"Panti asuhan?" tanyanya saat melihat papan nama yang terpasang di teras bangunan.
"Iya kak, salah satu anak yang membully titania ada didalam." Derta, yang memang sadari tadi mengikuti pengarahan Deliana untuk pergi ke suatu tempat kini memperlihatkan wajah bingungnya.
"Engga mungkin, mereka bertiga itu semuanya orang berada. Bahkan dulu mereka ingin membayar ayah aku untuk bungkam tetapi ditolak." tentu saja ia masih mengingat hal itu, apalagi saat lulus smp Derta kembali membahas hal itu dengan Hendrik dan ayahnya hanya mengatakan biarkan saja, biarkan mereka menjalani kehidupannya masalah trauma titania kita akan menemaninya sampai sembuh.
"Itukan dulu kak, inikan udah jalan berapa tahun? Sekarang aja keluarga kakak udah mapan engga seperti dulu kan?" jelasnya, matanya mengedar menetap sekitar mencari penjaga panti asuhan ini. Karena setahunya jika jam segini ia akan duduk diteras tetapi ini sepi.
"Dia mana ya?" gumamnya.
"Dia siapa?" Deliana membalikkan badannya menatap Derta yang kini juga sedang menatapnya dengan pandangan bertanya.
"Penjaga panti, biasanya sih kalau jam segini dia duduk diteras nikmatin angin pagi. Tapi kok engga ada ya!" jawab Deliana, sedang Derta hanya menggeleng pelan karena tentu saja dia tidak tau.
Perempuan dengan rambut panjang serta dres maronnya ditambah sweater hitamnya kini berjalan kesisi bangunan, mencoba mencari seseorang yang bisa ditemui karena jarang sekali tempat ini sepi seperti ini, biasanya setiap ia datang anak-anak panti pasti sedang bermain dihalaman depan, dan penjaga pantinya memantau ditempat.
Melihat Deliana menjauh laki-laki jangkung itu lebih memilih duduk di teras depan, karena dia benar-benar tidak tau mengenai tempat ini dan ini pertama kalinya Derta menginjakkan kakinya dipanti asuhan.
"Kakak siapa?"
Derta mendongakkan kepalanya menatap perempuan muda yang ia perkiraan berumur sama dengan Titania. Hanya pakaian biasa yaitu baju lengan panjang lusuh serta rok selutut itupun warnanya sudah memudar. Rambut yang dicepol asal serta wajah alami tanpa make-up sama sekali.
Cantik, batin Derta.
"Kak? Kok ngelamun sih! Aku tanyain baik-baik. Hayoo mikirin apaan?" spontan Derta tertawa kecil melihat betapa cerianya perempuan itu, apalagi dengan wajah cantiknya.
"Tadi kamu nanya apa?" mendengar hal itu perempuan itu berdecak kesal,
"Tuh kan! Beneran ngelamun. Ganteng-ganteng kok suka ngelamun sih." melihat sikapnya ini Derta bisa simpulkan jika perempuan yang masih berdiri didepannya itu adalah perempuan yang mudah bergaul, lihat saja sekarang.
"Tadi aku nanya, kakak siapa?" karena tak mendaptkan respon apapun, ia kembali bersuara mengulang pertanyaan pertamanya tadi.
"Aku Derta, tadi sama Deliana tapi kayaknya dia kesamping katanya nyari penjaga panti." jelasnya.
Perempuan itu menegang mendengar nama laki-laki itu, apakah mungkin dia adalah kakak perempuan itu? Lalu apa yang dia lakukan disini? Apakah ingin menuntut tentang kejadian belasan tahun lalu?
"Nah! Cantik-cantik kok ngelamun." perempuan itu tersentak mendengar seruan laki-laki yang katanya bernama Derta itu, laki-laki itu bahkan kini tertawa kecil.
Ia menyimpan belanjaannya dimeja lalu duduk dikursi kosong. Menatap derta dengan lekat mencoba mengingat kembali apakah benar dia adalah kakak perempuan itu sesuai dugaannya atau tidak.
"Aku tau kok aku ganteng, tapi ngeliatinnya engga kayak gitu juga." Derta rasanya ingin menertawakan diri sendiri mendengar ucapannya barusan, kenapa bisa ia senarsis ini.
Sedang perempuan itu kini berhenti menatap Derta, malah menampakkan wajah ingin muntah mendengar betapa narsisnya laki-laki itu. Tetapi seingatnya kakak perempuan itu sedikit cuek bukan mudah tertawa seperti ini.
"Kesini sama Deliana?" tanyanya yang dibalas anggukan oleh Derta.
"Deliana emang biasa kesini sih! Bahkan hampir tiap hari selalu bawa roti dari toko bundanya bahkan rumahnya cuman beberapa menit dari sini. Mungkin dia lagi ke belakang nyari ibu panti soalnya hari ini anak-anak pada keluar jalan sama donatur maka dari itu ibu panti milih ngatur bunga ditaman belakang." Tentu saja ia mengenal deliana, perempuan yang sangat sopan, lemah lembut, mudah tersenyum. Sangat mudah bergaul dengan anak-anak panti.
"Itu berarti kamu kenal Deliana udah lama?" iya juga sih, derta membenarkan. Sahabat adiknya itu memang luar biasa baik berbanding terbalik dengan sikap Titania.
"Kenalnya pas umur 16 tahun kayaknya, dia dateng kesini bareng bundanya tapi ya gitu. Dia awalnya agak kaku karena kata bundanya Deliana itu jarang ada temennya. Butuh waktu beberapa bulan baru bisa temenan sama dia. Tapi katanya dia suka sama orang kalau engga salah namanya Keno dan laki-laki itu gondrong punya sahabat yang bernama abani dan Saputra." jelasnya,
derta mengangguk-anggukan kepalanya mendengar cerita perempuan cantik didekatnya, walaupun berpenampilan sederhana tetapi senyumnya itu loh. Kadang bikin Derta terpesona apalagi saat bercerita tadi Derta tidak terlalu mendengar apa yang ia ucapkan, Derta hanya fokus menatap betapa menariknya perempuan ini.
"Penampilanku kampungan banget ya! Sampai kakak gitu amat liatnya." ucapan itu membuat Derta gelapan karena ketahuan memandang perempuan itu.
"Engga kok. cantik." ia rasanya ingin memukul bibirnya pelan karena spontan mengucapkan kata itu. Perempuan itu bisa salah paham nantinya.
"Kakak siapanya Deliana? Karena kalau si Keno itu engga mungkin deh! Soalnya Deli pernah cerita jika laki-laki itu gondrong. Oh iya aku lupa! Nama kakak-kan Derta." ia menepuk keningnya pelan,
"adikku sahabatan sama Deliana, katanya Deliana tau salah satu anak yang pernah membully adikku tinggal disini makanya diajak kesini untuk ketemu. Aku sih engga dendam engga tau tujuan Deliana apaan ngajak aku ketemu sama dia!" memang seperti itu, Derta tidak tau apa tujuan sahabat adiknya itu membawanya kemari jika mengenai dendam atau engga Derta sudah tidak mempermasalahkan. Dia sudah dewasa bukan waktunya bersikap seperti itu.
Perempuan itu menegang bahkan tangannya gemetar, ternyata dugaannya benar. Laki-laki ini benar-benar kakak perempuan yang dulu pernah ia sakiti atas dorongan temannya yang lain dan kejadian itu adalah hal yang takksn pernah ia lupakan sampai kapanpun.
"Kakak dendam sama orang itu?" tanyanya dengan mencoba menormalkan suaranya agar tidak terdengar gemetar.
"Aku tuh udah dewasa, bahkan udah umur segini. Pas smp aku marah atas itu tetapi setelah mendengar penjelasan ayahku katanya dimaklumi aja. Yaudahlah gitu aja engga usah dipikirin lagi, walaupun sampai saat ini adikku masih trauma bahkan tiap malam mimpiin kejadian itu." dendam itu sudah lenyap bahkan menghilang entah kemana, yang ada dipikirannya hanyalah kesembuhan Titania bukan balas-membalas hal yang tidak perlu lagi.
"Tetapi dia sudah membuat adik kakak trauma." ucapnya lagi, ingatannya masih berputar tentang kejadian itu dan hal itulah yang mengubah nasibnya
"Mereka melakukannya saat masih sangat kecil, itupun kata ayahku mereka melakukannya dengan bermodalkan apa yang sudah mereka tonton. Itu berarti mereka juga korban dan adikku mungkin sudah nasibnya seperti itu. Mengenai marah atau tidak, memangnya siapa yang tidak Marah jika salah satu keluargamu diperlakukan seperti itu? Adikku Juga tidak dendam kok dia hanya trauma karena memang takut gelap dan suara hantu itu." jelasnya lagi, didalam hatinya memang tidak ada dendam sama sekali walaupun sempat ingin melaporkan ke pihak kepolisian tetapi alhamdulillah ayahnya memberikan pengertian dengan baik jika tidak maka derta akan menyesali hal itu.
"Kenapa kakak tidak melaporkan ke pihak kepolisian secara diam-diam?" tanyanya lagi, ia menoleh menatap Derta sedang laki-laki itu menatap hamparan halaman panti asuhan. Jadi otomatis yang ia lihat adalah wajah dari samping Derta.
"Awalnya aku ingin melakukan itu tetapi ayahku sudah memberiku penjelasan bahwa anak-anak itu tidak tau menahu tentang hal seperti ini, katanya lagi yang perlu ditegur adalah orang tuanya kenapa memberikan tontonan seperti itu pada anak-anak yang baru saja memasuki sekolah dasar. Tapi aku bersyukur karena tidak melakukannya karena hampir saja aku merusak masa depan seseorang." Derta menoleh menatap perempuan cantik yang duduk tak jauh darinya hanya terpisah meja kecil. Tersenyum lembut hingga membuat perempuan itu tersentak.
Merusak masa depan seseorang katanya? Lalu apa yang anak-anak itu telah lakukan pada adiknya? Bukankah itu merusak masa depannya juga? Anak-anak itu telah membuat adiknya trauma hingga harus menjadi mimpi buruk setiap malamnya.
"Ketrina, kamu sudah bertemu Kak Derta. Padahal baru mau aku kenalin." suara lembut Deliana membuat perempuan yang ternyata bernama Ketrina itu menegang, bahkan tangannya semakin gemetar.
"Ketrina? Namamu Ketrina. Mengenalkan?" kening Derta berkerut bingung, kenapa dia harus kenalan dengan perempuan ini.
"Iya namanya Ketrina, dia salah satu orang yang membully Titania saat kecil dulu." jelas Deliana
Derta sontak berdiri menatap kaget kearah perempuan yang sadari tadi berbincang dengannya. Derta dapat melihat perempuan itu memejamkan matanya bahkan sudah menangis sedang jemari perempuan yang katanya membully adiknya itu kini gemetar seakan sangat takut padanya.
Harusnya sadari tadi derta sudah bisa curiga karena perempuan itu terus saja bertanya tentang dendam, tetapi ia anggap itu hanya rasa penasaran saja tetapi ternyata dia salah satu pelakunya.
Mencoba mengendalikan dirinya, Derta duduk kembali. Ia tidak dendam hanya tidak menyangka jika perempuan yang beberapa menit yang lalu ia puji bahkan mungkin ia sudah kagumi adalah salah satu penyebab adiknya depresi.
"Aku benar-benar tidak percaya ini!" gumamnya pelan.
"Maaf kak, jika ingin menamparku bahkan mencaciku bahkan menyeretku ke kantor polisi sekarang bisa kakak lakukan, jika in-"
"Aku tidak sejahat itu Ketrina." potong Derta cepat.
"Bagaimana bisa takdirmu berubah seperti ini?" lanjutnya lagi.