Bab 6 - Redup Nyata

1310 Words
"Tan? Kamu punya kembaran? Mana mungkin difoto itu kamu sedang sedaritadi kita sama-sama terus." Titania masih mematung ditempat tak menggubris pertanyaan kedua sahabatnya. Yang ada di fikirannya adalah bagaimana perempuan itu bisa sampai disana dan lagi! Melakukan hal diluar batas seperti itu. "Dibawah anak-anak pada kaget pas Kania nemuin artikel itu di hp-nya. Mereka nyuruh aku kesini untuk nanya langsung kak karena katanya cuman aku yang sedekat itu sama Kak Titania. Mereka cuman minta saya nanya apakah kakak punya kembaran?" Lerta kembali bersuara agar pertanyaannya segera dijawab karena jujur berada di tengah-tengah ketiga perempuan cantik ini membuatnya minder dan ditambah lagi muka judes Titania. Walaupun pernah dekat karena sempat mengikuti perlombaan dibidang yang sama tapi tetap saja Titania itu cukup menakutkan. "Lerta, mendingan kamu turun kebawah aja soalnya Titania engga mau jawab kayaknya. Dia kelihatan shock banget denger berita itu nanti kalau aku dapat informasi pasti kasi tau kamu kok. Lagian kaliankan udah tau kalau pelakunya bukan Titania toh kalian saksikan sendiri dia ada disini dari siang tadi." melihat keadaan yang masih Bungkam Deliana kembali bersuara menyuruh perempuan dua tingkat dibawahnya itu segera kembali kekamarnya. Karena sepertinya tak ada tanda-tanda dari Titania untuk bersuara. Lerta berjalan kearah Titania dan duduk bersebelahan dengannya mengambil jemarinya serta menggenggamnya dengan erat. Ia sudah siap jika harus mendengarkan cacian pedas perempuan itu tetapi percayalah melihat Titania bungkam tanpa suara seperti ini membuatnya gelisah. "Kak kami bukannya mau ikut campur akan tetapi berita ini sudah tersebar diseluruh fakultas bahkan di kampus ini. Mereka nuduhnya itu adalah kakak tapi kami tidak percaya karena kami melihat dengan jelas kakak di kampus satengah hari ini. Kami cuman membutuhkan kepastian agar nantinya bisa membela kakak didepan mereka," Titania yang sedaritadi berperang dengan fikirannya kini menoleh menatap Lerta dengan tatapan kosongnya. Apa yang harus ia katakan sebenarnya jika keadaan sudah tak terkendali seperti ini? "Kami sudah menganggap kakak adalah panutan kami. Aku, Serra, Kiana, Bayu, dan anak literasi lainnya siap membela bahwasanya itu bukan kakak." Lerta kembali melanjutkan ucapannya karena Titania masih linglung bahkan terlihat bingung dan ini pertama kalinya Lerta menemui ekspresi itu karena biasanya ia hanya memperlihatkan wajah datar dan malas serta tidak minat akan sesuatu. "Namanya Titalia." suara lirih dan bisikan itu kini terdengar jika biasanya nada bicaranya terdengar ketus maka sekarang tanpa nada sama sekali. "Titalia? Kembaran kamu Tan?" Aloka yang sadaritadi menyimak dan menelusuri artikel yang memberitakan pembunuhan itu kini mendongakkan kepalanya menatap Titania dengan wajah penuh tanda tanya. "Lebih tepatnya adik saya." lanjutnya lagi dengan pandangan menatap kosong meja kayu didepannya, kedua tangannya saling tertaut gelisah karena Lerta sudah melepaskan genggamannya beberapa menit yang lalu. "Dia dulunya sangat ceria bisa dibilang berbanding terbalik dengan sikap saya yang pasti kalian udah temuin dan kadang bikin kalian kesal." "Naah itu kamu tau." seru Aloka yang langsung mendapatkan tatapan peringatan dari Deliana untuk diam yang dibalas Aloka dengan dengusan malas. "Awalnya semuanya baik-baik aja. Kami bermain bersama bahkan kadang kala keluarga besar tak bisa membedakan mana Titania dan yang mana Titalia." ingatannya kembali saat semua keluarga besarnya berkumpul. Mereka malah salah mengenali perempuan kembar identik itu. "Fashion kami sama, bahkan mama selalu mengenakan kami pakaian yang sama tanpa ada perbedaan sama sekali tetapi satu yang bisa membedakan tanpa harus salah memanggil." Titania menghentikan ucapannya. Mencoba menahan gejolak rindu ingin kembali merasakan kenangan Indah bersama orang-orang itu. "Apa?" itu suara Deliana yang kini sudah duduk disofa bersama Aloka sedang Lerta hanya diam disamping Titania. "Warna mata kami berbeda, bahkan tidak sama warna tetapi mengenai yang lainnya semuanya sama. Lia memilki mata mama sedang saya memilki mata Ayah sesuatu yang kadang tidak disadari semua orang termasuk keluarga besar kami." "Waah beneran. Warna matanya engga sama!" Aloka berseru dan Lerta segera mengecek hp-nya segera membenarkan perkataan Aloka. "Tapi semua kebahagiaan itu hilang saat kejadian itu...." Titania tertunduk bahkan sebagian rambutnya kini menutupi wajahnya, dadanya bergemuruh saat kilasan menyakitkan itu datang tanpa diminta. "Pembantu kami berteriak dari luar padahal saat itu saya sedang membaca buku dikamar saat langkahku sampai disana saya menemukan mama bersimbah darah sedang Titalia terdiam ditempat bahkan bajunya sangat berantakan. Matanya menatap kosong kearah mama kami yang sudah tidak bernyawa." Titania tidak bisa manahan tangisnya, rasanya menyesakkan mengingat kembali kejadian mengerikan itu. Ia kira hal seperti itu hanya ada didalam setiap n****+ yang dibacanya. Hanya cerita fantasia ataukah khayalan tabu para penulis tetapi didepan matanya sendiri ia melihatnya. Aloka diam mematung apalagi membayangkan seseorang yang bersimbah darah seperti film action yang biasa ia tonton apalagi jika sang korban adalah mamanya? Deliana membekap mulutnya dan segera berdiri memeluk Titania untuk menguatkannya ia tidak bisa membayangkan jika hal itu sampai terjadi padanya. "Penyebabnya apa kak?"Lerta yang sedaritadi terdiam kini mengeluarkan suara. "Kami kira ayah adalah pahlawan kami tetapi nyatanya dia sangat serakah dalam berbisnis apapun yang dilakukannya untuk menjatuhkan lawannya meskipun harus membunuh sekalipun." Titania kembali terdiam berusaha mengatur napasnya yang kian sesak didalam sana. "Salah satu korban ayah tidak terima ia menyuruh pembunuh bayaran untuk menjatuhkan keluarga kami, tetapi ternyata para pembunuh itu juga mengambil kesucian Titalia hingga ia harus berakhir depresi dan kadang harus ditangani seorang psikiater." "Susah banget jadi kembaran kamu itu Tan! Udah liat mama kalian dibunuh lalu ditambah lagi dengan harus di lecehkan seperti itu." tentu saja itu suara Aloka, gimana kembaran Titania engga gila coba kalau harus di hadapkan dengan masalah besar kayak gitu, batinnya. "Ayah dirumah beda banget dengan ayah pas lagi di dunia bisnis itupun baru saya tau pas setahun mama pergi. Titalia selalu murung dikamar bahkan kadang teriak engga jelas didalam sana para keluarga besar kami engga ada yang bisa bantu soalnya ayah tutup akses masuk kedalam rumah." Titania masih mengingat dengan jelas saat sikap asli ayahnya ia lihat ternyata segila itu akan kekayaan. Bahkan ia menyimpan bodyguard didepan gerbang melarang orang lain masuk tanpa izinnya. Keluarga besarnya pernah datang bahkan ingin mengambil alih pengasuhan keduanya tetapi ayahnya menentang keras malah mengusir mereka. Titalia semakin menggila saat melihat laki-laki bahkan ayahnya sendiri. "Sampai saat ini engga ada yang tau siapa dibalik kejadian mengerikan itu." lanjutnya lagi. "Kadang saya merindukan kebersamaan kami apalagi Titalia sangat aktif dan sangat cerewet berbeda sifat denganku, terkadang saat saya masuk kedalam kamarnya ia memasang senyum lembut karena melihatku bahkan memelukku erat. tetapi kemudian bergumam kalau ia kotor katanya saya tidak boleh dekat dengannya. Ia mengusirku dari kamarnya sesekali melemparku apapun yang tangannya gapai." Deliana mengusap lembut punggung titania mencoba menenangkan sahabatnya itu. Jika menjadi Titalia mungkin sudah lama ia bunuh diri "Maka dari itu saya mencoba kuat, dingin pada semua orang untuk menutupi semua itu. Mencoba kuat agar mampu menguatkan Titalia yang kadang lepas kendali dirumah. Sebelum berangkat tadi ia baik-baik saja bahkan saat aku mengeceknya dikamar ia tertidur tenang tetapi bagaimana bisa ia melewati para bodyguard ayah hingga sampai-sampai membunuh orang seperti itu." Adiknya itu tadi sangat tenang bahkan ia saja heran melihat hal itu dan ia sangat ingat sebelum meninggalkan kamar bernuansa ungu itu kamarnya sudah ia kunci dengan baik. "Apa ada orang dalam yang ingin menjatuhkan keluargamu?" Titania mengerutkan keningnya mendengar ucapan Deliana, apakah mungkin? "Padahal di artikel ini ayah loh benar-benar Bagus loh penggambarannya. Panutan pebisnis banget ehh ternyata untuk meraih itu butuh jatuhin orang toh." Aloka berdecak kagum melihat deretan kalimat yang ia baca, karena sedaritadi sambari mendengarkan cerita Titania ia juga sibuk mencari latar belakang perempuan itu dan tak ada berita tentang pembunuhan ataukah sahabatnya itu mempunyai kembaran karena yang ada hanyalah pujian serta gambaran sempurna ayah Titania. "Lerta, kamu cukup bilang sama mereka kalau itu kembaran saya aja engga perlu sampai bahas cerita saya tadi. Bilang aja dia depresi gitu tapi kabur dari rumah." Sebagai Lerta hanya mengangguk pelan kemudian pamit turun ke kamarnya. Setelah punggung Lerta menjauh Aloka melempar hpnya kearah ranjang. Sedang Deliana kembali mengambil buku novelnya untuk melanjutkan bacaannya. "Lo emang paling pinter main drama Tan! Dan anehnya gue dan Delia ikutan Juga." Titania hanya tertawa pelan ditempat. Drama yang menguras tenaga.  "Hampir aja ketahuan." gumamnya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD