10. Mendadak Terancam

1593 Words
Enam hari telah berlalu. Gavin, Marioth dan Gilbart menjalani pelajaran di kelas yang sama bersama-sama. Dengan berselangnya waktu mereka semakin dekat dan akrab. Gavin yang baru saja menjabat tahta sebagai raja mulai melupakan kesedihannya karena meninggalnya sang ayah. Kehadiran Gilbart dan Marioth senantiasa menghibur dia dikala sedih.  Pelajaran yang diberikan Pak Alfred pun bermacam-macam. Namun kebanyakan pelajarannya hanya berkutat pada pengetahuan tentang politik dan sosial. Gavin tidak terlalu memperhatikan pelajaran itu, bahkan ia sudah lupa apa saja yang telah Pak Alfred ajarkan. Gavin sebenarnya muak mendengarkan ocehan yang berhubungan tentang kerajaan. Setiap hari dia berpikir bisakah dia menjadi raja yang baik melebihi ayahnya kelak. Gavin merasa tak pantas dan tidak layak untuk menjadi seorang raja. Dia merasa dirinya terlalu cengeng dan naif untuk menjabat takhta . Hingga pada akhirnya kelas pagi dimulai. Gavin berjalan melalui koridor sekolah yang sepi sebab ia selalu berangkat paling dahulu menghindari kerumunan dan tak lupa memakai wig yang selalu ia kenakan. Dia datang membuka pintu ke kelas yang hendak ia gunakan untuk belajar Kelas terdengar sangat hening. Hentakan kaki Gavin mengusir semut-semut dan kecoa yang lewat di lantai dengan santai sebelum Gavin datang. Lampu Lightstone yang terlihat hampir habis menyala sesaat Gavin membuka pintu. Ia menduga bahwa di malam sebelumnya seseorang datang ke kelas ini dan lupa untuk mematikannya. Namun tanpa pikir panjang Gavin langsung saja melepas Lightstone itu dari tangkainya agar redup. Gavin pun duduk di tempat ia biasanya. Ia menaruh ranselnya ke atas meja mencoba mengeluarkan tinta dan kertas yang masih kosong mempersiapkan alat-alat apabila Pak Alfred datang dan tiba-tiba memberikan tugas. Selesai meletakkan penanya, Gavin berdiri dari tempat duduknya dan menarik tirai dari jendela membiarkan cahaya surya masuk menerangi seluruh ruangan. Di saat Gavin menarik suara tiba-tiba terdengar suara “Uhhh” Gavin berbalik menghadap suara tersebut. Ia mulai sedikit panik, ia takut kalau kelas ini dimasuki perampok yang akan menculik dirinya. Gavin juga menyadari sesuatu, kemungkinan Lightstone yang tertinggal menyala tadi adalah perbuatan seseorang yang menyusup ke dalam kelas. Gavin pun memberanikan hatinya dan menghampiri asal suara tersebut. Ia berjalan melewati bangku kosong yang berantakan. Firasat Gavin semakin kuat. Ini benar-benar perampok “Gavin. Syukurlah kau akhirnya datang juga” “Gilbart? Apa yang kau lakukan di sini!” Gavin kaget melihat Gilbart yang terbaring di lantai dengan wajah malas. Penampilannya benar-benar kacau, rambutnya yang berantakan hampir menutupi seluruh wajahnya membuatnya tak dapat dikenali. Ransel yang ia kenakan sehari-hari juga ia mampatkan ke belakang kepalanya sebagai alas. Telapak kakinya kotor berdebu seperti habis berlarian di atas tanah. Baunya apalagi, Lalat mengerubungi bajunya mengira itu adalah sarang yang sangat bagus untuk menelurkan anak-anak mereka “Eh maaf sepertinya aku ketiduran” Gilbart bangun dan terlihat kantung matanya menghitam dan menggantung. Dia mengambil kertas-kertas berserakan di sampingnya mencoba mengumpulkannya menjadi utuh kembali. Kertas-kertas itu terlihat berisi penuh dengan tulisan berbentuk indah. Gavin mencurigai kalau Gilbart mencuri kertas-kertas itu dari teks dan mencabutnya secara paksa. Tulisan-tulisan itu terlihat terlalu rapi untuk ukuran Gilbart. Gilbart dengan terhuyung-huyung masih mengumpulkan nyawanya mengembalikan kertas-kertas itu ke ranselnya. Gavin yang melihat itu merasa kasihan mencoba membantunya dengan menaruh kertas ke dalam ransel “Terima kasih” “Apa yang kau lakukan!?” Seru Gavin kepada sahabatnya itu “Waktu apa ini?” Gilbart menengok ke arah jendela. Dia ter silau oleh cahaya pagi terang menusuk matanya yang sayu.  “Sudah tidak ada waktu, ayo cepat ikut aku” Gilbart berdiri dan langsung lari dengan menarik tangan Gavin yang masih kebingungan. Langkahnya cepat sekali seperti dikejar oleh sesuatu. Gavin menahan tangan Gilbart menghentikan langkahnya. Ia terdiam menatap mata Gavin dan berucap “Apa yang sebenarnya terjadi? Kau tiba-tiba saja sudah tertidur di dalam kelas dan kemudian menarikku keluar seperti ini. Ayo cepat jelaskan!” Gavin berteriak didepan muka Gilbart. Gilbart yang terlihat tak punya waktu dan tergesa-gesa tetap menarik tangan Gavin dan berangkat pergi. Tapi Gavin tetap melawan itu dan menariknya berbalik arah  “Baiklah jika itu maumu. Tapi aku harus menjelaskannya sambil kita berjalan” “Berjalan ke mana?” “Ini tentang Yagonia yang sekarang dalam bahaya” Gavin berjalan sambil menunjukkan secarik kertas yang ditaruh di ransel itu. Dugaan Gavin benar, itu memang ternyata adalah kertas yang ia sobek dari perpustakaan kuil matahari. Sebelum Gavin ingin bertanya, Gilbart langsung menukas Gavin dan berkata “Sebelum kau bicara, ya ini memang dari kuil matahari. Aku memang mencurinya kemarin malam secara diam-diam” “Apakah kau sudah gila?!” “Kegilaanku akan sepadan dengan tindakan yang akan aku berikan. Gavin, apakah kau tahu apa yang biasanya kuil matahari lakukan?” Tanya Gilbart “Entahlah, pemujaan, ritual. Apalagi? Aku bukanlah pengikut yang taat. Aku mengimani kuil matahari sebagai seremonial saja walaupun sebenarnya aku memang mempercayai keberadaan dewa-dewa” Jawab Gavin dengan lugu “Bagus sekali, Kuil Matahari merupakan kuil yang aktif dalam kegiatan sosial dan religius. Kau seharusnya sudah tahu pengaruh kuil itu sangat kuat dalam kerajaan. Dalam salah satu kegiatannya, Kuil Matahari akan melakukan ritual untuk menyambut dan bersyukur atas kehadiran Raja yang baru. Apakah kau benar-benar tidak mengetahui itu Gavin. Coba baca itu” Papar Gilbart memberikan secarik kertas kepada Gavin “Ya aku tahu sih tentang ritual dan semacamnya. Namun aku tidak tahu apa dan kapan mereka melakukannya. Itu semua berada di luar kendali kerajaan. Tapi mengapa ini semua begitu penting bagimu?” Tanya Gavin. Ia mencoba membaca kertas yang disodorkan Gilbart namun tak bisa fokus karena harus mengikuti ritme Gilbart yang sedang berjalan Gilbart menarik kertas yang dibawa Gavin dan membaca dengan lantang “Anak yang ditakdirkan telah tiba dan Hamba tersinar akan dilakukan dalam waktu dekat. Persiapkan jiwa dan raga kalian karena Sang pemimpin agung telah tiba. Darah melaut bersama ombak dan dentingan besi. Kita para Hamba akan memulainya”  Gavin bingung. Teks itu tertulis begitu aneh. Bahkan terlalu aneh bila disebut teks suci. Itu hanya terdiri dari beberapa prosa dan kalimat pemberitahuan yang ambigu. Gavin mulai tidak menganggap serius masalah ini “Nyawamu dalam bahaya Gavin” Ucap Gilbart. Gavin masih belum mempercayai itu. Ia hanya menyeringai menganggapnya lelucon “Yang dimaksud dari ‘Darah Melaut’ adalah darahmu, sang raja selanjutnya! Aku tidak habis pikir kalau kuil matahari akan berkhianat sekejam itu. Jika kau masih tidak percaya ini. Aku akan memberimu bukti yang lain” Gavin mengambil beberapa kertas yang ada di ranselnya. Gavin lanjut membacakan kertas-kertas yang memiliki penulisan sangat buruk itu. Kata-katanya tampak konyol semua. Ia bahkan mulai meragukan argumennya sendiri soal dia mengambil dari Perpustakaan kuil. Karena perpustakaan adalah tempatnya para penyair dan peneliti kerajaan mengarsipkan tulisan mereka. Ini membuat semua teks yang ada di Perpustakaan kuil matahari tidak melulu berisi tentang keagamaan. Banyak bidang lain yang juga sama berbobot dan hebatnya ketimbang keagamaan. Bahkan perpustakaan kuil merupakan perpustakaan paling besar di Yagonia.  “Baiklah Gilbart. Dari mana kau mendapat rumor ini. Aku sendiri sama sekali tidak mengetahui yang kau maksud” Gavin mencoba mencari asal-usul pemikiran ini semua “Aku tidak mendengarnya dari mana-mana. Aku mengetahui itu sendiri. Aku sadar setelah kemarin membaca buku tentang Spectre Vale di perpustakaan lalu ada sebuah teks yang mencuat jatuh di lemari. Saat aku hendak mengembalikannya ke tempat asalnya, aku penasaran dengan isi teks buku itu. Aku pun membaca sebagian darinya. Dan akhirnya aku sadar kalau nyawamu dalam bahaya. Aku pun merobek beberapa halaman sebagai bukti dan mencari teks-teks yang lain untuk memperkuat buktiku.” Gilbart kembali memaparkan apa yang telah ia temukan “Lalu untuk apa kau sampai tidur di kelas dan tidak kembali ke rumahmu?” “Aku merasa keadaan ini sangat genting. Aku tahu kalau kau akan berangkat paling pagi dibanding orang lain. Aku memutuskan untuk tidur di kelas untuk menunggumu. Sekarang waktu kita tidak lama, kita harus segera bergegas ke kuil matahari sekarang!”  “Tunggu-tunggu, jika nyawaku memang berada dalam bahaya dan Kuil Matahari akan membunuhku. Kenapa aku harus pergi ke sana. Bukankah lebih baik kalau aku harus kabur dan bersembunyi dari mereka” Tanya Gavin yang memulai mengikuti alur Gilbart.  “Apakah kau bodoh? Tentu saja kita harus ke sana untuk segera menghentikan mereka. Jika tidak dihentikan sekarang, kau akan dicari dan dibunuh dalam diam tanpa seseorang mengetahuimu telah mati. Jasadmu akan dibawa bersama dengan tikus-tikus got yang mengikuti bau busukmu. Apakah kau memang menginginkan itu semua?” “Tentu saja tidak” Jawab Gavin dengan santai “Maka dari itu ayo kita bergegas. Waktu kita tak banyak.” Gavin akhirnya pergi mengikuti Gilbart ke kuil matahari. Karena sekolah masih pagi dan gerbang terbuka lebar. Mereka dengan sangat mudah lolos. Gavin sebenarnya tidak percaya semua bualan yang dikatakan Gilbart karena dia adalah tipe yang sangat mempercayai teori-teori konspirasi dan rumor-rumor aneh. Tak heran dia bisa menjadi sangat dekat dengan Marioth yang juga tukang gosip. Gavin terkesan akan kepedulian Gilbart atas dirinya, ia tidak mengira Gilbart akan berbuat sejauh itu untuk dirinya. Dan juga Gavin mengikuti Gilbart karena ia merasa ini merupakan hal yang seru untuk dilakukan, lagipula meninggalkan kelas yang diajar oleh Pak Alfred tidak terlalu buruk juga. Gavin dan Gilbart sudah berada di luar sekolah. Mereka berada di alun-alun yang tampak masih sepi dan hanya terdengar suara burung dara dan air mancur mengucur. Masih sedikit orang yang berjalan melewati alun-alun hanya terlihat tukang bersih-bersih dengan sapu ijuknya membersihkan daun berguguran. Suhu dingin menusuk tubuh Gavin yang terbungkus dengan seragam rapi “Gilbart. Bagaimana cara kita menghentikan mereka untuk membunuhku” Tanya Gavin “Itulah mengapa kita harus bergegas untuk pergi ke kuil matahari. Kita pasti akan mendapat solusinya. Dewa matahari pun juga akan membantu kita, jadi tenang saja. Percaya padaku. Nyawamu akan terselamatkan berkat aku” mendengar itu Gavin menahan tawanya. Ia tidak mengira Gilbart memang sebodoh itu
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD