4. Bobshaw Academy

1581 Words
“Benua Odessa merupakan benua yang sangat luas. Itu membentang dari ujung barat Kepulauan Anemo sampai ujung timur kerajaan kita, Yagonia. Dalam dinamikanya sendiri selama ratusan tahun, bangsa kita dulu merupakan bangsa yang sangatlah besar, 600 tahun yang lalu bangsa kita pernah menguasai hampir sepertiga dari keseluruhan wilayah benua Odessa. Namun karena satu dan lain masalah, Kerajaan kita hanya tersisa menjadi seperti teritorinya saat ini. Namun itu tidak masalah, selama semua orang bahagia atas keputusannya masing-masing, kita sebagai bangsa yang bijak tidak boleh mempertahankan egoisme kita demi kepentingan diri kita sendiri. Bangsa Yagonia masih sama-sama hebat baik dulu maupun sekarang” kata seseorang yang berada di depan ruangan. Ia menyentuh kumis tipisnya seraya dengan lantang terdengar hingga ujung ruangan “Hehe, Gavin, kau tahu. Aku pernah memergoki Pak Alfred yang sedang duduk di toilet sambil memakan makanan loh. Dia disana sambil bernyanyi lagu usang yang entah berapa lama usianya. Benar-benar hal yang menjijikkan jika kau memikirkannya.” Seorang bocah mencoba berbicara berbisik-bisik kepada teman sebangkunya. Ia mendekatkan kepalanya ke temannya itu dengan rambut ikal berwarna hitam yang saling bergoyang terkena angin satu sama lain “Apakah itu benar? aku juga mendengar beberapa gosip kalau Pak Alfred pernah menggoda patung wanita dekat lambang sekolah kita di belakang sekolah. Seseorang pernah melihatnya berbicara sekaligus bergerak melenggak lenggok. Setelah aku mendengar perkataanmu aku jadi tidak heran bila dia melakukan hal semacam itu. Aku jadi khawatir, apakah Pak Alfred baik-baik saja ?” balas seorang gadis yang mendengarkan bocah itu di seberang meja tempatnya duduk. Matanya yang hijau berlian nampak dengan sangat jelas karena melongo saking besar keingintahuannya mencari tahu kebenaran cerita itu. “Nah kan sudah kubilang apa. Satu-persatu misteri ini akan terkuak dan terpecahkan dengan sendirinya. Kurasa hanya menunggu waktu saja permasalahan ini akan terbongkar, benarkan Gavin?” ujar kembali bocah itu. Di saat ia berhenti berbicara, ia memperhatikan temannya yang ada di sampingnya. Ia sedari tadi hanya diam dengan posisi mata terlihat sayu sambil menopang dagunya berusaha membuat wajahnya tetap berdiri dengan menempel ke arah tembok dan dibantu oleh tangan mungil sebagai tumpuannya. Ia khawatir dengan apa yang terjadi pada temannya itu “Hey Gavin apakah kau tidak apa-apa?” tanya temannya mencoba mencari tahu apa yang ada dipikirannya selama duduk disini “Apakah dia mencoba berpikir apa yang sebenarnya terjadi kepada Pak Alfred” ujar gadis itu. Semakin lama posisi gadis itu semakin condong ke arah Gavin dan temannya membuat kepalanya berada di jalan menghalangi siapapun yang akan masuk ataupun keluar. “Entahlah Gilbart. Aku sedang bosan mendengarkan pelajaran sejarah saat ini. Lagipula Pak Alfred juga merupakan seorang yang baik. Aku pernah ditawari roti sandwich saat berada di kantin. Walaupun topping dari sandwich itu sedikit aneh karena berisi salmon kering dilapisi selai coklat, aku yakin dia tidak bermaksud buruk. Mungkin saja dia memang berbeda daripada orang-orang pada umumnya. Dan aku merasa tidak masalah akan hal itu.” Kata Gavin yang kali ini berdiri mengangkat kepalanya “Apakah kau memakannya” tanya dua bocah itu keheranan. “Hanya satu gigit sih, itu saja untuk menghormatinya. Setelah ia pergi dan berjalan ke arah yang lain. Aku langsung membuangnya. Rasanya benar-benar aneh. Bau ikan kering tercampur dengan coklat yang manis membuat lidahku memberontak dengan sendirinya” Gavin menjawab keresahan dua anak itu Pak Alfred yang sedari tadi menerangkan materi tentu saja terganggu oleh kebisingan yang dilakukan 3 anak itu. Dia sejenak berhenti berbicara, mencoba memikirkan hukuman yang pantas mereka terima sebab mengganggu suasana kelas “Gavin, Marioth, Gilbart. Bapak ingin menanyakan sesuatu ke kalian. Di dalam legenda suku Izia. Ada sebuah kisah bahwa tetua mereka. Imtazim, pernah meminum ramuan yang dibuat oleh para dewa. Ramuan itu membuat tubuhnya menjadi setengah sapi. Ramuan apa yang dimaksud” Pak Alfred bertanya mencoba mengetes kemampuan mereka “Ramuan indlor pak!” Gilbart menjawab dengan semangat dan penuh percaya diri “Salah” “Ramuan Balthozor pak! Ibuku pernah membelinya di kedai kemarin dan ia berubah menjadi manusia setengah ayam sekarang. Dia selalu berkokok di pagi hari saat aku tidur kesiangan pak!” Jawab Marioth yang berdiri dengan sigap menjatuhkan rambut lurus panjangnya ke udara setelah tersangkut di pundak. Gelak seluruh anak-anak di kelas tertawa dengan jawaban Marioth yang lugu itu. “Marioth, sepertinya kau memang menginginkan hukuman dari bapak. Salah!. Aku kira dengan kalian berbicara dan berisik sendiri sudah paham betul materi yang bapak jelaskan. Bapak mengira kalian sudah terlalu pintar sehingga tidak menghiraukan bapak. Dan sekarang, Gavin yang terakhir. Jika jawabanmu salah juga, aku akan menghukum kalian berlari di tengah taman dan membersihkan sampah yang ada disana!” Pak Alfred berkata mengancam apabila jawaban Gavin sama ngelanturnya dengan kedua temannya “Emm ... Pak. Apakah cerita itu benar-benar nyata? Maksudku ini kelas sejarah kan? Sejarah harus menceritakan sesuatu yang jelas-jelas fakta bukan dongeng seperti ini. Bila memang sejarah itu benar, mengapa kami tidak pernah melihat satupun orang atau ras yang memiliki tubuh setengah hewan seperti itu?” jawab Gavin dengan kritis. Suasana kelas yang sebelumnya cair tiba-tiba menjadi tenang, sepertinya pertanyaan Gavin cukup mewakili apa yang ada di benak murid-murid lain. Gilbart yang sedari tadi duduk di samping Gavin ikut penasaran dengan pertanyaan yang dilontarkannya. “Hmm... baiklah Gavin. Aku menyadari bahwa kurikulum yang dibuat oleh sekolah ini tidaklah sempurna. Ada beberapa bagian yang perlu direvisi ulang dan diganti dengan hal yang lebih relevan. Tapi perkataanmu tadi tidak menjawab sama sekali pertanyaanku. Jadi sebagai gantinya. Aku menyuruh kalian bertiga untuk pergi dari kelas ini dan cepat berjalan menuju taman seperti yang aku perintah tadi” kata Pak Alfred. Seluruh kelas kecewa dengan tanggapan yang diberikan Pak Alfred. Rasa penasaran belum terjawab dan masih mengganjal. Mendengar itu Gavin, Marioth, dan Gilbart berdiri bersamaan dan keluar dari kelas. Mereka berbaris saling memunggungi satu sama lain. Wajah Marioth dan Gilbart tampak murung. Ini baru pertama kalinya mereka menerima hukuman selama sekolah di Bobshaw. Namun wajah Gavin sama sekali tidak nampak gusar. Rambutnya yang pendek klimis berwarna coklat selaras dengan wajahnya yang bersikap tegas. Seolah-olah mengatakan bahwa dia tidak masalah menerima semua itu *** Saat sudah berada di dalam taman. Bukannya berlari seperti yang pak Alfred suruh, Gilbart dan Marioth malah berjalan-jalan dengan santai. Sesekali berlari kecil apabila ia melihat pak Alfred sedang mengintip mereka dari jendela kelas yang berada di lantai atas. Marioth yang beristirahat mencoba duduk di bangku taman pura-pura mengumpulkan daun yang berguguran di tanah lalu menghamburkannya lagi. Ia nampak muram dan tidak serius melakukan pekerjaannya. Yang paling rajin dan paling gesit adalah Gavin. Semenjak datang ia aktif berlari dan membersihkan daun dengan sapu yang lebih tinggi 2/3 dari ukuran badannya. Dengan muka yang nampak semangat dan datar, kelakuan Gavin membuat Marioth dan Gilbart keheranan Gavin yang berada di sisi barat taman terlihat sangat bersih. Nampak sangat kontras dengan sisi yang ada pada Marioth ataupun Gilbart yang masih penuh dengan daun Maple kuning berserakan di trotoar taman “Hey, santailah sedikit. Apa kau tidak capek sedari tadi berlarian seperti itu?” ujar Marioth kepada Gavin. “Ayahku pernah berkata seorang yang bekerja keras dan dedikasi tinggi akan mudah mencapai sesuatu yang ingin ia capai” jawab Gavin. Marioth dan Gilbart yang mendengar perkataan itu saling bertatap muka. Mereka mulai berpikir bahwa Gavin adalah anak yang kurang waras. “Hmm ... terserahlah. Ngomong-ngomong kau berasal dari distrik mana? Kau sendiri baru sekolah disini 3 bulan yang lalu kan? Walaupun umurmu sudah 12 tahun aku rasa itu sudah terlambat apabila menyusul kami yang sudah mau hendak lulus” kata Gilbart. Dia mencoba mencari tahu siapa Gavin sebenarnya “Ehmmm... Aku berasal dari distrik Koht” Gavin menjawab dengan sedikit bingung dan cemas. Dia mulai berhenti berlari. Tangannya berada di atas kepala mencoba menutupi sinar matahari yang mulai silau “Koht, bukankah itu distrik di dekat istana berasal?. Hey... Jangan-jangan keluargamu adalah seorang bangsawan” tanya Marioth. Mendengar itu Gavin semakin cemas seperti menyembunyikan sesuatu. Gilbart mendekati Gavin yang sudah mulai mencurigakan dan berkata “Ya. Siapa nama ayahmu, kami berdua adalah anak bangsawan. Pasti ayah kami mengenali ayahmu jika seorang bangsawan juga” wajahnya terlihat amat sangat serius Gavin yang makin gugup dan dia berjalan mundur perlahan setelah melihat wajah Gilbar yang semakin lama makin mendekatinya. Ia pun berkata “Ayahku hanyalah seorang prajurit biasa. Dia mulai naik pangkat dan tempat tinggal kami mulai dipindahkan ke distrik Koht 3 bulan lalu. Itulah mengapa aku baru saja sekolah disini hehe”. Jawaban Gavin tidak meyakinkan Marioth maupun Gilbart sama sekali. Mereka merasa ada yang salah dengan jawabannya “Oh prajurit. Ngomong-ngomong soal prajurit, apakah kau sudah tahu bahwa pasukan yang dikirim ke barat kemarin sudah kembali? Aku mengupingnya dari ayahku dan dia berkata bahwa telah terjadi sesuatu yang penting disana” Marioth berkata. Meskipun masih kecil, Marioth seringkali menguping dan mendengarkan informasi-informasi penting dari kerajaan. Walaupun itu sebenarnya sangatlah rahasia, Marioth suka sekali menyebarkan informasi yang ia dapat itu kepada teman-teman di kelasnya. “Hah benarkah” Gavin yang mendengar itu heran terkaget-kaget. Matanya melongo seperti tidak percaya. Dia pun langsung lari terbirit-b***t menuju gerbang sekolah. Gilbart dan Marioth tambah heran. Sungguh anak yang penuh dengan misteri “Gilbart, apakah kau dekat dengan anak itu?” tanya Marioth kepada Gilbart “Aku pernah sesekali berbicara dengannya. Dan ia sebenarnya anak yang cukup asik diajak ngobrol. Kadang-kadang perspektifnya jauh melebihi perspektif anak berusia 12 tahun pada umumnya. Melihatnya berlari seperti itu dan berperilaku seperti tadi membuatku bingung. Dia tidak biasanya bertingkah seaneh ini. Entah apakah dia terkena kutukan atau sekedar menjahili kita. Tapi aku yakinkan kepadamu bahwa dia adalah anak yang baik.” Jawab Gilbart dengan sangat yakin kepada Marioth
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD