Bab 23 - Bermainnya Arah Bulan

1329 Words
"Apa sebaiknya Bintang dilarang keluar dulu?" "Bu, Nia udah dewasa bukan anak belasan tahun yang harus dijelaskan ini itu. Nia sangat tidak suka diatur Bu!" Fiona menghela napas dalam-dalam mencoba meredakan kegelisahan dalam hatinya. Ia ingin Bintang yang ia rawat sejak kecil tetap bahagia bukan dipermainkan oleh ibu kandungnya sendiri. "Aku sangat tau apa alasan perempuan itu kembali Drik, dia pasti sudah mendengar bagaimana perkembangannya perusahaan yang kamu kelola dengan Derta. Dia pasti ingin menggunakan Bintang sebagai pion untuk mendapatkan sebagian harta itu." "Bu... Jika memang pada akhirnya seperti itu aku sangat tau bagaimana Nia! Dia mana mungkin mau dijadikan alat harta oleh Clara. Nia sudah dewasa bahkan diluar ekspektasi kita sendiri." Hendrik mencoba menjelaskan pada Fiona agar ibunya itu tidak mengkhawatirkan sesuatu yang memang tidak perlu di fikirkan. "Eyang! Derta akan selalu ada untuk Nia apalagi aku sedang dalam masa cuti kuliah jadi selama aku disini maka perempuan itu takkan menyentuh Titania." Derta yang sadari tadi diam kini bersuara mencoba menenangkan malaikatnya. Titania yang sebentar lagi tiba di ruang makan mengentikan langkahnya mendengarkan bagaimana khawatirnya Fiona padanya, bagaimana khawatirnya eyangnya karena hadirnya perempuan itu kembali ditengah-tengah keluarganya. "Aku makannya dikampus ya, didepan udah ada sahabatku. Duluan." hanya itu yang Titania ucapkan sebelum berlalu meninggalkan ruang makan. Hari ini sebenarnya masih lama masuk jam pelajarannya tetapi karena kedua sahabatnya ingin sarapan bersama makanya ia Buru-buru keluar rumah menemukan mobil Aloka sudah terparkir dipinggir jalan Raya. "Lama banget sih." gerutuan Aloka menyambut Titania saat masuk kedalam mobil. Sedang Deliana hanya tersenyum ditempat. "Kita makan dimana nih?" tanya Aloka sambari melajukan mobilnya keluar dari kompleks perumahan yang ditempati Titania. "Kamu mau makan apa?" bukannya menjawab pertanyaan Aloka, Deliana malah bertanya balik karena sebenarnya dia juga bingung ingin makan dimana. "Ehh itu didepan ada kafe gitu. Makan disitu yuk!" tanpa mendengar jawaban kedua sahabatnya Aloka membelokkan mobilnya masuk kedalam halaman parkiran kafe itu. "Apa gunanya bertanya kalau mengikuti keputusanmu sendiri." sindir Titania yang dibalas gelak tawa oleh Aloka. "Basa-basi aja sih. Yuk turun, ku udah laper pake banget." Aloka melepaskan sabuk pengamannya kemudian meraih tasnya yang ada di kursi samping. Kemudian membuka pintu mobil keluar dari sana disusul oleh Deliana dan Titania. "Kita makan bebas hari ini." seru Aloka kemudian melangkah masuk kedalam kafe sedang Deliana hanya tertawa kecil melihat reaksi Aloka yang begitu berlebihan. "Kita duduk disana." setelah mengucapkan itu Aloka berjalan kearah kursi kafe yang ditunjuknya tadi yang bisa melihat pemandangan luar yang Indah. "Kamu antusias banget sih Aloka." ujar Deliana yang kini sudah duduk di dekat Aloka sedang Titania disamping kiri Aloka atau bisa dikatakan Aloka berada di tengah. "Kita pe... " "Apa tidak kesempatan untukku memasuki hatimu sama sekali kak? Aku sudah menyukaimu sejak dulu tetapi kamu malah menyukai orang lain." Ucapan Aloka dipotong oleh suara lain dari meja tak jauh dari mejanya saat ini, sontak saja ketiganya mengarahkan pandangannya kearah sana. "Abani dan Lerta?" gumam Aloka. "Kamu sudah tau jawabannya Lerta, aku hanya menganggapmu sebagai adikku tidak lebih. Tolong mengertilah." Samar-samar Abani menjawab pertanyaan Lerta dengan tegas tanpa keraguan sama sekali, Titania hanya menatap hampa keduanya bahkan rasa bersalah itu hadir lagi. "Kakak menyukai Titania kan?" Aloka membulatkan matanya mendengar perkataan Lerta, tidak menyangka adik tingkatnya menyebutkan nama Titania dengan lugas bahkan seperti membencinya. "Bermuka dua" gumam Aloka, Titania menundukkan kepalanya mencoba tetap baik-baik saja. Sedang Deliana sudah menatap iba sahabatnya. "Bahkan jika Titania tidak ada aku tetap tidak bisa menyukaimu Lerta. Aku hanya menganggapmu sebagai adikku tidak lebih dari itu." Titania yang tadinya menunduk kini menatap abani yang sedang dalam mode tegas diseberang sana, laki-laki itu sedang fokus berbicara tanpa menyadari ada Titania disini. "Kita tidak mempunyai hubungan apapun kak. Bunda hanya mengadopsiku dari panti asuhan aku bukan adik kandungmu." "Kuharap ini mimpi." komentar Aloka lagi,rasa laparnya tadi kini tergantikan dengan rasa penasarannya pada dua orang di meja itu. "Aku tetap menganggapmu adik Lerta. Jangan membawa Titania dalam pembahasan kita karena dia tidak ada sangkut pautnya dengan masalah mendasar kamu ini." "Kak! Andaikan Titania tidak hadir mungkin kakak masih bisa menghadirkan perasaan untukku walaupun itu hanya 30% saja." "Biarpun 1% takkan bisa kuberikan Lerta. Terima kenyataan dan hilangkan perasaan kamu itu karena kalau sampai bunda tau ia pasti akan sangat kecewa padamu." "Kakak tidak akan pernah bisa mengerti perasaan seorang perempuan!" "Kamu yang tidak mengerti Lerta." "Titania itu keluarganya cacat, punya kakak depresi dan ibunya sudah lama meninggal. Ayah mana mau menerima keluarga cacat seperti itu kak." "Kamu sudah di luar batas Lerta." Aloka menggelengkan kepalanya saat Abani pergi meninggalkan Lerta sendiri dan Aloka dapat menangkap jika laki-laki yang disukai sahabatnya itu marah besar. "Dramatis banget." komentar Aloka lagi, yang kini meraih buku menu untuk melihat apa yang akan ia makan pagi ini. "Tan? Kamu engga papa?" Aloka yang tadinya fokus membaca buku menu menoleh kearah Titania mendengar pertanyaan Aloka pada perempuan itu. "Jangan dimasukin dalam hati Tan! Kamu bisa denger tadi Abani bilang apa? Kamu engga ada sangkut pautnya sama masalah engga jelas Lerta itu." ucap Aloka karena Titania tak kunjung bersuara menjawab pertanyaan Deliana. "Bukan tentang itu! Tapi masalah kembaran." ujarnya pelan tetapi masih mampu didengarkan oleh Deliana dan Aloka. "Kembaran? Itukan cuman drama Tan!" gumam Aloka kemudian memanggil pelayan kafe untuk menyebutkan pesanannya. "Nasi goreng tiga porsi kemudian jus melon satu, jus apel satu terus jus jeruk satu. Itu aja. Makasih mba." pelayan itu berlalu setelah Aloka menyebutkan pesanannya serta ia catat sebelumnya. "Kembaran bagaimana maksud kamu Tan?" Deliana bertanya karena sepertinya Titania sangat sensitif dengan kata itu. "Saya punya kembaran dan perempuan yang kemarin menemui saya itu adalah orang yang melahirkan saya." Deliana dan Aloka menatap Titania dengan pandangan kaget bahkan Aloka masih mematung entah sedang memikirkan apa. "Wajah kami mirip bahkan sangat sama tetapi mengenai sikap dan penampilan sangatlah berbeda, saya tidak pernah menyangka apa yang saya sebutkan kemarin adalah sebagian kebenarannya." Deliana berdiri kemudian duduk disamping Titania memeluknya untuk menguatkannya. "Permisi mba... Ini pesanannya." pelayan mengatur makanan itu dimeja beserta dengan minumannya. "Silahkan dinikmati." Sebagai balasan Deliana tersenyum hingga pelayan itu berlalu. "Yuk makan." seru Aloka. **** "Kita kapan kesana mommy? Aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengannya." tanyanya dengan wajah berbinar, setiap hari ia harus mendengar kalau ia mempunyai adik yang sangat mirip dengannya. "Kamu mending belanja aja." perempuan berambut sebahu itu berlalu setelah mendengar perkataan mommy-nya. Clara menatap kepergian putrinya dengan pandangan sayu karena seharusnya ia tidak melakukan hal itu. Andaikan ia tidak melakukan kesalahan maka saat ini keluarganya masih utuh bahkan mungkin ketiga anaknya sedang bercanda tawa di ruang tamu atau mungkin sedang berteriak kesal karena saling mengganggu. "Tetapi setidaknya dia tumbuh dengan didikan baik tidak seperti saudaranya." gumamnya. "Maaf nyonya, hari ini anda harus segera melakukan pemotretan." setelah mengucapkan itu perempuan yang masih belia itu berlalu tanpa menunggu jawaban apapun. "Karena setidaknya sekarang kehidupanku sudah seperti keinginanku tidak terbatas seperti masa saat bersama si Hendrik itu." ujarnya sembari memoleskan lipstik maron ke bibirnya. Memeriksa kembali penampilannya apakah sudah sempurna atau tidak. "Setidaknya aku tidak hidup dalam keterbatasan harta." ucapnya lagi, Clara tersenyum melihat penampilannya yang sudah memuaskan matanya, gaya yang dulu selalu ia dambakan tetapi tak bisa terealisasikan karena terbatasnya keuangan mantan suaminya itu. Tetapi sekarang semua bisa ia dapatkan dalam satu kedipan mata tanpa harus memusingkan bagaimana gaya hidupnya selanjutnya. Semua yang ia mau sudah ia dapatkan yang pastinya tak bisa Hendrik berikan padanya. "Walaupun sesekali aku merindukan kebersamaan itu tetapi apa yang ku dapatkan sudah cukup membayar rindu itu. Gaya hidupku sudah cukup membuatku lupa akan kehadiran anak-anakku yang lain." itu adalah ucapan terakhirnya sebelum berjalan keluar ruangannya. Berjalan dengan angkuh dan penampilan mewahnya tanpa perduli bagaiamana penilaian semua orang padanya. Selagi ia nyaman dan menikmati hidupnya maka seorang Clara takkan pernah mempermasalahkan komentar orang padanya. Walaupun sesekali ada keinginan untuk menemui putranya tetapi apa yang bisa Clara lakukan jika sang empu itu menolak kedatangannya bahkan mengusirnya dengan terang-terangan. "Silahkan masuk, Nyonya." Lihatlah, ini semua Clara dapatkan dengan mengorbankan kehidupan Putrinya. Kedua putrinya harus berpisah karena keegoisan Clara dalam dunia kenyamanan tetapi setidaknya salah satu anaknya ada padanya yang Clara didik sesuai kemewahannya bukan kesederhanaan. Yang Clara ajarkan adalah kemewahan dan dunia kekayaan bukan sebaliknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD