Bab 4 - Galaksi Antar Kita

1090 Words
Sadari tadi ia hanya mengerutkan keningnya bingung entah apa yang sedang difikirkan karena saat ini nalarnya sulit memahami kejadian dikampus tadi. Perempuan itu? Bisikan lirih itu? Bahkan wajah itu? Dia adalah penyiar yang dicari-carinya selama beberapa waktu tetapi ada yang menganggu fikirannya. Jika benar perempuan itu adalah penulisnya apakah yang ditujukan dalam kertas itu adalah dirinya? Apakah setiap bait yang yang abani cukup kagumi itu memang diperuntukkan untuknya hingga perempuan itu memanggilnya dengan sebutan langka itu, tetapi kenapa harus abani? Bukankah banyak lelaki diluar sana. Apakah kata-kata itu harus ia pahami hingga mengerti bagaimana skenario yang sedang terjadi. Kenapa perempuan itu memanggilnya semesta? Kenapa lirihan seperti bisikan itu malah membuatnya berfikir keras seperti ini, apakah sebenarnya kertas-kertas ini memang ditujukan untuknya bukan untuk dipajang di papan pengumuman. Apakah benar perkataan Saputra jikalau itu adalah cara perempuan itu memberitahunya soal perasaannya tetapi, tetapi dan tetapi. "Arrgghh." Abani mengacak rambutnya frustasi. Praduga dalam otaknya banyak sekali, tetapi jika diingat kembali perempuan itu cantik walaupun agak malas akan lingkungan sekitar. "....Semesta, aku hanya ingin mengajak takdir bekerja sama tetapi nyatanya dia tak ingin malah membiarkan kita saling berlalu saja.." Kertas berukuran segi empat itu disimpannya kembali setelah membaca kalimat penuh makna disana, ada senyum yang hadir saat mengingat ejaan kata itu. Saling berlalu? "Apa kita sering saling berlalu hingga kamu menyimpulkannya seperti itu?" tak ada jawaban malah yang ada hanyalah desiran angin malam. Apa raga keduanya memang pernah saling melangkah ditempat yang sama hanya saja abani yang tidak terlalu memperhatikan dunia sekitar, apa perempuan penulis itu pernah ada di sekitarnya hanya saja abani lupa akan hal itu. "Kau belum tidur?" Abani menoleh menemukan kakak pertamanya sedang berdiri diambang pintu. "Kau mempunyai pengagum rahasia?" tak peduli Abani menjawab pertanyaannya atau tidak. Kakinya Melangkah ke meja belajar adiknya. "...asal kamu tau semesta, dengan melihat senyummu saja sudah membuatku senang tanpa batas. Percayalah..." "Pinter banget dia Ab, gue aja anak sastra engga pinter buat hal kayak gini. Kayaknya dia beneran suka sama lo deh." Denta, laki-laki akhir semester itu berdecak kagum akan kepiawaian penulis dalam menyajikan kata-katanya. Mungkin menurut semua orang itu hanya perkataan bucin atau biasa dikenal b***k Cinta tetapi bagi anak sastra sepertinya ini adalah hal luar biasa. Ia menggunakan hal sederhana menjadi sesuatu banyak makna. "Menurut kamu itu Bagus bang?" setelah lama terdiam kini Abani mengeluarkan suaranya. Mempertanyakan apakah itu benar-benar luar biasa atau hanya ungkapan perasaan. "Ab, disini lo disebut semesta? Lo tau artinya engga?" Abani hanya menggelengkan kepalanya pelan. Dia benar-benar tidak tau yang dipikirannya semesta ya semesta itu aja engga lebih. "Ckck... Disini ia posisiin lo sebagai semesta. Coba lo liat bagaimana semesta? Luas dan banyak gunanya terus yang sangat penting adalah menusia tanpa semesta itu engga bisa hidup. Dan sampai sini lo paham engga?" "Masa penjabarannya sepanjang itu sih?" Denta hanya memutar bola matanya malas lalu melangkahkan kakinya keluar dari kamar adiknya itu. Percuma menjelaskan sampai 10 bab adiknya itu engga bakal paham kecuali orangnya sendiri yang bilang langsung pada Abani bukan melalui teka-teki kata seperti itu. Melihat abangnya berlalu Abani hanya menghela napasnya berat. Abangnya itu suka sekali mengartikan sesuatu dengan cara berlebihan mana mungkin perempuan itu menganggapnya dunianya? Dengan melihat senyumnya saja perempuan itu sudah bahagia? Perkataan konyol macam apa yang sedang ditulisnya. Daripada ia memikirkan sesuatu yang tidak jelas alangkah baiknya jika ia tidur dan istirahat. "Selamat malam Titania, aku tak menyangka jika penyiar itu adalah dirimu." gumamnya sambari membereskan kertas kecil yang berhamburan diatas meja belajarnya. "....jangan lupa beristirahat semesta, kulihat beberapa akhir ini jadwalmu begitu padat..." Kertas terakhir yang belum ia masukkan kedalam kotak kecilnya. Abani membacanya sebentar dan senyumnya datang, matanya menatap jam yang tergantung sudah pukul 22:40. "Titania," ucapnya sambari membaringkan tubuhnya di ranjang. Padahal pertama kali membaca tulisannya ia kira perempuan itu adalah perempuan feminim dengan wajah yang selalu dihiasi senyuman dan Juga kelembutan. Tetapi perempuan itu adalah keterbalikan atas pemikirannya benar-benar kejutan yang luar biasa. Wajah datar tanpa hiasan senyuman dan ditambah lagi perempuan itu sangat malas mengurusi lingkungan sekitar bisa dibilang dia sangat 'bodoamat' akan itu. Selagi semuanya tidak menganggu kenyamanannya maka silahkan lakukan kegiatanmu masing-masing. Kenapa Abani bisa berkesimpulan seperti itu? Ini hanya feeling-nya entah bagaimana sikap asli perempuan itu? Apakah mulai besok ia harus mendekati perempuan penyair itu? Tetapi apakah Titania ingin menyambutnya dengan baik? Takutnya nantinya perempuan itu malah merasa terusik dan terganggu. ***** "Del, kita ke mall nanti yuk!" Deliana menoleh kearah Aloka dengan tatapan 'really?' "Kemarin itu saya engga puas apalagi ngelihat muka malasnya Titania." seakan mengerti arti tatapan Deliana, Aloka melanjutkan ucapannya "Hush. Dia juga temen kita alias sahabat kita jadi jangan bicara kayak gitu." Aloka menempelkan sisi pipinya pada meja. Kemarin adalah hal yang paling buruk untuknya dari sekian banyaknya agendanya jalan-jalan serta shopping di Mall. "Tan, saya mau ngasi tau kamu satu fakta." Titania yang sadari tadi membaca buku kini mendongak menatap Aloka yang menatapnya dengan wajah berbinar. "Apaan." tanyanya malas. "Tanyanya yang semangat dikit napa! Kayak engga niat banget dengernya." serunya kesal, kadang Aloka berfikir bagaimana caranya dulu mereka bisa berteman bahkan bersahabat "Emang engga niat sih." Mata Aloka melotot bahkan sudah seperti ingin keluar dari sana, Deliana yang melihat itu hanya menghembuskan napasnya lelah. "Duhh kalian berdua bisa engga sih diem dulu, kepala aku pusing ini." Aloka hanya mendengus kesal sedang Titania melanjutkan bacaannya yang sempat tertunda tadi. Aloka kembali menempelkan pipinya pada meja sambari memejamkan matanya, mencoba meredakan kekesalannya atas sikap 'bodoamat' sahabatnya itu. "Pokoknya saya engga mau tau. Nanti kita ke mall lagi tanpa ngajak simuka malas. Titik" Titania menyimpan bukunya didalam tas lalu berdiri melangkah keluar dari kelas. Deliana dan Aloka mematung ditempat. "Kamu buat dia marah Aloka, dia pasti lagi jalan ke basecamp. Nanti kalau dia buat anak-anak sekarat gimana." Deliana gusar masalahnya Titania jika dalam mode emosi maka ia akan diluar 'kendali' "Alah kelamaan mikir." jengah melihat Deliana yang hanya diam ditempat Aloka memilih berlari keluar kelas sambari menenteng tas slempangnya. Engga boleh ada korban lagi.batinnya sedang matanya mengedar mencari Titania sebelum hal yang paling ditakutinya terjadi cukup kejadian beberapa bulan lalu menjadi hal yang tak bisa Aloka lupakan sampai kapanpun. Aloka terdiam ditempat melihat sosok Titania sedang dihadang oleh laki-laki yang disapa oleh Deliana kemarin. Apa mereka punya hubungan terlihat sekali Abani menatap lekat Titania sedang sahabatnya itu berusaha melewatinya tetapi tidak diijinkan. Jika Titania melangkah kekiri maka ia juga melangkah kekiri begitupun seterusnya. Bahkan para mahasiswa lain melihat mereka sedikit dengan pandangan bertanya. "Kamu cepet banget sih larinya capek aku ngajarnya." Aloka tidak memperdulikan ocehan Deliana matanya hanya fokus menatap dua insan didepan sana. "Kamu ngeliatin apasih... What? Kak Abani dan Titania?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD