulu habis itu rapat kalian masih mau disini atau pulang?" tanyanya kemudian berdiri mengambil ransel hitamnya.
"Lo duluan aja Ab, kami mau langsung pulang aja nanti." Abani hanya mengangguk sebagai jawaban kemudian berjalan kearah tempat p********n makanan. Meninggalkan kedua sahabatnya yang masih tertawa kecil bahkan Keno kembali tertawa setelah menjawab pertanyaannya.
"Kok lo bisa tau kalau si Abani suka sama Titania." setelah Abani berlalu, Saputra bertanya serius Karena ia tidak pernah berpikiran sejauh itu
"Gini! Abani tuh sering lihat kertas origami dengan pandangan kagum bahkan sesama laki-laki gue bisa simpulin dia suka sama penulisnya. Dan sebagai anak sastra gue tau dong kalau penulisnya adalah sang ketua. Dan gue kemarin denger kalau mereka berdua sempet bicara serius dilorong kampus." Keno mengambil minuman Saputra dan meminumnya sampai habis.
"Nanti kita lanjutin gue harus kejar target pemotretan untuk mading besok. Pamit." Keno berdiri meninggalkan Saputra sendirian disana.
"Laah minuman gue habis." gumamnya saat matanya menatap gelas itu kosong.
"Keno sialan." gerutunya.
****
"Kalian duluan aja. Saya mau ke kelas dulu n****+ saya ketinggalan." ujarnya terburu-buru tanpa menunggu jawaban kedua sahabatnya.
Ia membawa langkahnya memasuki kampus kembali ini semua karena Aloka yang menariknya secara tiba-tiba hingga n****+ yang baru dibelikan ayahnya harus ketinggalan di meja. Kalau diambil orang bagaimana? Batinnya.
"Titania...."
Langkahnya terhenti dan berbalik menemukan laki-laki berkacamata sedang berjalan kearahnya dan Titania dapat merasakan detak jantungnya berjalan begitu cepat bahkan rasanya sungguh sulit di kendalikan.
"Kamu sibuk?" sebagai jawaban Titania hanya menggeleng singkat tanpa mengeluarkan suara sama sekali.
"Apa susah sekali mengatakan Tidak."
"Tidak." ucapnya datar yang ditanggapi senyuman oleh Abani.
"Ternyata kamu ketua eskul sastra ya!"
"Kenapa? Saya tidak cocok begitu?" ada nada sinis disuara itu tetapi didalam hatinya Titania mencoba mengendalikan perasaannya yang rasanya sangat ingin tersenyum senang karena bertemu Abani disini.
"Tidak. Tentu saja cocok apalagi tulisanmu sangatlah Indah bahkan membuatku terpukau." andai Titania tidak terkenal dengan segala judes dan ke-cuekannya mungkin sekarang ia sudah malu-malu ditempat bahkan pipinya merah tetapi kenyatannya wajahnya tetap datar tanpa ekspresi sama sekali.
"Ohh." hanya itu tanggapan yang bisa Titania suarakan padahal didalam sana perasaannya sangatlah berbunga-bunga apalagi dipuji dengan orang yang kita suka.
"Kamu mau kemana?"
Titania membulatkan matanya, pasti sekarang Aloka dan Deliana sudah mengering menunggunya diluar sepertinya ia harus jauh-jauh dari lingkup Abani karena bertemu laki-laki itu saja sudah membuat seorang Titania lupa akan tujuan awalnya.
Abani tersenyum memperlihatkan lesung pipitnya melihat mimik wajah Titania sekarang ini. Sepertinya perempuan itu sedang berperang dengan batinnya.
"Tadi pagi kamu diantar siapa?" Titania mencoba berfikir tentang pertanyaan kedua itu.
"Abang Derta." gumamnya tapi masih mampu didemharkan oleh Abani.
"Kakak kamu?" Titania hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Boleh aku sarankan? Jangan terlalu cuek padaku yaa! Rasanya menyakitkan jika kita sama-sama saling suka tapi malah berada di kondisi seperti ini bahkan sesekali aku berfikir Titania, sebenarnya perasaan kamu memang untukku atau hanya sekedar penghias syairmu saja." Abani mencoba menyuarakan pendapatnya bahkan isi hatinya. Rasanya cukup menyakitkan melihat sikap Titania yang katanya memilki perasaan yang sama dengannya malah asing seperti ini.
"Yaudah. Aku permisi dulu ada rapat eskul." melihat Titania hanya terdiam ditempat bahkan tidak ada niat untuk membalas ucapannya, Abani memilih melanjutkan langkahnya menuju ruang rapat.
Tadinya Abani ingin kesana tetapi tertunda karena melihat Titania berjalan terburu-buru dan tentunya sendiri. Jadi Abani memanggilnya mencoba berbincang selama beberapa menit.
"Semesta...."
"Ya?" Abani menghentikan langkahnya membalikkan badan menatap Titania dengan pandangan tanda tanya.
"Jangan meragu soal rasaku apalagi memikirkannya bahwasanya itu adalah kedustaan. Harusnya kamu tau dan bisa merasakannya tanpa aku memberinya pembuktian apalagi tindakan. Saya permisi." Titania melanjutkan langkahnya ke kelas untuk mengambil novelnya yang tertinggal.
Sedang Abani menatap tubuh itu dengan senyuman manisnya, hatinya menghangat mendengar perkataan Titania tadi. Harusnya ia tak perlu ragu akan perasaan perempuan itu karena disini yang diperlukan kepercayaan bukan keraguan.
Mereka berdua sudah sama-sama dewasa dalam berfikir bukan sedang dimabuk Asmara seperti anak remaja pada umumnya. Yang harusnya berjalan adalah bagaimana pandangan bukan asal menyimpulkan tanpa tau kejelasannya sama sekali.
Sekali lagi abani tersenyum bahkan memegang dadanya sejenak merasakan debaran didalam sana sungguh nyata. Ia membalikkan badannya melanjutkan langkahnya menuju ruang rapat yang mungkin sudah dimulai beberapa menit yang lalu.