17. Saat Terakhir

1541 Words
Mungkin bersekolah di Bobshaw adalah pilihan Gavin paling tepat yang ia hendaki. Walaupun hanya kelas privat berisi 3 anak dan sesekali bolos karena urusan kerajaan, Gavin sudah merasa dekat dengan Marioth dan Gilbart. Bahkan Gavin sudah mengetahui hal yang paling remeh sekalipun seperti tanggal lahir pelayan pribadi Gilbart, makanan favorit Marioth, dan yang paling tidak penting adalah lokasi hewan yang dibunuh sebagai kulit tas Pak Alfred. Hal itu memang terlalu tidak penting dan buang-buang waktu sih, tapi itu menunjukkan betapa berharganya waktu Gavin selama ada disini Namun hingga waktunya tiba bagi Gavin untuk berpisah Sejak awal Raja kecil itu memang tidak berniat untuk lulus dengan jangka waktu seperti murid pada umumnya. Neville beranggapan bahwa waktu 3 bulan saja cukup baginya untuk merasakan suasana sekolah di masa muda. Karena Neville juga tahu, kenangan masa kecil adalah kenangan paling berharga bagi seseorang yang hendak beranjak dewasa. Namun lama-kelamaan setelah musibah yang datang, Neville merasa kasihan dengan Gavin dan memperpanjang durasinya.  Tidak terlalu lama dibandingkan waktu aslinya memang tapi Neville merasa itu akan membuat Gavin melupakan tentang semua yang telah terjadi dan bisa beraktivitas seperti seorang raja yang seharusnya.  Hari itu Gavin datang ke Bobshaw seperti biasanya menggunakan wig yang selalu ia kenakan. Namun kali ini ia memakai jubah berwarna merah panjang menyapu lantai seketika ia berjalan. Memang lorong koridor itu nampak masih sepi, tapi petugas sekolah dan penjaga sekolah yang sudah berada disitu dari awal memandangi Gavin yang berjalan pelan dengan langkah kakinya Gavin berjalan sambil memeluk tas punggungnya erat-erat dan pelan-pelan. Ia tahu apa yang harus ia lakukan agar semuanya menjadi efektif dan tanpa rasa emosional yang berarti. Ia akan datang ke ruang kelasnya seperti biasa menunggu Marioth dan Gilbart datang untuk mengucapkan salam perpisahan terakhir. Tanpa emosi dan tegas, ia harus secepatnya keluar dari ruang kelas itu. Namun saat memasuki ruangan kelas. Gavin melihat di lemari samping kelas terletak sebuah bola kaca bundar dengan rusa bertanduk dengan kaki yang patah di dalamnya. Gavin mengingat benda itu. Bagaimana ia bisa lupa bila itu adalah salah satu proyek kelompoknya bersama Marioth dan Gilbart. Memang Pak Alfred kadang-kadang memberikan tugas yang aneh kepada muridnya. Awalnya dia hanya menyuruh mereka untuk membuat objek bundar sempurna untuk menerapkan konsep yang baru mereka pelajari yaitu menghitung volume bangun ruang. Sesimpel itu, membuat keranjang bola berasal dari rotan saja sebenarnya sudah cukup. Namun yang mempunyai ide membuat globe s****n itu adalah Gilbart. Dia pernah melihat salah satu Globe oleh-oleh buah tangan seseorang yang berasal dari daerah utara. Ia lupa nama tempatnya namun dia mengingat sekali hadiah itu. Saat pertama kali menerimanya Gilbart sangatlah takjub melihat benda itu. Tampak sangat magis namun juga sangat sederhana. Di dalam benda bulat itu terdapat sebuah manusia salju yang bertengger diam tak kemana-mana. Saat Gilbart mencoba membalik benda itu, tiba-tiba salju turun dan menghujani manusia salju. Otak Gilbart yang terlalu kecil tidak bisa memahami bagaimana bisa benda sekecil itu mengeluarkan salju. Ia hanya memegang benda itu terus menerus sampai akhirnya tak ada salju yang keluar lagi dari dalamnya. Karena sedih dan merasa kecewa, ia membawa benda itu ke tabib yang ada di rumahnya. Namun bukannya diperbaiki agar bisa kembali, Gilbart malah mendapatkan tertawaan dari tabib tua dengan giginya yang ompong sebelah itu. Mendengar itu membuat Gavin penasaran dan mencoba membuat kembali benda itu bersama-sama dengan Marioth dan Gilbart. Walau ia tidak pernah melihatnya secara langsung namun melalui penjelasan Gilbart ia sudah mengetahui gambarannya secara samar-samar.  Hal pertama yang dilakukan Gavin adalah mencari kaca yang berbentuk mirip dengan bola. Gavin tidak bisa memikirkan satu benda pun yang bisa mendekati atau menyerupai hal itu. Satu-satunya yang bisa ia pikirkan adalah menggunakan gelas kaca beling biasa lalu memodifikasinya menggunakan sihir api dan membentuknya menjadi bulat. Namun bila menggunakan metode itu Gavin tidak mengetahui cara menggunakan sihir api dan meskipun bisa bentuknya tidak akan bisa menjadi bundar sempurna, akan ada beberapa sisi yang menonjol dibandingkan sisi yang lain bila terpaku menggunakan tangan.  Sementara itu Gilbart mencari cara bagaimana bisa membuat manusia salju dengan ukuran sangat kecil seperti jari kelingkingnya. Saat musim salju datang, Gilbart seringkali membuat manusia salju di pekarangan rumahnya sendirian tanpa dibantu siapapun. Namun membuat manusia salju seukuran tubuhnya bukan perkara yang sama dengan membuat manusia salju seukuran biji kacang mete. Gilbart sudah berulang kali mencoba membuat manusia salju dengan ukuran kecil tapi selalu gagal dan malah hancur terkena jari-jarinya yang ceroboh Dilain sisi, Marioth meskipun mendapat bagian yang paling mudah. Namun ini sangat susah untuk diterapkan. Marioth tidak memiliki energi sihir, akan sangat mustahil baginya membuat salju keluar dari alas bundar itu. Marioth tidak memiliki ide lain lagi selain membawa lingkaran yang ia bawa ke seseorang yang mengetahui hal semacam itu. Seseorang yang memiliki energi sihir es. Namun bukan Marioth rupanya bila tidak memiliki jaringan pengetahuan yang luas. Dia akhirnya bisa menemukan seseorang yang mampu membantu Marioth dengan kesulitannya. Penyihir es tua yang ada di ibukota Ketiga anak itu bekerja keras mencapai tujuan mereka masing-masing. Salah satu dari mereka bahkan berjuang sangat keras hingga tak tidur dari siang hingga malam. Namun akhirnya mereka bertiga bisa berhasil dan bergegas kembali menyatukan tugas mereka masing-masing menjadi satu. Saat berada di ruang kelas mencoba menyatukan tiga keping benda-benda itu menjadi satu kesatuan. Gilbart yang terlalu mengantuk kelelahan membuat manusia salju tak sengaja menjatuhkan karyanya sendiri mengenai siku dan terjatuh dari meja. Sementara bola lingkaran yang Gavin buat benar saja, dia memakai ekor kadal api hidup-hidup untuk membuatnya menjadi lingkaran. Sementara salju yang dikeluarkan Marioth melalui penyihir es yang ia temui juga tak sempurna. Saljunya keluar besar-besar lebih terlihat seperti hujan meteor berwarna putih. Memang tak sempurna, namun setidaknya karya mereka itu membuat mereka bangga walaupun tak indah untuk dipandang. Kepingan Gilbart yang paling berharga satu-satunya hancur. Mau tidak mau ia mencari benda-benda kecil yang ukurannya mirip dengan manusia salju miliknya sebelumnya. Ia mengorek-ngorek seluruh kelas mencari benda yang ia cari hingga menemukan sebuah patung rusa berukuran mini. Gilbart yakin patung itu adalah milik Pak Alfred karena ia menemukannya di meja laci tempat guru duduk. Gilbart tidak peduli akan hal itu. Ia tidak izin kepada pak Alfred sebelumnya dan mengambil benda itu diam-diam. Gavin, Gilbart, dan Marioth menyatukan setiap kepingan yang mereka memiliki menghasilkan karya pertama mereka yang tak sempurna Mengingat benda itu membuat Gavin tersadar bahwa tidak selalu hal yang baik akan membuatnya terkesan. Bahkan hak bodoh atau pengalaman yang buruk akan membuat seseorang terkesan juga apabila ia melakukannya dengan susah payah dan kerja keras. Namun sayangnya Gavin harus mengucapkan selamat tinggal kepada itu semua. “Mengapa kau mengenakan Jubah merah norak itu Gavin” Gilbart datang membuka pintu melihat Gavin dari belakang bertengger di lemari sambil memegang bola salju. Tak sempat melanjutkan ucapannya Marioth juga datang dari balik pintu dan berkata “Apakah kau terlalu lelah sehingga jubah itu sudah menempel sejak kau tidur dan salah satu pelayan bergaji besar di istanamu lupa untuk melepasnya” Gavin tidak bergeming, ia tidak menoleh ke arah teman-temannya itu, ia hanya memegang bola salju itu dengan kedua tangannya erat-erat. Gavin tidak tahu bagaimana harus mengucapkannya, ia takut Marioth dan Gilbart akan menjadi sedih bila dia mengatakan yang sesungguhnya Akhirnya Gavin memberanikan diri. Dia sangat ragu-ragu untuk membalikkan badannya. Tubuhnya terasa sangat berat untuk digerakkan. Namun saat Gavin baru saja menggerakkan badannya ke belakang, dua temannya itu langsung mendekap Gavin erat Mereka tidak diberitahu apa-apa sebelumnya. Bahkan tentang niat sesungguhnya Gavin bersekolah disini pun tidak. Dia kebingungan kenapa kedua anak ini bisa memeluknya tiba-tiba.  “Tidak apa-apa Gavin, kau tidak perlu mengucapkannya. Kami sudah tahu bahwa kau tidak akan terus berada disini” bisik Marioth di telinga Gavin. Gavin merasa terharu mendengar itu “Aku bersyukur kau bisa menjadi temanku. Kawan” ini baru pertama kalinya bagi Gavin. Mendapat seorang “kawan”. Dia mungkin sering mengobrol bersama tukang kebun atau pelayan istana, namun tidak ada yang bisa menganggap hubungan mereka itu sebagai “kawan”.  “Maafkan aku Marioth, Gilbart. Aku harus pergi saat ini. Kehadiranku disini mungkin tidak terlalu berarti bagi Bobshaw maupun kalian. Namun aku merasa kehadiran kalian sangat berarti bagiku” Gavin memeluk kembali erat dua kawannya itu. Ia bersyukur sudah memiliki kawan tulus yang selalu menemaninya. Walau dalam waktu singkat, mungkin dua anak itu adalah hal terdekat yang bisa Gavin anggap seperti saudara.  “Jangan khawatir. Meskipun aku pergi dari sini kalian bisa tetap menemuiku di istana. Aku akan menyuruh para penjaga untuk mempersilahkan kalian memasuki istana” Marioth dan Gilbart melepaskan dekapannya. Mereka menekuk dahinya ke hadapan Gavin. Gavin pun bingung, dalam dirinya ia berkata, apakah aku mengatakan hal yang salah? “Jadi, selama ini, jika kami ingin mengunjungimu ke istana kau akan melarangnya Gavin?” tanya Marioth dengan raut kecewa “Tak kusangka hubungan kita seperti itu Gavin. Sepertinya aku berekspektasi terlalu tinggi” “Bukan seperti itu maksudku...” saat Gavin mencoba menjelaskan kepada Marioth dan Gilbart yang salah paham dengan maksudnya. Dua anak itu malah tersenyum tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk muka Gavin “Lihatlah muka itu Marioth, itu adalah muka yang harus kau ingat-ingat selama hidupmu ahahahaha” Gavin merasa kesal. Ia selalu dipermainkan. Namun itulah mengapa dia menyayangi mereka. Di istana tak akan ada yang berani melakukan itu. Ia yakin ia akan rindu hal itu. Sontak Gavin pun ikut tertawa bersama kawan-kawannya itu dan mengejar mereka mencoba memberi pelajaran karena bermain-main dengannya Gavin akan mengingat momen ini selamanya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD