***
"Dia menabrak seseorang saat umurnya masih 17 tahun hingga korbannya harus merelakan hidupnya duduk dikursi roda semasa hidupnya." abani mengerjapkan matanya berkali-kali mendengar perkataan Fiona mengenai Titania.
"Pas SMA, Bintang selalu membawa mobil kesekolah tetapi hari itu ia buru-buru pulang karena Derta katanya ada dirumah. Tetapi karena kurang fokus Bintang menabrak seseorang di dipinggir jalan. Orang itu bahkan sempat koma beberapa minggu hingga akhirnya membuka pejaman matanya dan harus menerima kenyataan jika kakinya lumpuh." mata perempuan paruh baya itu berkaca-kaca saat mengingat betapa hampanya bahkan betapa rasa bersalahnya Titania saat itu.
"Aku sebenarnya tidak tau tentang hal ini tetapi saat berkunjung kerumah Hendrik, aku mendengar Titania berbicara jika orang itu telah sadar jadinya aku membuntutinya ternyata menuju rumah sakit. Hingga akhirnya aku tau dan akulah yang mengurus semuanya."
Fiona masih mengingat dengan jelas bagaimana keluarga korban sangat tidak terima dengan apa yang terjadi pada anaknya bahkan sempat ingin melaporkan Titania pada pihak kepolisian tetapi fiona mencoba bernegosiasi hingga akhirnya mereka setuju asalkan Titania bersedia membiayai semua kebutuhan korban itu.
"Bintang selalu merasa bersalah bahkan sering murung, dia memohon padaku untuk tidak memberitahukan mengenai kejadian itu. Tetapi aku tak pernah menyangka jika kejadian itu ternyata menjadi ketakutan terbesar untuknya apalagi ditambah mengenai kasus bullying itu."
Abani hanya diam, mencoba mendengarkan semuanya tanpa terlewatkan sama sekali. Mencoba memahami apa yang terjadi pada Titania. Jika mendengar ceritanya maka Abani bisa menyimpulkan apa yang terjadi Titania dan apa yang Titania lakukan adalah hal yang perlu dimaklumi. Memangnya siapa yang tidak depresi bahkan melukai diri sendiri jika mengalami hal seperti itu.
"Apa keluargamu akan menerima Titania? Bagaimana jika mereka menentang hal ini? Umur kalian sudah tidak memungkinkan untuk main-main?" tanyanya kemudian menatap abani dengan pandangan ingin tau.
"Pertanyaan pertamanya adalah apakah Titania ingin bersamaku eyang? Aku sudah berkali-kali mengajaknya untuk memiliki kejelasan tetapi dia bungkam." itu benar, abani sudah berkali-kali membahas hal ini pada Titania tetapi selalu dijawab dengan pertanyaan lain.
"Bintang bukan tipe perempuan main-main dengan perasaan seseorang nak! Jika dia sudah menyukai seseorang maka dia akan serius bahkan Setia dengan orang itu. Jangan pernah meragukan perasaannya kamu bisa melihat itu sendiri." ia takkan pernah salah dalam menilai Titania karena yang merawat Titania sejak kecil adalah Fiona maka penilaiannya takkan pernah salah.
"Beberapa waktu lalu Derta memintaku untuk mencari tau kenapa Titania sering melukai dirinya sendiri. Kenapa eyang tidak bercerita langsung padanya?" Abani jadi teringat mengenai hal itu, kenapa keluarga ini begitu rumit? Harus saling merahasiakan satu sama lain.
"Bintang tidak mau mereka tau. Tapi ternyata sejauh apapun kami menyembunyikan tetap akan diketahui juga." fiona mengecek ponselnya ternyata sudah lama ia berbincang dengan Abani.
"Yaudah. Eyang balik kedalam dulu ya!" fiona berdiri meninggalkan abani ditaman rumah sakit sendiri karena sepertinya laki-laki itu masih shock atas apa yang fiona ucapkan tadi.
****
Abani menatap nanar ponselnya yang tadinya berbicara dengan Titania tetapi perempuan itu malah mematikan ponselnya secara sepihak tanpa kata sama sekali.
