****
Seharusnya
-----
Seharusnya dari awal kita itu tdk bertemu.
Dari awal aku dan kamu tidak perlu ada di posisi seperti ini.
Lihatlah sekarang, aku dan kamu sudah sama-sama saling menjatuhkan bahkan saling menyalahkan.
Harusnya, jalur yang sebelumnya tetap aku teguhkan bukan malah berhenti bertemu kamu disana, sungguh! Aku menyesalkan keputusan buru-buru itu.
Dan dengan gampangnya kamu blg aku bukanlah takdirmu lalu bagaimana aku nantinya? Mungkin ini hanya masalah waktu tetapi tidakkah kamu fikirkan bagaimana rapuhnya perempuan?
Aku hanya bisa menatap hampa sebuah jalur yang kini usang, jalur yang debunya sudah setebal itu andaikan aku berjalan cepat saat itu mungkin semua ini tidak akan serumit sekarang.
Bukan hanya kamu yang kusesali tetapi juga pertemuanku dengan kelompok mereka-mereka itu
Yang katanya sahabat tetapi malah menikamku dari belakang bahkan bekasnya didalam sana masih utuh, tak pernah sekalipun aku coba memulihkan.
Harusnya aku paham, mereka-mereka itu hanya ingin memanfaatkan persinggahanku tetapi kenapa harus kuberikan kebaikan penuh seperti itu? Harusnya seadanya saja. Cukup kuseduhkan kopi ataupun teh serta cemilan dihadapan mereka-mereka itu bukan memberinya kesempatan melukaiku sejauh ini.
Rasanya aku ingin menertawakan kebodohanku yang sok menjadi pahlawan kebaikan beberapa saat lalu. Harusnya cukup semenit saja aku berbincang bukan malah menjalin persahabatan bersama mereka-mereka itu. Lihat sekarang kan? Kebaikan itu malah balik menyerangku tanpa ampun.
Kewarasanku malah semakin direnggut dari hari ke hari, bukannya membantu mereka-mereka itu malah menghadirkan tawa dan menghardikku dengan lantang tanpa belas kasihan
"Dasar si bodoh, maunya dimanfaatkan."
Perkataan tak berterimakasih itu selalu melekat sempurna dalam fikiranku tak mau beranjak pergi biarpun sesenti saja.
Harusnya aku membalas mereka-mereka itu sebelum melanjutkan perjalananku tetapi itu bukan aku! Dan aku juga tdk mau menjadi orang jahat seperti mereka-mereka dibelakang sana.
Aku hanya bisa berharap semoga mereka-mereka itu dan juga kamu! Segera sadar atas apa yang kalian berikan padaku.
Aku telah memaafkan tanpa harus menunggu maaf tetapi jangan salahkan aku jika nantinya kalian merasakan sesuatu yang malah mengingatkan kalian atas sikap kurang ajar kalian padaku
Segera menjadi baik sebelum terlambat.
Aku menarik diri, ingin melanjutkan perjalanan menemukan kehidupan utamaku yang sebenarnya, menemukan takdirku yang nyataya benar-benar milikku bukan salah tempat lagi.
Semoga dimasa depan jika kita bertemu 'kalian' dan 'kamu' telah menjadi sosok yang baik.
Dariku, seseorang yang pernah kalian permainkan.
****
Titania kembali membaca ulang artikel yang akan ia kirim ke blog pribadinya malam ini, ini adalah tulisan salah satu permitaan pembacanya. Ia mempunyai blog pribadi yang berisi curhatan alay tapi akan membuat sebagian anak muda menyukainya bahkan gemar membacanya.
"Kamu belum tidur?" Titania menoleh dari layar komputernya pada sosok gagah yang berdiri didekat pintu.
"Ayah? Udah pulang? Kok engga tanya Nia dulu." suaranya sudah seperti rengekan kesal. Inilah sikapnya jika sudah dihadapan pahlawan supernya selalu ingin manja dan mendapatkan perhatian penuh.
"Bukan suprise dong kalau harus hubungin kamu dulu." Titania menekuk wajahnya merasa kesal pada sang ayah,melihat hal itu ayah Titania tertawa pelan sembari mendekat kesisi Putri kesayangannya.
"Engga mau peluk ayah nih? Apa engga kangen?" tanyanya saat sudah berada disisi Titania, ia segera berdiri dan memeluk erat sang ayah.
"Oleh-oleh aku mana yah?" gumamnya tapi masih mampu didengarkan oleh ayahnya.
"Ayah bawain kamu buku baru 10 dan...."
"Beneran?" Titania melerai pelukannya kemudian berjalan terburu-buru menuju lantai bawah rumahnya tanpa menunggu lanjutan ucapan ayahnya.
"Astagaaa abang pulang.... " ayah Titania tersenyum pelan ditempat kemudian berjalan menuju lantai bawah sepertinya putrinya itu menyukai suprise kedua yang ia bawa sampai-sampai harus berteriak senang seperti itu.
"Kalian lepas kangen aja ya. Ayah mau istirahat, capek banget soalnya!" ucapnya setelah sampai keruang tengah menemukan putrinya memeluk erat kakaknya. Tubuhnya sepertinya memerlukan istirahat maka dari itu ia memilih kekamar nanti akan bergabung lagi.
"Abang kok pulang engga bilang, kalian berdua kerja sama ya?" seseorang yang Titania panggil abang itu hanya tertawa kecil.
"Kamu tau engga buku yang ayah beliin untuk kamu kali ini itu tentang Bulan." Titania mengerutkan keningnya mendengar penuturan itu, masa iya 10 buku semua tentang bulan? Batinnya.
"Apa istimewanya Bulan?"tanyanya, tangannya ditarik ke teras depan dan mereka berdua duduk di ayunan sambari menatap bulan.
"Kamu tau engga? Bulan terbentuk sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu tak lama setelah bumi terbentuk. Tentang hal itu udah tau belum?
"Engga." jawab Titania ia memang tidak tau sudah berapa tahun Bulan ada di semesta. Sudah berapa lama ia Setia pada bumi.
"Hal itu memang engga terlalu penting tapi menurut abang itu penting. Bisa menambah wawasan kita tentang alam semesta lagian kamu kok yang katanya suka sama semesta masa hal sederhana kayak gini kok engga tau." Titania hanya meringis pelan, beginilah ia jika sudah berada didekat kakaknya segala sikap dingin dan judesnya menghilang entah kemana.
Derta Pandu, suadara kandung Titania yang kini menetap tetap di luar negeri saat ini sedang fokus mengejar gelar S2. Titania kira abangnya ini akan pulang 3 Bulan lagi tapi malam ini ia kembali dengan ayahnya.
"Kamu tau engga asal-usul bulan menurut penelitian itu darimana?" Titania menatap bulan yang kian meninggi diatasnya, selama ia hidup ia tak pernah berpikiran kesana. Asal-usul menurut penelitian itu darimana?
"hipotesis yang paling diterima saat ini menjelaskan bahwa Bulan terbentuk dari serpihan-serpihan yang terlepas setelah sebuah benda langit seukuran Mars bertubrukan dengan Bumi. Paham engga?" Perempuan itu hanya menggeleng pelan, Derta hanya menghembus napasnya, adiknya ini kadang lupa arti makna seperti itu.
"Yaudah. Kita bahas makna bulan yang lain menurut Abang aja." Titania yang tadinya bingung kini tersenyum senang bahkan sudah sangat siap mendengarkan perkataan abangnya ini, soalnya abangnya ini sangat pandai merangkai kata bahkan lebih ahli darinya.
"Bulan itu memilki sisi lain, yaitu hampa dan engga punya arah sama sekali!" ujarnya sambari menatap rembulan yang hanya terbentuk setengah saja bukan bulan Purnama
"Kok gitu bang! Bulan kan punya Bintang yang selalu nemenin lagian arah Bulan juga jelaskan yaitu memberikan sinar pada malam hari walaupun engga seterang matahari." tentu saja Titania kurang setuju dengan pandangan abangnya itu, ada beribu Bintang yang menemani bulan kenapa dia harus merasa hampa?
"Nia! Apa yang kita lihat belum tentu benar dan apa yang kita dengar belum tentu kenyataan. Bulan itu kesepian loh coba kamu kebulan emang disana rame seperti dibumi? Disana kosongkan?"
"Tapi kan Bang! Dari dulu bulan emang kayak gitu." Tangan Derta terulur mengacak rambut adiknya itu.
"Bang! Nanti rambut aku rusak." bukannya menghentikan kegiatannya Derta malah semakin mengacak rambut adik satu-satunya itu.
"Oh iya, semesta kamu apa kabar?" Laki-laki yang masih memakai kemeja panjang kotak-kotak berwarna biru putih dengan celana jeans hitam itu kembali teringat dengan laki-laki yang dikagumi adiknya yang selalu ia ganti namanya dengan nama 'semesta'
"Hayooo. Tadi bahas bulan kok malah pindah ke semesta sih." ucapnya setelah merapikan rambutnya yang diacak-acak oleh sang abang tercinta.
"Kamu kayak engga ngerti gitu Nia! Makanya abang pindah bahasan aja. Itu semesta kamu kabar?" Titania memang pernah membicarakan tentang ini pada abangnya tetapi hanya lewat telepon saja bukan tatap muka langsung seperti ini.
"Dia udah tau kalau Nia suka sama dia tapi Nia berusaha menjauh dan mengingatkan kalau kita engga bisa sama-sama terlalu banyak penghalang." Derta menarik adiknya kedalam pelukannya berusaha menyalurkan betapa besar kasih sayangnya untuknya.
"Engga ada perasaan Cinta berjalan mulus Nia, kamu harus melewati rintangan itu kalau memang kamu serius ingin bersama dia. Takdir memang yang menentukan tetapi terwujud atau tidak itu tergantung diri kita. Apakah benar-benar menginginkannya ataukah hanya sekedar ingin main-main saja." Derta sangat tau bagimana pemikiran pendek adiknya ini tapi jika dibiarkan terus-menerus akan menjadi bumerang tersendiri untuknya.
"Semesta tau perasaan kamu engga?" Titania yang tadinya menikmati pelukan hangat abangnya kini tersentak ketika, pertanyaan macam apa itu? Batinnya.
"Yaudah kalau kamu engga mau jawab, sana gih tidur udah malam. Besokkan kamu harus kuliah." Derta melepaskan pelukannya dan mengusap pelan rambut sang adik, padahal baru kemarin Titania belajar berjalan lalu hari ini sudah sebesar ini bahkan mungkin sebentar lagi akan menikah dan mempunyai keluarga kecilnya sendiri serta tanggung jawabnya sebagai abang terlepas.
Membayangkan hal itu saja membuat sudut hati Derta terasa nyeri, ia masih ingin menikmati waktu yang lebih lama lagi dengan Titania tapi tuntutan studi atau profesinya sebagai mahasiswa harus berada ditempat setiap saat.
"Yaudah, Nia masuk dulu." Derta hanya tersenyum melihat tubuh adiknya yang berlalu memasuki rumah.
"Belum cerita padanya?"