Ingatannya kembali saat eyangnya Titania menceritakan tentang kecelakaan itu, Titania merasa bersalah karena telah membuat orang lumpuh ditambah lagi dengan kasus bullying-nya. Titania akhirnya memilih melampiaskan tekanan batin itu dengan menggores lengannya secara acak.
"Abani? Engga keluar? Tumben mager dirumah?" abani sontak terduduk di ranjangnya saat mendengar suara malaikat terbaiknya.
"Engga Bun, masuknya siang nanti!" ujarnya dengan senyum indahnya.
"Kamu kayak banyak pikiran gitu? Ada apa hm?" perempuan berkerudung hitam itu duduk di dekat anaknya. Menatap sayang putra keduanya.
"Bun? Aku lagi suka perempuan tetapi perempuan itu mempunyai trauma." Helma tersenyum lembut mendengar perkataan anaknya.
"Nak! Ayah kamu menyuruh kamu memilih perempuan memang yang kamu inginkan dan begitupun sebaliknya. Dan yang paling utama agamanya islam. Masalah dia punya trauma atau tidak itu urusan kalian berjuang." melihat putranya masih terlihat gelisah Helma menarik lembut jemarinya dan mengenggamnya.
"Kamu, semuanya tergantung bagaimana kamu berjuang untuk membuat perempuan itu percaya bahwasanya bersama kamu tidak akan membuatnya mengalami apa yang ia takutkan. Bersama kamu takkan membuatnya lebih jatuh lagi. Bunda nanya, kamu benar-benar serius dengan dia?" matanya fokus menatap Mata abani mencoba mencari keseriusan anaknya pada perempuan yang katanya disukainya itu.
"Keluarganya sudah mengenalku Bun! Bahkan keluarganya bertanya padaku apakah keluarga kita mau menerima dia?"
"Namanya siapa?" tanya Helma
"Titania Bun!"
"Titania? Lerta bilang sama bunda katanya jika kamu meminta restu tentang dia bunda engga boleh restuin. Dia punya keluarga yang sangat berantakan bahkan ibunya sudah meninggal dan lagi dia punya kakak yang menderita depresi." abani memijat keningnya mendengar penuturan Bundanya dan tidak menyangka Lerta bertindak sejauh itu.
"Ibunya masih hidup kok Bun! Cuman tidak serumah aja dan mengenai kakaknya mereka berdua itu kembar. Kakaknya tidak depresi bahkan dia sehat-sehat aja." Helma mengembuskan napasnya lega mendengar hal itu karena ia yakin abani takkan pernah membohonginya.
"Dia cantik?"
"Kok bunda nanya tentang itu sih?" Perempuan lembut itu tertawa kecil melihat abani terlihat salah tingkah .
"Bunda nanya baik-baik loh kok malah protes gitu!" helma hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat anaknya yang terlihat mengemaskan seperti ini.
"Lain kali bawa dia kesini ya! Bunda mau kenalan." pintanya, karena ia cukup penasaran bagaimana perempuan yang berhasil memikat hati anaknya.
"Penampilannya tidak seperti bunda. Jika itu yang bunda harapkan." ujarnya pelan.
"Uusshh! Bunda engga ngomong soal penampilan tetapi mengenai bagaimana sikap dia. Bagaimana wajahnya hingga berhasil memikat hati anak bunda ini." laki-laki yang Masih memakai kaos oblong putih itu hanya bisa diam. Merasa takut jika bundanya malah heran jika melihat penampilan Titania nanti.
"Bun! Dia engga nutup aurat kayak bunda loh!"
"Memangnya kenapa sih! Yang pengen bunda tau sikapnya abani, bukan penampilannya."
"Sikapnya cuek banget Bun! Tapi engga tau kalau bicara sama bunda gimana?"
"Yaudah, Bunda keluar dulu. Kapan-kapan bawa dia kesini. Ketemu bunda." Helma mengelus pelan rambut abani setelahnya melangkah keluar.
Abani menatap nanar ponselnya kembali berharap pesan dari Titania datang menjelaskan kenapa perempuan itu langsung mematikan komunikasi mereka tadi. Padahal abani masih ingin mendengar apa yang akan perempuan itu katakan padanya.
Semalam setelah eyangnya Titania berlalu abani masih diam ditempat mencoba memaklumi setiap hal yang baru saja ia dengarkan. Abani jadi ingin bertemu dengan seseorang yang Titania tabrak itu. Tapi bagaimana caranya?
TING.
Dengan cepat ia membuka aplikasi w******p-nya berharap yang mengirimkannya pesan adalah Titania tetapi setelah melihat namanya ekspresi wajahnya berubah menjadi murung bahkan lesu. Kecewa mungkin.
Yang masuk hanyalah pesan para anggotanya di eskul rohani, memang beberapa hari ini kegiatannya sedang padat karena kampus ingin mengadakan pengajian besar-besaran dan selaku ketua eskul-nya abani harus turun tangan.
Tetapi karena masalah Titania kemarin, abani izin dan alhamdulillah anak-anak memaklumi hal itu. Mereka bahkan mensupport abani agar menjaga kesehatan selama izin itu berlangsung.
Berpikir tentang Lerta membuatnya sedikit geram dan kesal tetapi karena sadari kecil ia selalu diajarkan untuk tidak melakukan hal jahat dan diluar batas pada seseorang maka abani membiarkan Lerta melakukannya tetapi sejauh apapun Lerta mencoba bundanya takkan percaya. Karena sebenarnya semenjak Lerta memilih keluar dari rumah ini dan menjadi orang asing sikapnya berubah bahkan enggan rutin mamakai jilbab. Dan bunda abani tidak suka dengan hal itu.
Bundanya memang tidak menyukai lerta bukan berarti harus menolak kedatangannya dirumah ini. Bundanya juga tidak pernah memaksakan kehendak perempuan itu karena perjanjian dalam surat adopsi hanya sampai berumur 18 tahun dan sekarang sudah berumur 20 tahun.
Lerta memilih bebas tanpa kungkungan keluarga abani sedangkan ayah abani cukup memakluminya tidak memaksanya untuk tingal apalagi memenuhi kehendaknya. Padahal bundanya berharap lerta ingin tinggal dan memakai pakaian syar'i sebagaiman yang ia ajarkan sejak kecil.
Ting.
Abani mengecek ponselnya kembali dan ternyata pesan dari kedua sahabatnya yang menanyakan kapan abani berangkat ke kampus
Matanya menatap jam, masih pukul 10 lewat masuk kampus masih lama. Apakah ia menjenguk Titania saja kerumah sakit sekaligus mempertanyakan mengenai pembahasannya dengan Titania tadi. Atau bisa juga meminta pada eyang Titania untuk memberinya alamat korban tabrakan Titania beberapa tahun lalu.
Pantas saja Titania selalu diantar oleh abangnya atau mungkin supir rumahnya ternyata karena kejadian itu. Tetapi abani sesekali juga menemukan Titania menyetir walaupun itu hanya beberapa kali saja.
"Lebih baik aku kekampus saja, mengecek sudah sampai mana persiapan acara itu." gumamnya pelan. Iapun berdiri tetapi baru beberapa langkah ponselnya kembali berbunyi.
Keningnya berkerut membaca pesan orang itu. Menyuruhnya untuk bertemu bahkan katanya sangatlah penting. Apakah ini mengenai fakta baru Titania lagi?
Tetapi apa? Kenapa setiap rahasia yang terungkapnya spertinya abani selalu terlibat didalamnya? Apakah Allah ingin abani tau mengenai perempuan itu? Apakah dia dan Titania memang ditakdirkan bersama makanya abani harus mengetahui semuanya?
Setelah berfikir selama beberapa detik abani membalas pesan orang itu kemudian menatap jam sejenak. Setidaknya dia bisa menemukan jawaban demi jawaban yang ia inginkan bukan malah tergantung dengan rasa penasaran yang cukup besar. Setidaknya abani bisa mengetahui lebih detail lagi tentang Titania bukan menjadi orang yang tidak tau apapun.